Sebelum
membahas lebih jauh mengenai peran dan makna keluarga dalam perspektif teori
struktural fungsional, akan lebih baik jika terlebih dahulu kita kaji apa
pengertian dari keluarga itu sendiri. Tidak mudah mendefinisikan pengertian
keluarga, mengingat keluarga sendiri merupakan entitas yang memiliki pijakan
dimensi yang luas. Dalam arti sempit, keluarga didefinisikan sebagai hubungan
yang dilandasi karena adanya garis genealogis (pertalian darah atau keturunan).
Selanjutnya,
dalam arti luas, keluarga didefinisikan sebagai hubungan yang dilandasi karena
adanya persamaan garis primordial-geografis. Dalam arti yang sangat luas,
keluarga bisa direfleksikan sebagai sebuah hubungan yang terwujud karena adanya
ikatan bathin dan emosional walaupun tanpa ada garis genealogis maupun garis
primordial-geografis.
Jadi,
bisa dipahami bahwa keluarga adalah sebuah entitas yang memiliki pijakan
dimensi yang luas. Baik dimensi genealogis, dimensi primordial-geografis,
maupun dimensi afeksi-psikologis. Keluarga dalam konteks dimensi genealogis
misalnya mengejawantah dalam hubungan antara anak dan orang tua. Kemudian,
keluarga dalam konteks dimensi primordial-geografis misalnya kekerabatan karena
adanya garis kesukuan yang sama. Selanjutnya, keluarga dalam konteks dimensi
afeksi-psikologis misalnya adalah terwujudnya hubungan kekeluargaan antara dua
orang yang memiliki ikatan bathin dan emosional yang erat. Namun dalam tulisan
ini, kerangka konseptual yang saya gunakan adalah terkait pengertian keluarga
dalam arti sempit, yakni sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terbentuk
atas garis genealogis.
Keluarga dalam Perspektif Teori
Struktural Fungsional
Teori
struktural fungsional merupakan teori yang menegaskan bahwa kehidupan merupakan
sebuuah sistem yang eksistensinya sangat dipengaruhi oleh bekerjanya sub-sub
sistem dengan beragam fungsinya, meliputi: sub-sistem ekonomi dengan fungsi
adaptasi, sub-sistem politik dengan fungsi pencapaian tujuan, sub-sistem sosial
dengan fungsi integrasi, dan sub-sistem budaya dengan fungsi pemeliharaan pola.
Teori struktural fungsional sendiri merupakan teori di bidang disiplin
sosiologi yang bertujuan untuk mengkaji perubahan masyarakat. Teori ini
digawangi oleh Robert K. Merton dan Tallcot Parsons.
Dalam
pendekatan analogis-restriktif, keluarga dapat dikaji dengan pendekatan teori
struktural fungsional, di mana mengidentifikasikan keluarga layaknya sebagai
sebuah sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem dengan beragam fungsinya
untuk mendukung eksistensi dan fungsionalisasi entitas keluarga itu sendiri.
Dalam pendekatan teori struktural fungsional, maka terwujud hubungan respirokal
antara anggota keluarga dengan keluarga sebagai kesatuan yang utuh. Maka dari
itu, berbicara mengenai peran dan makna keluarga, maka akan terkanalisasi
mengenai hubungan fungsionalisasi timbal-balik antara anggota keluarga dan
keluarga sebagai sistem yang utuh.
Ditinjau
dari perspektif teori struktural fungsional, makna dan peran keluarga mengejawantah
dalam 4 tataran sub-sistem yang masing-masing memiliki peran fungsional secara
timbal balik.
Pertama,
afeksi. Keluarga merupakan sumber kasih sayang. Tempat kita merasakan kasih
sayang dan tempat bagi kita untuk berbagi kasih sayang. Kasih sayang yang
tertanam secara intim dalam relasi keluarga akan memiliki pengaruh penting
dalam pembentukan karakter para anggota keluarga dalam institusi kehidupan yang
lebih luas. Lebih dari itu, values tertinggi
dalam sebuah keluarga pada dasarnya adalah kasih sayang. Sinergi kasih sayang
akan memiliki dampak positif baik dalam tataran individu dalam keluarga,
tataran relasi intra-keluarga, dan tataran eksternal keluarga yakni dalam
realitas pergaulan sosial-kemasyarakatan. Secara psikologis, internalisasi
afeksi memiliki pengaruh besar dalam menentukan harmonisasi individu,
harmonisasi keluarga, dan harmonisasi struktur sosial.
Kedua,
motivasi. Keluarga merupakan sumber motivasi. Tempat kita berbagi motivasi dan
tempat bagi kita untuk mendapatkan stimulasi motivasi. Keluarga merupakan
sumber semangat bagi organ individu dalam mengarungi kerasnya roda kehidupan.
Keluarga adalah entitas yang relatif selalu ada dalam segala kondisi. Baik suka
maupun duka, keluarga selalu hadir memberikan motivasi baik secara langsung
maupun tidak langsung yang menghadirkan stimulasi energi secara psikologis dan
emosional agar masing-masing anggota keluarga mampu mencapai batas potensial
terbaik yang dimilikinya.
Ketiga,
kognitif-edukasi. Keluarga merupakan tempat bagi kita untuk berbagi sekaligus mendapatkan
pembelajaran dan tauladan tentang point
of view dan values of life yang kemudian
memiliki pengaruh besar dalam membentuk sudut pandang dan karakter kita dalam
melihat dan menganalisa sebuah fenomena dan dinamika pada sebuah konstruksi
ekosistem bernama realitas kehidupan. Keluarga merupakan institusi pertama,
paling dini bagi seseorang dalam mendapatkan internalisasi nilai-nilai
edukatif. Setelah dewasa, keluarga juga dapat menjadi kanalisator bagi
masing-masing anggota keluarga agar selalu hidup on the track sesuai norma agama dan norma sosial-kemasyarakatan.
Keempat,
material. Keluarga merupakan institusi bagi kita untuk berbagi material maupun
mendapatkan impact material. Tak
dapat dipungkiri, kehidupan ini membutuhkan aspek material dalam segala
derivasinya. Material merupakan unsur penting bagi manusia dalam menunjang
kehidupan. Makan, sekolah, rumah, baju, dan lainnya semua membutuhkan daya
material. Keluarga kemudian mengejawantah sebagai tempat akumulasi material
yang memiliki fungsi distribusi agar para anggota keluarga dapat mendapatkan
pemenuhan kebutuhan hidupnya secara layak. Maka dari itu, kondisi material
sebuah keluarga akan memiliki dampak penting dalam pembentukan karakter dan
kualitas seorang individu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Mengembalikan Keluarga Pada
Khitahnya.
Era
milenium dan globalisasi ditandai dengan meningkatnya perkembangan teknologi.
Teknologi di satu sisi memang memiliki dampak yang positif dalam rangka
menunjang efektifitas dan efisiensi hidup. Namun, di sisi lain memiliki dampak
yang negatif berupa berkurangnya sensitifitas dan kolektifitas hidup serta
interaksi dalam sebuah relasi termasuk dalam relasi keluarga.
Minimnya
interaksi dalam relasi keluarga, membuat institusi keluarga tidak mampu
melaksanakan fungsinya dalam kerangka relasi struktural fungsional. Keluarga tidak
mampu menjalankan fungsi afeksi, motivasi, kognitif-edukasi, bahkan material
secara optimal. Akibatnya, individu semakin jauh dalam entitas keintiman
keluarga. Hal ini mewujudkan beberapa dampak negatif, baik kepada relasi
individu dalam intra-keluarga maupun terhadap struktur sosial.
Bagi
struktur sosial, minimnya peran institusi keluarga, melahirkan
individu-individu bercorak individualistik, oportunis, hingga kriminalitas
akibat tidak adanya kanalisator untuk me-manage
dan maintanance energi dan
tekanan hidup mereka ke arah yang positif. Misalnya, minimnya fungsi kasih
sayang dan edukasi misalnya karena brokenhome
tentu memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk karakter seorang individu.
Di mana potensi untuk melahirkan efek derivasi yang negatif tentu akan lebih
besar.
Di
tengah wabah pandemi Covid-19 yang saat ini tengah melanda Indonesia dan
seluruh dunia, ternyata ada sisi positif yang mengandung blessing in disguise. Yakni meningkatnya intimate keluarga. Terbatasnya ruang gerak secara intensitas maupun
kapasitas, memaksa ruang sosial terdistraksi dalam sekup yang lebih kecil,
bernama keluarga. Di tengah pandemi Covid-19, keluarga seakan kembali
bermertamorfosa sebagai struktur yang memiliki dimensi fungsionalnya secara
beragam. Baik afeksi, motivasi, kognitif-edukasi, hingga material.
Aktivitas
spiritual, entertain, pekerjaan, sharing, rekreatif, hingga olahraga
dapat dilakukan bersama keluarga. Sebuah pola hubungan yang mungkin akan sulit
dilakukan di saat sebelum adanya wabah pandemi Covid-19. Sebelum wabah pandemi
Covid-19, pola aktivitas masing-masing individu praktis habis untuk bekerja,
belajar, dan bermain di luar. Selanjutnya, ketika di rumah, rasa capek dan
lelah lebih banyak digunakan untuk my
time dengan bermain gadget dan
mengurung diri di dalam kamar. Hal inilah yang membuat nilai fungsional
keluarga mengalami degradasi yang pada akhirnya berimplikasi negatif, baik
terhadap intimate intra-keluarga
maupun terhadap lingkungan sosial secara tidak langsung.
Pandemi
Covid-19, secara tidak langsung mampu merestorasi kembali peran dan makna
keluarga pada khitahnya sebagai institusi yang menjalankan peran terstruktur
secara fungsional. Keluarga kembali mampu menjalankan fungsi afeksi, fungsi motivasi,
fungsi kognitif-edukasi, dan fungsi material secara optimal. Sebuah momentum
yang agaknya menjadi bahan refleksi dan kontemplasi bagi masing-masing individu
untuk mengkonstuksikan peran dan makna keluarga sebagaimana khitahnya dalam
relasi respirokal-mutualistik.
Akhir
sekali, pada dasarnya setiap manusia selalu memerlukan asupan ragawi dan
non-ragawi agar tetap on the track.
Keluarga merupakan sebuah konstruksi entitas besar yang memiliki beragam fungsi
yang sangat penting bagi pemenuhan asupan ragawi (materil) maupun non-ragawi
manusia. Hilangnya nilai fungsional dari sebuah institusi bernama keluarga,
niscaya akan membuat manusia kehilangan asupan ragawi dan khususnya asupan
non-ragawi yang sangat besar. Dan pandemi wabah Covid-19 sekarang ini seakan
memberikan alarm dan bahan
introspeksi bahwa keluarga adalah entitas kehangatan sejati.