Menurut
jurnalis senior Amerika Serikat, Elizabeth Pisani, Indonesia adalah sebuah
bangsa yang tidak masuk akal (imporable). Sebuah keajaiban besar dalam sejarah dunia. Elizabeth
Pisani mengatakan demikian lantaran kagum dengan eksistensi bangsa Indonesia
yang mampu berdiri kokoh diatas kemajemukan sosial maupun primordial yang
melekat masif dalam diri bangsa Indonesia.
Menurut
data BPS, Indonesia terdiri atas 1331 suku, 714 bahasa daerah, 34 provinsi, 416
kabupaten, dan 98 kotamadya. Dengan kemajemukan sosial dan primordial yang
demikian itu Indonesia tetap mampu menjaga eksistensi, soliditas dan
harmonisitas diatas dimensi perbedaan yang melekat. Menurut mantan ketua BPIP,
Yudi Latif, kunci dari pada kokohnya persatuan dan kesatuan dalam bingkai
kemajemukan bangsa Indonesia adalah karena Indonesia memiliki Pancasila.
Pancasila mampu menjadi titik temu, titik tuju, dan titik tumpu guna mengkanalisasi
perbedaan-perbedaan tersebut menjadi suatu kesatuan bernafaskan semangat bhinneka tunggal ika.
Mahfud
Md dalam buku Etika dan Budaya Hukum
dalam Peradilan (2017) mengatakan bahwa kunci soliditas dan kebersatuan
bangsa Indonesia diatas dimensi kemajemukan yang begitu besar terdiri atas 4
hal: pertama, kebersatuan bangsa Indonesia dalam keberagaman terbangun dari
bawah selama ratusan tahun dan bukan pemaksaan dari atas sehingga kebersatuan itu
tumbuh dan hidup secara alamiah. Kedua, adanya dasar ideologi yang dapat
menjadi pemersatu yakni Pancasila dan semboyan bhinneka tunggal ika (unity
in diversity). Ketiga, negara Indonesia berlandaskan kepada cita kedaulatan
hukum (nomokrasi) dan cita kedaulatan rakyat (demokrasi) dimana keduanya saling
bertautan guna menjaga stabilisasi dan integrasi kebangsaan. Keempat, Adanya
hukum dasar yakni UUD NRI Tahun 1945 yang mampu menjadi tumpu bagi pembentukan
hukum yang mengakomodasi entitas kemajemukan.
Sebagai
bangsa yang multikultural, Indonesia juga memiliki nilai-nilai atau falsafah
kebudayaan lokal yang dapat menjadi sarana kebersatuan dan integrasi sosial
dengan semangat keindonesiaan dan nafas Pancasila. Salah satu diantaranya
adalah budaya mela sareka (ritus
perdamaian yang utuh) yang hidup dalam masyarakat Lamaholot, Flores, Nusa
Tenggara Timur.
Mela sareka adalah
proses penyelesaian sengketa atau konflik yang melibatkan masyarakat Lamaholot.
Ritus mela sareka diawali dengan
proses identifikasi adanya pihak-pihak yang berselisih yang disebut getun liko pepin peka (pemisahan para
pihak). Selanjutnya adalah tahap soba
sewalet (ajakan berdamai). Dilanjutkan dengan tahap uku loyak gatu gatan yakni proses merekonstruksi kebenaran.
Dilanjutkan den tahap haput ele kirin
(pengampunan dan penghapusan kesalahan) hingga sampai pada tahap akhir mela sareka atau terwujudnya perdamaian
yang utuh. Esensi dari pada mela sareka sendiri
adalah terajutnya kembali ikatan persaudaraan dan kerukunan dengan jalan mufakat
guna menghapus segala dendam, sakit hati, dan rasa kebencian agar pihak yang
berkonflik/bersengketa mampu kembali hidup harmonis sebagai sebuah kesatuan.
Harmoni sosial yang hendak dibangun oleh mela
sareka meliputi konteks yang lebih luas dan komprehensif yakni secara
individual atau antara para pihak yang bersengketa/berkonflik, secara kolektif,
maupun secara vertikal dengan sang ilahi.
Secara
lebih rinci, proses mela sareka dapat
dilihat dalam jurnal Peradilan Berbasis
Harmoni dalam Guyub Budaya Lamaholot yang ditulis oleh Karolus Kopong Medan
sebagaimana berikut: ritus mela sareka dimulai
dengan adanya laporan dari masyarakat atau pengaduan dari pihak korban kepada kebelen suku onen (kepala suku), jika
korbannya berasal dari satu suku dan dampak dari kasus tersebut tidak terlalu
luas maka perkara demikian ini hanya akan ditangani oleh kepala suku. Jika
pelaku dan korban berasal dari suku yang berbeda dan perkara itu diperkirakan
akan memiliki dampak yang mengganggu stabilitas kehidupan kampung, maka perkara
tersebut akan dibawa kepada kebelen
lewotana (pembesar kampung). Pihak kebelen
suku onen dan kebelen lewotana dalam
menangani perkara tidak bertindak sendiri dalam proses pengambilan keputusan
melainkan mengakomodasi pula semua tokoh adat dan tokoh masyarakat dalam
kampung guna bersama-sama mencari jalan penyelesaian yang terbaik.
Selain
kebelen suku onen dan kebelen lewotana juga ada lei raran (mediator adat) yakni pihak
yang diberikan tugas sebagai mediator antara pihak yang bersengketa agar dampak
dari proses dan penyelesaian sengketa tidak meluas dan menimbulkan persoalan
baru yang semakin rumit. Untuk mengadili perkara konflik baik dihadapan kebelen suku onen maupun kebelen lewotana pertama-tama akan
diadakan ritual adat bau lolon yakni
ritual untuk memohon tuntutan dari arwah leluhur agar dalam penyelesaian
perkara berlajan lancar guna membangun kembali harmonitas baik secara
individual maupun sosial-kolektif. Selanjutnya dilakukan proses getun liko pepin peka yakni pemisahan
antara kedua belah pihak yang bersengketa agar kedua belah pihak dapat merenung
sekaligus menjernihkan emosi dan akal sehat. Selama masa getun liko pepin peka pihak lei
raran telah mulai bekerja guna mendamaikan kedua belah pihak
(pra-perdamaian). Jika mediasi lei raran berhasil kedua belah pihak akan memasuki tahap
uku loyak gatu gatan yakni proses rekonstruksi
fakta dan kebenaran yang dinafasi semangat harmonisasi, persaudaraan, dan
keseimbangan. Meskipun orientasinya bertitik berat pada harmonisasi, persaudaraan,
dan keseimbangan namun ada konsekuensi sanksi adat yang bisa dijatuhkan yang
dikenal dengan istilah nedhan dei
(denda adat) dan pate helo ele kirin (ganti
rugi). Tahap selanjutnya adalah haput ele
kirin yakni menghapus kesalahan-kesalahan yang telah terindentifikasi dalam
proses rekonstruksi kebenaran.
Ketika
kesalahan telah terhapuskan secara adat maka dengan sendirinya telah hilang
beban adat yang menghalangi mereka untuk berdamai. Terakhir, dalam kondisi
bathin yang sudah bersih (tanpa dendam) para pihak akan memasuki tahap akhir
yakni mela sareka sebagai simbol
terajutnya kembalinya hubungan persaudaraan dan harmonisasi hidup yang utuh.
Mela sareka telah
turun-temurun menjelma menjadi falsafah bagi entitas kehidupan sosio-kultural
masyarakat Lamaholot. Budaya mela sareka sendiri
merupakan pengejawantahan dari mentalitas kosmologis masyarakat Lamaholot.
Masyarakat Lamaholot pada umumnya memiliki keterkaitan yang erat sebagai sebuah
etnisitas suku. Dalam budaya Lamaholot individu dan keluarga merupakan unsur
guna membentuk sebuah rasa keterikatan akan etnisitasa yang lebih kuat. Bagi
masyarakat Lamaholot keberadaan suku adalah yang utama karena keberadaan suku
akan menentukan keberlangsungan hidup individu. Hidup setiap individu sebagian
besar dicurahkan untuk suku. Realitas ini sangat berpengaruh dalam membentuk
pandangan dan pola pikir masyarakat Lamaholot yang selalu berlandaskan pada
prinsip kosmologis-kolektif. Dimana mereka akan betindak, berperilaku, dan
bersikap sebagai sebuah kesatuan tidak sekadar cerminan otoritas individu.
Mereka memiliki kesadaran kuat bahwa kehidupan yang hakiki adalah jika
terwujudnya kebersamaan dalam ikatan simbiosis mutualistik (saling membutuhkan
satu sama lain). Dalam hal ini kebersamaan menjadi titik tekan utama dalam
kehidupan sosio-kultural masyarakat Lamaholot. Cara pandang dan cara berpikir
demikian membuat masyarakat Lamaholot meletakkan kerukunan, kebersamaan, dan
keharmonisan sebagai sebuah kebutuhan pokok yang harus terpenuhi.
Nah,
struktur dan ekosistem sosial demikian itu membuat falsafah mela sareka (perdamaian utuh) dapat
tumbuh menjadi sarana integrasi sosial yang efektif dalam rangka mengembalikan
kembali rasa kebersamaan, kerukunan, persatuan, dan harmonisitas sosial
masyarakat Lamaholot. Esensi dari pada penyelesaian sengketa bukanlah
pembalasan namun rekonstruksi kebenaran dan menyatunya kembali (rekonsiliatif) rasa
kebersamaan sebagai sebuah kesatuan. Falsafah ini tentunya selaras dengan cita keindonesiaan
dan semangat Pancasila yang meletakkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
hikmat kebijaksanaan, dan keadilan sosial sebagai kesatuan organis yang
memiliki keterkaitan respirokal.
Budaya
mela sareka sendiri masih bertahan
hingga saat ini. Mengejawantah secara sadar dan nyata dalam relung kehidupan
sosio-kultural masyarakat Lamaholot, Flores, Nusa Tenggara Timur. Budaya mela sareka mengendap dalam entitas dan
kultur sosial masyarakat Lamaholot sebagai sarana integrasi sosial bercita
keindonesiaan dan bernafaskan semangat Pancasila yang meletakkan spiritualitas,
rasa kemanusiaan, kebersatuan, kebijaksanaan, dan keadilan sosial sebagai asas landasan
maupun tujuan dari pada penyelesaian sengketa/konflik yang terjadi dalam
masyarakat Lamaholot. Semangat yang digaungkan oleh mela sareka tidak hanya sekadar mencari benar-salah dan ekses penghukuman
namun lebih bertitik berat kepada proses rekonsiliatif baik secara individu,
sosial-kolektif, dan vertikal-spiritual yang bermuara pada terwujudnya
integrasi dan harmonisasi hidup sebagai sebuah kesatuan. Inilah nilai-nilai
yang menjadi ciri khas leluhur bangsa Indonesia dan ideologi Pancasila yang
seharusnya senantiasa dirawat dan dipelihara guna menjadi simbol kebanggaan
bangsa Indonesia. Simbol kebanggaan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
memiliki budaya dan peradaban nan luhur. Dengan demikian bangsa-bangsa di
seluruh dunia akan memandang bangsa Indonesia dengan citra positif, penuh
hormat dan rasa kekaguman yang tinggi.
Akhir
sekali, mari kita memperkenalkan Indonesia melalui budaya dan kekhasannya. Mari
angkat derajat bangsa Indonesia dimata bangsa-bangsa lain dengan merawat,
menjaga, dan memelihara budaya dan kekhasan bangsa Indonesia. Karena bangsa
yang besar adalah bangsa yang bisa mempertahankan budaya dan kekhasannya ditengah
derasnya roda globalisasi dan guncangan kosmopolitanisme dunia.