18
Juni 2020, klub kebanggan arek Surabaya,
Persebaya Surabaya merayakan hari ulang tahunnya yang ke-93. Sebuah usia yang
bahkan jauh lebih tua dari pada usia dan berdirinya negeri ini. Jika diruntut
secara historis, Persebaya pada mulanya bernama Soerabajasche Indische Voetbal Bond (SIVB), berdiri pada tanggal 18
Juni 1927. Oleh karena itu, SIVB secara letterlijk
merupakan embrio dari pada Persebaya.
Persebaya
secara historikal merupakan klub sepak bola yang memiliki relasi erat dengan
tumbuhnya semangat perjuangan dan nasionalisme. Persebaya atau SIVB ketika itu
lahir dari perjuangan tokoh-tokoh pribumi, semacam M. Pamoedji dan Paidjo.
Menurut R.N. Bayu Aji, lahirnya SIVB dilatarbelakangi oleh keinginan masyarakat
pribumi khususnya masyarakat Surabaya ketika itu untuk menunjukkan bahwa tidak
hanya Belanda yang bisa memainkan sepak bola. SIVB dibentuk sebagai wujud perlawanan
kultural masyarakat pribumi untuk membuktikan bahwa mereka juga mampu memainkan
sepak bola. (dikutip dari Historia).
Sebelum
berdirinya SIVB, di Surabaya sendiri sebenarnya telah lahir beberapa klub sepak
bola, yakni Oost Java Voetbalbond (OOJV)
tahun 1907 yang kemudian berganti nama menjadi Soerabaiasche Voetbal Bond (SVB) pada tahun 1914, serta klub sepak
bola bernama Tiong Hwa Soerabaia, yang merupakan klub sepak bola bagi golongan
Tionghoa.
Kembali
soal SIVB, setelah berdiri pada tanggal 18 Juni 1927, 3 tahun kemudian, SIVB
turut menginisiasi lahirnya Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI). Oleh
karena itu, secara legitimate historis,
Persebaya memiliki legitimasi peran sebagai salah satu pendiri PSSI. Dalam
berjalannya waktu, SIVB mengalami beberapa kali transformasi nama sebelum
berganti nama menjadi Persebaya. Pada tahun 1938 SIVB berganti nama menjadi
Persibaja. Pergantian nama dari SIVB menjadi Persibaja konon merupakan anjuran
dari PSSI agar setiap klub sepak bola yang berada dalam naungannya tidak lagi
memakai nama berbau Belanda. Setelah kemerdekaan, Persibaja berganti nama
menjadi PORIS (Persatoean Olah Raga Republik Indonesia Soerabaja). Kemudian,
setelah kongres PSSI 1950 di Semarang, PORIS kembali berganti nama menjadi
Persibaja dan pada tahun 60-an menjadi Persebaya. Pergantian nama dari
Persibaja ke Persebaya dipercayai hanya sekadar perubahan kata mengikuti konsep
EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).
Sejak
berdiri pada tahun 1927, telah banyak prestasi yang ditorehkan oleh Bajul Ijo. Persebaya tercatat pernah
menjuarai kompetisi perserikatan sebanyak lima kali, yakni pada tahun 1950,
1951, 1952, 1978, 1988 dan 10 kali runner-up
yakni pada tahun 1938, 1948, 1965, 1967, 1971, 1973, 1977, 1981, 1987, dan
1990. Persebaya juga dua kali menjuarai liga Indonesia, yakni pada tahun 1997
dan 2004. Segenap prestasi yang ditorehkan oleh Persebaya tersebut merupakan
bukti nyata bahwa Persebaya merupakan salah satu klub besar di Indonesia.
Perjalanan
93 tahun Persebaya sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang manis
seperti gelar juara, namun juga hal-hal yang getir misalnya degradasi,
dualisme, dan “pembunuhan perdata” oleh federasi serta “tangan-tangan jahat”
yang tidak menginginkan Persebaya survive.
Dalam perjalanannya, Persebaya pernah mengalami dualisme. Hal ini berawal
pada kompetisi liga super Indonesia musim 2009/2010, di mana Persebaya
“didzalimi” oleh PSSI dan operator liga. Hal ini berawal dari pertandingan
Persebaya vs Persik yang harusnya dilaksanakan pada tanggal 29 April 2010 di
stadion Brawijaya Kediri. Sayangnya di hari pertandingan, Persik tidak hadir.
Berdasarkan manual liga saat itu (Pasal 26 ayat 6) harusnya Persik kena WO dan
dinyatakan kalah 3-0. Namun anehnya, hukuman WO kepada Persik tidak pernah terlaksana,
dan operator liga malah menginisiasi diadakannya tanding ulang. Nah, di saat
tanding ulang tersebut, Persebaya enggan bertanding sebagai bentuk protes,
karena Persik tidak dihukum WO. Alhasil, justru Persebaya yang pada akhirnya
dihukum WO dan kalah 3-0. Di akhir liga, Persebaya akhirnya degradasi ke divisi
utama.
Setelah
Persebaya degradasi karena “dikerjai”, manajemen Persebaya dibawah naungan PT
Persebaya Indonesia membelot ke liga primer Indonesia (LPI), yang merupakan
kompetisi tandingan liga super Indonesia (ISL). Pilihan sikap tersebut membuat
Persebaya diganjar sanksi oleh PSSI. Di sisi lain, celah kisruh antara
Persebaya dan PSSI terkait pilihan berkompetisi, dimanfaatkan oleh Wisnu
Wardhana untuk mendirikan Persebaya tandingan dibawah naungan PT Mitra Muda
Inti Berlian. Persebaya palsu ini berkompetisi di kompetisi liga super
Indonesia. Adanya dua persebaya, membuat Persebaya asli menggunakan nama
Persebaya 1927 sebagai penegasan bahwa inilah Persebaya yang asli dan sejati. Pada
tahun 2015, PT Persebaya Indonesia memenangkan gugatan atas legalitas nama
Persebaya. Hal ini membuat Persebaya palsu dan abal-abal versi PT MMIB harus
berganti nama. Persebaya palsu dan abal-abal pun berganti nama, dari Bonek FC, kemudian
Surabaya United, dan pada akhirnya bertransformasi menjadi Bhayangkara FC
setelah merger dengan PS Polri.
Di
saat Persebaya mengalami masa-masa sulit, Persebaya beruntung memiliki
pendukung setia dan fanatis sekaliber Bonek. Bonek dengan loyalitas dan rasa
cintanya yang besar pada Persebaya senantiasa gigih berjuang digaris depan agar
hak-hak Persebaya sebagai klub sepak bola dan anggota PSSI dipulihkan kembali. Sejak
KLB PSSI April 2015 hingga KLB PSSI November 2016 Ancol Bonek selalu gigih
berjuang demi keadilan bagi klub yang mereka banggakan. Persebaya. Akhirnya
perjuangan Bonek berbuah manis, Persebaya kembali diakui sebagai anggota PSSI
dan dapat berkompetisi di liga 2 2017. Setelah kembali berkompetisi, Persebaya
langsung tancap gas dengan menyabet gelar juara liga 2 2017, peringkat 5 liga 1
2018, dan runner-up liga 1 2019. Relasi antara Bonek dan Persebaya menjadi
bukti nyata bahwa cinta sejati dan romantisme itu ada dalam entitas dunia nan
fana.
Refleksi 93 Tahun Persebaya
\Setiap
pertambahan usia hendaknya dijadikan momentum untuk merefleksi diri atas semua
perjalanan usia yang telah dilalui. Refleksi ini menjadi penting sebagai sarana
kontemplasi untuk memperbaiki hal-hal yang belum baik, sekaligus mempertahankan
bahkan meningkatkan hal-hal yang sudah berjalan dengan baik. Terkait dengan
Persebaya, ada 3 hal yang harus menjadi titik perhatian di usianya kini yang
telah menginjak 93 tahun.
Pertama,
prestasi. Persebaya adalah klub besar dengan sejarah panjang dalam belantika
sepak bola nasional. Persebaya tercatat telah menggondol 5 kali juara
perserikatan dan 2 kali menyabet gelar liga Indonesia. Terakhir kali Persebaya
mampu meraih gelar di kompetisi kasta tertinggi sendiri adalah pada tahun 2004.
16 tahun tanpa gelar juara liga kasta tertinggi tentunya memberikan rasa
kerinduan bagi seluruh elemen Persebaya. Oleh karena itu, sudah saatnya seluruh
elemen Persebaya bersatu dan menyatukan tekad untuk mengembalikan kejayaan
Persebaya sesuai dengan peran dan porsinya masing-masing. Manajemen harus
memastikan urusan-urusan diluar lapangan yang berkaitan dengan Persebaya dapat
berjalan lancar tanpa kendala, pemain dan pelatih harus memberikan kinerja
terbaik baik saat latihan maupun pertandingan, dan suporter (Bonek) tentunya
harus men-support tim secara maksimal
baik secara psikologis, material, dan kritisisme.
Kedua,
manajerial dan tata kelola. Di era industri sepak bola, klub yang bisa survive adalah klub-klub yang memiliki
manajerial dan tata kelola yang profesional. Mengapa bisa demikian? Karena
profesionalisme sebauh klub akan memiliki imbas terhadap value branding klub tersebut khususnya terkait aspek bisnis dan
ekonomi, baik dari luar (sponsor) maupun dari dalam (tiket pertandingan,
penjualan marchendise dll). Kemampuan
ekonomis sebuah klub pada akhirnya akan memiliki efek langsung terhadap
prestasi maupun keberlangsungan sebuah klub itu sendiri. Oleh karena itu, agar
sebuah klub memiliki prestasi yang baik dan tetap bisa survive, maka mutlak diperlukan adanya entitas manajerial dan tata
kelola klub yang profesional. Sejak kembali berkompetisi pada 2017, manajemen
Persebaya memang cukup baik terkait urusan manajerial dan tata kelola klub.
Tidak pernah terdengar keluhan “urusan dapur” dari para pemain. Pemain digaji
besar dan diberikan fasilitas mewah (tinggal di apartemen). Sponsor juga banyak
merapat ke Persebaya. Oleh karena itu, kualitas manajerial dan tata kelola klub
yang profesional ini hendaknya dapat terus dipertahankan bahkan ditingkatkan demi
kejayaan Persebaya.
Ketiga,
hubungan dengan Bonek. Persebaya dan Bonek adalah dua entitas yang memiliki
sisi romantisme baik secara kultural maupun sosiologis. Bonek selalu setia
bersama Persebaya dalam apapun kondisinya. Sebagai suporter setia Persebaya,
Bonek memiliki 3 peran penting baik secara langsung maupun tidak langsung yang
dapat mendorong kemajuan dan prestasi Persebaya. Pertama, peran psikologis.
Adalah peran Bonek untuk mendukung Persebaya saat berlaga dilapangan. Nyanyian
dan chants-chants pembakar semangat
dari Bonek akan menjadi stimulan secara psikologis bagi pemain yang berjibaku
di lapangan untuk memberikan kemampuan terbaiknya. Kedua, peran ekonomis.
Secara langsung dapat dilakukan melalui pembelian tiket pertandingan dan marchendise resmi klub. Secara tidak
langsung, jumlah Bonek yang banyak dan masif akan menaikkan nilai jual
Persebaya di mata sponsor. Ketiga, Peran konstruktif. Yakni melalui kritik dan
masukan yang bersifat konstruktif bagi kemajuan Persebaya. Mengingat 3 peran
penting yang dimiliki oleh Bonek bagi Persebaya, maka hendaknya manajemen
Persebaya kedepannya harus mampu membangun relasi dan komunikasi yang lebih
hangat dengan Bonek. Intinya, manajemen Persebaya harus bisa lebih dekat dengan
Bonek.
Pada
akhirnya klub adalah sistem. Sistem yang digerakkan oleh bekerjanya sub-sub
sistem yakni manajemen, pemain dan pelatih, serta suporter. Momentum 93 tahun
Persebaya semoga dapat menjadi titik refleksi bagi setiap sub-sistem Persebaya
maupun Persebaya sebagai sebuah sistem itu sendiri, membulatkan tekad,
menyatukan visi untuk mengembalikan kedigdayaan Persebaya. Bersama merengkuh
kejayaan. WANI!!!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar