Indonesia
adalah negara hukum, hal ini secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945. Konsekuensi logis sebagai negara hukum tentunya mengandung
implikasi-implikasi yuridis terkait pemenuhan aspek-aspek fundamental negara
hukum baik dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan organik, maupun dalam
praktis-implementatif.
Dan
dari sekian banyak aspek fundamental negara hukum, hak asasi manusia merupakan
aspek yang memerlukan atensi lebih. Mengapa demikian? Karena esensi dari pada
negara hukum adalah perlindungan HAM. Pemenuhan aspek-aspek fundamental negara
hukum lain pada akhirnya juga bermuara pada perlindungan HAM. Misalnya, terkait
pembagian kekuasaan pada lembaga negara, tujuannya adalah untuk meminimalisir
otoritarianisme. Otoritarianisme sendiri adalah entitas yang mengancam
perlindungan hak asasi manusia. Jadi, bisa disimpifikasikan bahwa aspek
pembagian kekuasaan pada negara hukum muaranya adalah perlindungan HAM.
Hak
asasi manusia sendiri adalah seperangkat hak yang melekat secara inheren pada
diri setiap manusia sebagai karunia dari Tuhan yang wajib dihormati oleh setiap
pihak baik negara, hukum, maupun oleh sesama manusia demi harkat dan martabat
manusia. Sebagai negara hukum, maka peraturan maupun mekanisme hukum yang ada
di Indonesia harus akomodatif terhadap perlindungan hak asasi manusia.
HAM dalam Sistem
Peradilan Pidana Indonesia
Sistem
peradilan pidana merupakan mekanisme hukum yang berfungsi untuk memproses dan
menyelesaikan perkara pidana. Menurut Marjono Reksodipoetro, sistem peradilan
pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
Dari
definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa sistem peradilan pidana merupakan
mekanisme untuk memproses suatu perkara pidana dengan pendekatan sistematik dan
integralistik. Dari kepolisian (penyelidikan dan penyidikan), kejaksaan
(penuntutan), pengadilan (peradilan), dan lembaga pemasyarakatan
(pemasyarakatan narapidana)
Dalam
perspektif HAM, konsekuensi tersebut melahirkan dua implikasi. Pertama,
implikasi rawan terjadinya pelanggaran HAM, mengingat proses penyelesaian
perkara pidana harus melalui tahap sistematik kelembagaan, di mana setiap
lembaga memiliki kewenangan hukum strategis yang cukup potensial melahirkan abuse of power dan rudapaksa HAM. Kedua,
implikasi protektif. Bahwa negara harus hadir dalam rangka memberikan
perlindungan HAM di dalam sistem peradilan pidana.
Berdasarkan
penelahaan penulis, terdapat dua problematika dalam sistem peradilan pidana
yang berafiliasi erat dengan praktik rudapaksa HAM dalam sistem peradilan
pidana Indonesia. Rudapaksa sendiri adalah istilah untuk menggambarkan
bagaimana otoritas melakukan atau membiarkan terjadinya perampasan hak asasi
manusia.
Pertama,
perampasan hak-hak hukum. Secara normatif, proses penegakan hukum pidana dalam
bingkai sistem peradilan pidana sangat menjunjung tinggi asas due process of law. Due process of law adalah prinsip penegakan hukum yang menjunjung
tinggi hukum dan HAM melalui pemenuhan hak-hak hukum secara proporsional. Dalam
KUHAP hak-hak hukum bagi tersangka dan terdakwa secara normatif terjamin dalam
Pasal 50 hingga Pasal 64, seperti: hak untuk memberikan keterangan secara bebas
kepada penyidik (Pasal 52) dan hak untuk mendapatkan bantuan hukum (Pasal 54
dan 55).
Secara
normatif, memang hak-hak hukum sebagai konsekuensi due process of law telah terjamin dalam KUHAP, namun dalam
aplikasinya masih banyak dijumpai praktek-praktek penegakan hukum yang
mengingkari prinsip due process of law khususnya
dalam tahap pemeriksaan di kepolisian. Lebih spesifik lagi berbicara mengenai
perampasan hak hukum bagi tersangka terkait hak untuk memberikan keterangan
secara bebas pada penyidik, kesewenang-wenangan dalam penangkapan dan penahanan,
hingga praktik kekerasan.
Dalam
realitasnya, memang kerap terjadi tindak kekerasan dan intimidasi yang dilakukan
oleh polisi ketika melakukan proses penyidikan. Menurut Putri Kanesia, Kepala
Bidang Advokasi KontraS, kasus-kasus kekerasan di ruang interogasi kerap
terjadi karena polisi masih menganggap penyiksaan dan intimidasi sebagai cara
efektif untuk memperoleh keterangan dari tersangka. Di sisi lain, penegakan
hukum terhadap oknum polisi yang melakukan tindak kekerasan dan intimidasi
dalam penyidikan juga minim. Kemudian dari sisi eksternal, minimnya
pendampingan hukum turut menjadi faktor pelengkap mengapa kekerasan dan
intimidasi pada tahap penyidikan kerap terjadi. Menurut catatan dari KontraS,
sepanjang tahun 2011-2019 telah terjadi 445 kasus penyiksaan yang dilakukan
oleh polisi terhadap tahanan.
Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia juga memotret hal serupa. Dalam laporan hukum
dan hak asasi manusia 2019 dan proyeksi 2020, YLBHI merilis 169 kasus
pelanggaran terhadap prinsip fair trial sepanjang
tahun 2019. Dari data tersebut, polisi merupakan aktor yang paling banyak
melakukan pelanggaran, yakni sebanyak
58%. Pelanggaran terhadap prinsip fair
trial oleh polisi terutama terjadi pada tahap penangkapan dan penahanan.
Paling aktual, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia merilis bahwa telah
terjadi penahanan dan penangkapan secara sewenang-wenang oleh polisi kepada
2643 orang di 10 provinsi terkait unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja pada 8
Oktober 2020 lalu. Jumlah ini bahkan kemungkinan besar meningkat jika ditotal
pada 34 provinsi.
Dalam
perspektif HAM, praktik kekerasan yang dilakukan oleh polisi dalam tahap
penyidikan serta kesewenang-wenangan dalam penangkapan dan penahanan
bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang tertuang dalam konstitusi
(Pasal 28 G ayat 2 dan Pasal 28 I ayat 1) dan Konvensi Anti-Penyiksaan yang
diratifikasi oleh Indonesia dengan UU Nomor 5 tahun 1998.
Kedua,
over capacity dan prisonisasi dalam lembaga pemasyarakat. Menurut
data dari Kemenkumham pada 2018 lalu, over
capacity lapas di Indonesia mencapai 203%. Kapasitas lapas secara nasional
hanya bisa menampung 126.164 narapidana sedangkan jumlah narapidana sebesar
256.273 orang. Tahun 2020 ini pun hampir semua lapas di Indonesia masih
mengalami over capacity, tidak ada
perubahan signifikan.
Lembaga
pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana sendiri memiliki fungsi strategis
dalam rangka resosialisasi dan pembinaan narapidana. Sayangnnya, fungsi
tersebut tidak bisa berjalan optimal karena over
capacity. Over capacity membuat
keadaan lapas jauh dari kondisi yang manusiawi, tidak sehat, dan marak praktik
prisonisasi yang bertentangan dengan HAM, seperti: perploncoan, perbudakan,
penganiayaan, hingga pelecehan seksual. Realitas ini menyebabkan lembaga
pemasyarakatan gagal menjadi institusi resosialisasi narapidana, malah
sebaliknya justru menjadi tempat bagi perampasan hak-hak asasi manusia.
Solusi
Pertama,
terkait praktik perampasan hak hukum ketika proses penyidikan di kepolisian
terdapat dua solusi untuk mengatasinya. Pertama, harus ada perubahan kultural
dalam tubuh polri untuk menjauhi praktik-praktik yang bertentangan dengan asas due procces of law. Polri harus
profesional dengan menjunjung tinggi penegakan hukum berdasarkan hukum. Peran
pimpinan polri, propam, dan kompolnas harus dioptimalisasi agar para penyidik
polisi bekerja on the track. Kedua,
masifisitas bantuan hukum struktural. Bantuan hukum struktural berfungsi
memberikan pendidikan dan pendampingan hukum kepada klien agar tidak terjadi
perampasan hak-hak hukum. Negara harus hadir di sini melalui support anggaran dalam APBN/APBD agar implementasi
bantuan hukum struktural tumbuh secara masif. Selain itu, peran dan awareness dari akademisi hukum, dosen,
hingga mahasiswa hukum diperlukan untuk memperkuat praksis advokasi hukum.
Advokat juga harus lebih optimal dalam melaksanakan bantuan hukum pro-bono,
agar semakin banyak masyarakat khususnya yang miskin untuk mendapatkan akses
bantuan hukum.
Kedua,
terkait prisonisasi dan over capacity lapas
solusinya adalah optimalisasi pendekatan restorative
justice sebagaimana tertuang dalam Perkap Nomor 6 Tahun 2019, optimalisasi
pidana percobaan (sepanjang memenuhi syarat yuridis), dan pembangunan lapas
baru yang representatif-proporsional. Pada prinsipnya, lembaga pemasyarakatan
harus direstorasi menjadi tempat yang efektif untuk menjalankan peran pembinaan
dan resosialisasi narapidana. Akhir sekali, 10 Desember adalah hari peringatan
Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Momentum ini hendaknya menjadi bahan
refleksi dan koreksi bersama bagaimana kita membangun peradaban hidup dan
kehidupan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.