Rabu, 31 Juli 2019

BUDAYA MELA SAREKA MASYARAKAT LAMAHOLOT SEBAGAI SARANA INTGRASI SOSIAL BERNAFASKAN CITA KEINDONESIAAN DAN SEMANGAT PANCASILA




Menurut jurnalis senior Amerika Serikat, Elizabeth Pisani, Indonesia adalah sebuah bangsa yang tidak masuk akal (imporable). Sebuah keajaiban besar dalam sejarah dunia. Elizabeth Pisani mengatakan demikian lantaran kagum dengan eksistensi bangsa Indonesia yang mampu berdiri kokoh diatas kemajemukan sosial maupun primordial yang melekat masif dalam diri bangsa Indonesia.

Menurut data BPS, Indonesia terdiri atas 1331 suku, 714 bahasa daerah, 34 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kotamadya. Dengan kemajemukan sosial dan primordial yang demikian itu Indonesia tetap mampu menjaga eksistensi, soliditas dan harmonisitas diatas dimensi perbedaan yang melekat. Menurut mantan ketua BPIP, Yudi Latif, kunci dari pada kokohnya persatuan dan kesatuan dalam bingkai kemajemukan bangsa Indonesia adalah karena Indonesia memiliki Pancasila. Pancasila mampu menjadi titik temu, titik tuju, dan titik tumpu guna mengkanalisasi perbedaan-perbedaan tersebut menjadi suatu kesatuan bernafaskan semangat bhinneka tunggal ika.

Mahfud Md dalam buku Etika dan Budaya Hukum dalam Peradilan (2017) mengatakan bahwa kunci soliditas dan kebersatuan bangsa Indonesia diatas dimensi kemajemukan yang begitu besar terdiri atas 4 hal: pertama, kebersatuan bangsa Indonesia dalam keberagaman terbangun dari bawah selama ratusan tahun dan bukan pemaksaan dari atas sehingga kebersatuan itu tumbuh dan hidup secara alamiah. Kedua, adanya dasar ideologi yang dapat menjadi pemersatu yakni Pancasila dan semboyan bhinneka tunggal ika (unity in diversity). Ketiga, negara Indonesia berlandaskan kepada cita kedaulatan hukum (nomokrasi) dan cita kedaulatan rakyat (demokrasi) dimana keduanya saling bertautan guna menjaga stabilisasi dan integrasi kebangsaan. Keempat, Adanya hukum dasar yakni UUD NRI Tahun 1945 yang mampu menjadi tumpu bagi pembentukan hukum yang mengakomodasi entitas kemajemukan.

Sebagai bangsa yang multikultural, Indonesia juga memiliki nilai-nilai atau falsafah kebudayaan lokal yang dapat menjadi sarana kebersatuan dan integrasi sosial dengan semangat keindonesiaan dan nafas Pancasila. Salah satu diantaranya adalah budaya mela sareka (ritus perdamaian yang utuh) yang hidup dalam masyarakat Lamaholot, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Mela sareka adalah proses penyelesaian sengketa atau konflik yang melibatkan masyarakat Lamaholot. Ritus mela sareka diawali dengan proses identifikasi adanya pihak-pihak yang berselisih yang disebut getun liko pepin peka (pemisahan para pihak). Selanjutnya adalah tahap soba sewalet (ajakan berdamai). Dilanjutkan dengan tahap uku loyak gatu gatan yakni proses merekonstruksi kebenaran. Dilanjutkan den tahap haput ele kirin (pengampunan dan penghapusan kesalahan) hingga sampai pada tahap akhir mela sareka atau terwujudnya perdamaian yang utuh. Esensi dari pada mela sareka sendiri adalah terajutnya kembali ikatan persaudaraan dan kerukunan dengan jalan mufakat guna menghapus segala dendam, sakit hati, dan rasa kebencian agar pihak yang berkonflik/bersengketa mampu kembali hidup harmonis sebagai sebuah kesatuan. Harmoni sosial yang hendak dibangun oleh mela sareka meliputi konteks yang lebih luas dan komprehensif yakni secara individual atau antara para pihak yang bersengketa/berkonflik, secara kolektif, maupun secara vertikal dengan sang ilahi.

Secara lebih rinci, proses mela sareka dapat dilihat dalam jurnal Peradilan Berbasis Harmoni dalam Guyub Budaya Lamaholot yang ditulis oleh Karolus Kopong Medan sebagaimana berikut: ritus mela sareka dimulai dengan adanya laporan dari masyarakat atau pengaduan dari pihak korban kepada kebelen suku onen (kepala suku), jika korbannya berasal dari satu suku dan dampak dari kasus tersebut tidak terlalu luas maka perkara demikian ini hanya akan ditangani oleh kepala suku. Jika pelaku dan korban berasal dari suku yang berbeda dan perkara itu diperkirakan akan memiliki dampak yang mengganggu stabilitas kehidupan kampung, maka perkara tersebut akan dibawa kepada kebelen lewotana (pembesar kampung). Pihak kebelen suku onen dan kebelen lewotana dalam menangani perkara tidak bertindak sendiri dalam proses pengambilan keputusan melainkan mengakomodasi pula semua tokoh adat dan tokoh masyarakat dalam kampung guna bersama-sama mencari jalan penyelesaian yang terbaik.

Selain kebelen suku onen dan kebelen lewotana juga ada lei raran (mediator adat) yakni pihak yang diberikan tugas sebagai mediator antara pihak yang bersengketa agar dampak dari proses dan penyelesaian sengketa tidak meluas dan menimbulkan persoalan baru yang semakin rumit. Untuk mengadili perkara konflik baik dihadapan kebelen suku onen maupun kebelen lewotana pertama-tama akan diadakan ritual adat bau lolon yakni ritual untuk memohon tuntutan dari arwah leluhur agar dalam penyelesaian perkara berlajan lancar guna membangun kembali harmonitas baik secara individual maupun sosial-kolektif. Selanjutnya dilakukan proses getun liko pepin peka yakni pemisahan antara kedua belah pihak yang bersengketa agar kedua belah pihak dapat merenung sekaligus menjernihkan emosi dan akal sehat. Selama masa getun liko pepin peka pihak lei raran telah mulai bekerja guna mendamaikan kedua belah pihak (pra-perdamaian). Jika mediasi lei raran  berhasil kedua belah pihak akan memasuki tahap uku loyak gatu gatan yakni proses rekonstruksi fakta dan kebenaran yang dinafasi semangat harmonisasi, persaudaraan, dan keseimbangan. Meskipun orientasinya bertitik berat pada harmonisasi, persaudaraan, dan keseimbangan namun ada konsekuensi sanksi adat yang bisa dijatuhkan yang dikenal dengan istilah nedhan dei (denda adat) dan pate helo ele kirin (ganti rugi). Tahap selanjutnya adalah haput ele kirin yakni menghapus kesalahan-kesalahan yang telah terindentifikasi dalam proses rekonstruksi kebenaran.

Ketika kesalahan telah terhapuskan secara adat maka dengan sendirinya telah hilang beban adat yang menghalangi mereka untuk berdamai. Terakhir, dalam kondisi bathin yang sudah bersih (tanpa dendam) para pihak akan memasuki tahap akhir yakni mela sareka sebagai simbol terajutnya kembalinya hubungan persaudaraan dan harmonisasi hidup yang utuh.

Mela sareka telah turun-temurun menjelma menjadi falsafah bagi entitas kehidupan sosio-kultural masyarakat Lamaholot. Budaya mela sareka sendiri merupakan pengejawantahan dari mentalitas kosmologis masyarakat Lamaholot. Masyarakat Lamaholot pada umumnya memiliki keterkaitan yang erat sebagai sebuah etnisitas suku. Dalam budaya Lamaholot individu dan keluarga merupakan unsur guna membentuk sebuah rasa keterikatan akan etnisitasa yang lebih kuat. Bagi masyarakat Lamaholot keberadaan suku adalah yang utama karena keberadaan suku akan menentukan keberlangsungan hidup individu. Hidup setiap individu sebagian besar dicurahkan untuk suku. Realitas ini sangat berpengaruh dalam membentuk pandangan dan pola pikir masyarakat Lamaholot yang selalu berlandaskan pada prinsip kosmologis-kolektif. Dimana mereka akan betindak, berperilaku, dan bersikap sebagai sebuah kesatuan tidak sekadar cerminan otoritas individu. Mereka memiliki kesadaran kuat bahwa kehidupan yang hakiki adalah jika terwujudnya kebersamaan dalam ikatan simbiosis mutualistik (saling membutuhkan satu sama lain). Dalam hal ini kebersamaan menjadi titik tekan utama dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Lamaholot. Cara pandang dan cara berpikir demikian membuat masyarakat Lamaholot meletakkan kerukunan, kebersamaan, dan keharmonisan sebagai sebuah kebutuhan pokok yang harus terpenuhi.

Nah, struktur dan ekosistem sosial demikian itu membuat falsafah mela sareka (perdamaian utuh) dapat tumbuh menjadi sarana integrasi sosial yang efektif dalam rangka mengembalikan kembali rasa kebersamaan, kerukunan, persatuan, dan harmonisitas sosial masyarakat Lamaholot. Esensi dari pada penyelesaian sengketa bukanlah pembalasan namun rekonstruksi kebenaran dan menyatunya kembali (rekonsiliatif) rasa kebersamaan sebagai sebuah kesatuan. Falsafah ini tentunya selaras dengan cita keindonesiaan dan semangat Pancasila yang meletakkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, hikmat kebijaksanaan, dan keadilan sosial sebagai kesatuan organis yang memiliki keterkaitan respirokal.

Budaya mela sareka sendiri masih bertahan hingga saat ini. Mengejawantah secara sadar dan nyata dalam relung kehidupan sosio-kultural masyarakat Lamaholot, Flores, Nusa Tenggara Timur. Budaya mela sareka mengendap dalam entitas dan kultur sosial masyarakat Lamaholot sebagai sarana integrasi sosial bercita keindonesiaan dan bernafaskan semangat Pancasila yang meletakkan spiritualitas, rasa kemanusiaan, kebersatuan, kebijaksanaan, dan keadilan sosial sebagai asas landasan maupun tujuan dari pada penyelesaian sengketa/konflik yang terjadi dalam masyarakat Lamaholot. Semangat yang digaungkan oleh mela sareka tidak hanya sekadar mencari benar-salah dan ekses penghukuman namun lebih bertitik berat kepada proses rekonsiliatif baik secara individu, sosial-kolektif, dan vertikal-spiritual yang bermuara pada terwujudnya integrasi dan harmonisasi hidup sebagai sebuah kesatuan. Inilah nilai-nilai yang menjadi ciri khas leluhur bangsa Indonesia dan ideologi Pancasila yang seharusnya senantiasa dirawat dan dipelihara guna menjadi simbol kebanggaan bangsa Indonesia. Simbol kebanggaan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki budaya dan peradaban nan luhur. Dengan demikian bangsa-bangsa di seluruh dunia akan memandang bangsa Indonesia dengan citra positif, penuh hormat dan rasa kekaguman yang tinggi.

Akhir sekali, mari kita memperkenalkan Indonesia melalui budaya dan kekhasannya. Mari angkat derajat bangsa Indonesia dimata bangsa-bangsa lain dengan merawat, menjaga, dan memelihara budaya dan kekhasan bangsa Indonesia. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa mempertahankan budaya dan kekhasannya ditengah derasnya roda globalisasi dan guncangan kosmopolitanisme dunia.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar