Sabtu, 27 Juli 2019

EDUKASI DAN ADVOKASI SUPPORTER


Tadi malam saya mencoba "iseng" turut mengomentari postingan instagram manajer Persija Jakarta Ardhi Tjahjoko yang captionnya berisi keinginan untuk mengajukan re-schedule pertandingan melawan PSM Makassar hari ini (28/07) lantaran faktor keamanan dan keselamatan pemain. Komentar dari manajer Persija tersebut merupakan imbas dari pada ulah kurang sportif beberapa oknum supporter PSM yang melempari bus yang ditumpangi oleh skuad Persija saat hendak pulang menuju hotel sehabis melakukan latihan di stadion mattoanging. Akibat pelemparan tersebut beberapa bagian kaca bus pun pecah. Selain itu, ada official Persija yang harus menderita luka di matanya. Sungguh tindakan yang menciderai nilai sportifitas.

Nah, kembali pada pembahasan awal tadi,  postingan dari manajer Persija tersebut pun saya komentari dengan komentar yang agak provokatif hehehee. Komentar saya tadi malam (sudah saya hapus) sebagai berikut "kalau tidak mau maen mending pulang ke rumah saja minum susu di rumah". Komentar "nakal" saya tersebut sejujurnya hanya untuk memancing respons dari para supporter Persija saja hehe. Dan benar saja (perkiraan saya) respons yang saya terima adalah sumpah serapah baik melalui komentar balasan maupun melalui pesan (DM). Dari beberapa komentar tersebut bahkan ada yang sangat membuat saya trenyuh yakni adanya komentar yang mengancam akan membunuh saya. Akhirnya, demi kebaikan bersama saya pun menghapus komentar saya tersebut. Terlebih saya sudah mendapatkan "apa" yang saya dapat hehe.

Dari ulah oknum supporter PSM yang melempari bus yang ditumpangi skuad Persija dan dari ulah oknum supporter Persija yang membalas komentar saya di instagram manajer Persija secara "berlebihan" akhirnya saya berhasil menarik sebuah hipotesa bahwa supporter-supporter di Indonesia secara umum relatif mudah terprovokasi lalu melakukan tindakan anarkis baik fisik maupun verbal adalah karena minimnya kualitas sumber daya manusia.

Supporter di Indonesia mayoritas berusia muda. Gairah dan emosi menyala. Namun tanpa dibarengi intelektualitas memadai dalam mengejawantahkan makna, arti, esensi, dan tujuan dari sepak bola itu sendiri. Fanatisme buta terhadap klub kesayangan membunuh nalar dan akal sehat yang mereka miliki.

Oleh karenanya, solusi untuk mengatasi problematika laten supporter Indonesia tersebut (menurut saya) adalah dengan edukasi dan advokasi supporter. Edukasi supporter merupakan proses pendidikan dan internalisasi nilai-nilai fundamental dalam sepak bola baik secara umum misalnya nilai-nilai kemanusiaan, sportifitas, kejujuran, dan persahabatan serta secara khusus meliputi konstruksi peran supporter, kreatifitas dukungan, hingga lingkup fanatisme. Sedangkan advokasi adalah pendampingan dalam wujud komunikasi persuasif kepada para supporter agar mereka tidak keluar jalur dalam bingkai sportifitas maupun hukum positif.

Melalui pendekatan edukasi dan advokasi kepada supporter diharapkan para supporter akan memiliki pemahaman dan intelektualitas memadai dalam mengejawantahkan arti, makna, esensi, tujuan, dan peran strategis supporter dalam sepak bola. Hal ini tentunya dapat berimbas positif bagi kultur dan dinamika supporter dalam skala jangka panjang.

Tindakan edukasi dan advokasi supporter sendiri dapat dilakukan oleh intra-komunitas supporter itu sendiri, klub, gabungan supporter, polisi hingga PSSI. Sejauh yang saya amati, tindakan edukasi dan advokasi supporter di Indonesia masih belum lazim. Padahal guna membenahi kualitas sumber daya manusia para supporter, maka sangat urgen dilakukan edukasi dan advokasi supporter. Edukasi dan advokasi tersebut seharusnya dilakukan secara masif, repetitif, dan integratif dalam hal ini melibatkan peran aktif dari semua stakeholders sepak bola Indonesia.

Kita tahu bersama bahwa potensi fanatisme para supporter di Indonesia sangatlah besar. Maka, potensi yang sangat besar tersebut hendaknya bisa diarahkan dan didayagunakan untuk hal-hal yang bersifat positif, progresif, dan konstruktif guna turut mendukung dan membangun ekosistem sepak bola yang lebih profesional dan kondusif bagi pembumian prestasi.

Sayangnya, sejauh ini potensi dari para supporter Indonesia yang begitu besar tersebut belum terlalu optimal dibimbing/digali oleh klub dan disadari oleh para supporter itu sendiri. Klub di Indonesia secara umum relatif kurang memiliki rasa keterkaitan dengan para kelompok supporternya padahal aktifitas dan tindakan yang dilakukan supporter tentu memiliki imbas baik secara langsung maupun tidak langsung kepada klub baik negatif maupun positif. Sedangkan supporter sendiri secara umum relatif hanya terkungkung pada rasa fanatisme sempit pada klub yang mereka dukung dan belum mengejawantah dalam wujud fanatisme konstruktif bagi kemajuan sepak bola Indonesia dalam konteks nasional.

Lebih parahnya, fanatisme sempit tersebut sering diejawantahkan dengan hal-hal bersifat negatif bahkan menjurus kepada tindakan kriminal seperti membunuh, menganiaya, mengancam (persekusi), dan merusak fasilitas umum yang tentu akan memberikan efek kerugian baik bagi dirinya sendiri, bagi klub yang mereka dukung, maupun bagi kultur sepak bola secara umum.

Akhir sekali, saya percaya bahwa kualitas supporter sepak bola sejatinya merupakan cerminan dari pada kualitas masyarakat (manusia) dalam suatu negara. Adab supporter adalah manifestasi dari pada kondisi sosial, moral, dan budaya suatu negara. Oleh karenanya, apa yang ditunjukkan oleh para supporter sepak bola di Indonesia pada dasarnya adalah cerminan dari pada kualitas manusia Indonesia itu sendiri sekaligus cerminan dari kondisi sosial, moral, dan budaya bangsa ini. Suka tidak suka demikianlah adanya. Setidaknya menurut pendapat pribadi saya lho hehe.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar