Jumat, 15 Januari 2021

PENDEKATAN EKONOMI MIKRO TERHADAP HUKUM PIDANA

 

Dalam dinamikanya, bekerjanya hukum pidana sangat dipengaruhi oleh beberapa aliran pemikiran hukum pidana. Secara teoritik, terdapat 4 aliran pokok dalam hukum pidana yakni aliran klasik, aliran modern, dan aliran neoklasik. Ketiga aliran ini memiliki konsep pemikiran yang berbeda satu sama lain.

Pertama, aliran klasik. Menurut aliran klasik, titik sentral dari pada penegakan hukum pidana adalah pada perbuatan atau tindak pidana (daad strafrecht). Sehingga titik penekanannya adalah sepanjang orang melakukan perbuatan (delik) yang sesuai dengan rumusan aturan hukum pidana, maka orang tersebut harus dijatuhi sanksi pidana sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan aturan hukum pidana. Secara implisit, aliran klasik memandang bahwa setiap perbuatan atau delik pidana yang sama harus dijatuhi pidana yang sama. Aliran klasik pada dasarnya dipengaruhi oleh paham indeterminisme yakni paham yang memandang manusia dan perbuatannya sebagai sebuah relasi yang otonom (tidak dipengaruhi oleh faktor di luar diri).

Kedua, aliran modern. Menurut aliran modern, titik sentral dari pada perhatian dan penegakan hukum pidana terletak pada subyek pelaku tindak pidana. Sehingga ketika terjadi suatu delik pidana, maka tidak selalu dikenakan sanksi pidana sebagaimana ketentuan aturan pidana yang menjadi dasar legitimasi penjatuhan pidana, namun akan dilihat terlebih dahulu kondisi obyektifitas yang melatarbelakangi pelaku melakukan tindak pidana tersebut. Aliran modern ini di sebut juga daader strafrecht, di mana titik penekanannya diletakkan pada subyek pelaku tindak pidana.

Aliran modern pada dasarnya dipengaruhi oleh paham determinisme yaitu paham yang memandang bahwa manusia dan perbuatannya tidak bersifat otonom. Artinya, perbuatan seorang manusia tidak disebabkan oleh kehendak dari dalam dirinya namun dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal di luar dirinya. Menurut aliran modern, orang yang melakukan delik pidana yang sama dapat dijatuhi sanksi yang berbeda. Konkretnya, penjatuhan sanksi pidana harus dilihat dari latar balakang maupun kondisi subyektif seseorang.

Ketiga, aliran neoklasik. Merupakan sintesis dari kedua aliran di atas. Menurut aliran neoklasik titik sentral perhatian dan penegakan hukum pidana terletak pada aspek perbuatan dan juga pelaku (orang) secara seimbang. Berangkat dari sini, maka suatu pemidanaan haruslah memperhatikan secara matang dan seimbang antara perbuatan yakni delik pidana dan juga kondisi subyektif dari pelaku saat melakukan delik pidana.

Keempat, aliran post-neoklasik atau victims-daad-dadder strafrecht. Menurut aliran ini titik sentral perhatian dan penegakan hukum tidak hanya terletak pada aspek perbuatan dan juga pelaku (orang) tetapi juga kepada pihak korban. Korban merupakan subyek penting dalam penegakan hukum pidana, mengingat keadilan materil hanya dapat terwujud jika korban mendapatkan treatments yang proporsional dan adil.

KUHP sebagai ratio legis dari hukum pidana positif di Indonesia pada prinsipnya mengandung ajaran hukum pidana klasik di mana menitikberatkan pada aspek perbuatan (delik pidana). Artinya, titik penekanannya adalah pada perbuatan bukan terhadap pelaku (faktor subyektif). Oleh karena itu, aspek penjeraan terasa lebih kental dari pada aspek restoratif. Orientasi penegakan hukum pidana bersifat represif yang secara outcomes justru semakin menyuburkan berbagai praktik tindak pidana, lembaga pemasyarakatan di berbagai wilayah Indonesia mengalami over capacity. Dikutip dari hukumonline.com, per Maret 2020 jumlah tahanan di rutan/lapas seluruh Indonesia mengalami over kapasitas sebesar 24 persen dari jumlah penghuni Hal ini merupakan salah satu indikasi kegegalan hukum pidana dalam membangun kehidupan hukum yang lebih baik.

Over capasity lembaga pemasyarakatan sendiri mengandung dua implikasi. Pertama, dis-optimalisasi fungsi lembaga pemasyarakatan dalam melakukan fungsi pembinaan dan resosialisasi narapidana. Kedua, terjadi pemborosan atau biaya anggaran negara membengkak untuk membiyai kebutuhan hidup narapidana, yang dalam pendekatan ekonomi tentu merugikan negara.

Menurut Romli Atmasasmita dalam bukunya Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (2017) mengutarakan 2 penyebab mengapa hukum pidana Indonesia belum bisa berkontribusi dalam membangun kehidupan negara yang lebih baik. Pertama, kurangnya pemahaman pembentuk Undang-Undang pidana yang lalu, di mana masih berpedoman pada peristiwa pidana yang telah terjadi (ex ante) tetapi belum mempertimbangkan dampak dari peristiwa pidana tersebut dengan menggunakan pendekatan maksimisasi, efisiensi, dan keseimbangan.

Kedua, penegakan hukum pidana selama ini masih menggunakan parameter keberhasilan semata (output) belum menggunakan parameter kemanfaatan bekerjanya hukum pidana (outcomes). Rumus sukses hukum pidana masih I (input) + P (Proses)= output, seharusnya, I (input) + P (proses) + output= outcomes (dampak). Aspek dampak hanya dapat mawujud jika dipergunakan juga pendekatan non-hukum yakni analisis ekonomi mikro yang melakukan kajian evaluasi berdasarkan prinsip maksimisasi, efisiensi, dan keseimbangan. Pendekatan analisis ekonomi mikro tersebut dapat mengubah analisis metaphysic menjadi analisis in-concreto yang terukur. Minimnya pendekatan ekonomi mikro dalam fungsionalisasi hukum pidana selama ini membuat penegakan hukum pidana kita masih belum efektif dan efisien.

Modderman, mantan Menteri Kehakiman Belanda mengatakan bahwa penjatuhan hukum pidana tidak harus selalu diutamakan, Modderman juga mengingatkan bahwa hukuman pidana tidak boleh menambah kronis “penyakit”. Dalam bahasa ekonomi, apa yang disampaikan oleh Modderman dapat diejawantahkan bahwa hukum pidana berikut sanksinya harus difungsikan secara efektif dan efisien.

J. Remmelink juga mengingatkan bahwa dalam porses legislasi (pembentukan hukum) ada dua asas hukum yang harus diperhatikan yakni asas proporsionalitas dan asas subsidaritas. Menurut J. Remmelink, penjatuhan sanksi (pidana) harus memperhatikan aspek ekonomi mirko, cost-benefit dari pada sekadar penjeraan semata. Dalam pendekatan ekonomi mikro, hukum pidana seharusnya mengutamakan dampak dari pada hukuman dari pada hanya soal keberhasilan “memenjarakan” saja.

Praksis dari pada prinsip maksimisasi, efisiensi, dan keseimbangan dalam fungsionalisasi hukum pidana dapat diejawantahkan dengan pendekatan restorative justice, individualisasi pidana, permaafan hakim, dan double track sanksi pidana. Keempatnya merupakan variabel yang memiliki kapabilitas untuk mengimplementasikan analisis ekonomi mikro demi efisiensi dan efektifitas hukum pidana.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar