Proses
pemilu presiden dan wakil presiden nan panjang dan menguras energi kebangsaan
kita telah berakhir, setelah 27 Juni lalu Mahkamah Konstitusi memutus Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum yang isinya menolak permohonan pihak pemohon pasangan
capres dan cawapres 02. Putusan Mahkamah Konstitusi sendiri bersifat final dan
mengikat. Dalam arti tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh untuk
menguji putusan tersebut sehingga putusannya bersifat final dan harus dipatuhi.
Sebagaimana
kita ketahui bersama pemilu presiden dan wakil presiden 2019 dalam
perjalanannya begitu menguras energi kebangsaan serta mengeroposi sendi-sendi
kohesifitas sosial masyarakat akibat terciptanya dan menguatnya segregasi
sosial yang didasari oleh perbedaan pilihan politik.
Sejak masa
kampanye (pra-pemilu), pemilu hingga pasca pemilu polarisasi dalam masyarakat
begitu kuat, para elite pendukung maupun simpatisan Prabowo dan Jokowi begitu
massif menghembuskan narasi-narasi kebencian satu sama lain. Hal demikian itu
membuat pemilu presiden dan wakil presiden 2019 terkonstruksi menjadi ajang
perkubuan dan persaingan kekuasaan semata sehingga substansi demokrasi dan
esensi pemilu tidak mendapat ekosistem dan ruang yang memadai untuk unjuk gigi.
Oleh
karenanya, setelah putusan MK 27 Juni lalu saya sangat berharap segregasi
sosial dan polarisasi dalam masyarakat segera surut mengingat pemilu telah
usai. Jika hal tersebut dilanjutkan maka akan menjadi sebuah hal yang
kontraproduktif dalam rangka mendukung eksekusi program-program strategis
nasional 5 tahun kedepan yang tentu membutuhkan peran serta dan konsolidasi
warga masyarakat.
Perlu
dipahami bahwa arti mendukung disini tidak hanya sekadar bermakna positif namun
juga mengandung arti negatif berupa kritik dan masukan konstruktif demi
berhasilnya eksekusi program-program strategis nasional agar dapat menjadi tonggak
bagi terwujudnya kemaslahatan bersama (rakyat).
Jika
digunakan perspektif top to bottom,
maka rekonsiliasi politik harus dilakukan oleh Jokowi dan Prabowo sebagai
personifikasi dari dua kutub kekuatan politik yang bersaing keras pada
kontestasi pilpres kemarin.
Konkretnya,
Jokowi dan Prabowo harus segera membangun rekonsiliasi politik agar segregasi
sosial dan polarisasi politik dalam masyarakat akibat pilpres 2019 segera
mereda dan tidak semakin meruncing menjadi hal-hal yang bersifat negatif bagi
konsolidasi kebangsaan dan kewargaan kita.
Secara praksis, rekonsiliasi politik sendiri bermakna terjalinnya komunikasi politik yang baik antara
dua kutub kekuatan politik guna meleburkan titik didih segregasi politik sekaligus
menciptakan kesejukan suasana kebathinan kebangsaan.
Perihal
rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Prabowo sejatinya sudah dihembuskan
sejak lama. Pasca pencoblosan, letupan-letupan asa agar tercipta rekonsiliasi
politik antara Jokowi dan Prabowo pun mulai berhembus.
Namun baru
menjelang proses pemilu berakhir inilah letupan-letupan asa tersebut mulai
menampakkan titik terang. Jokowi pada hari sidang pertama MK mengatakan
bahwa rekonsiliasi politik dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja tidak
perlu formalitas yang justru membuat suasana menjadi kaku.
Hal ini
kemudian dipertegas dengan statement dari wakil ketua TKN Arsul Sani dan juru
bicara TKN Arya Sinulingga yang mengatakan bahwa tidak menutup kemungkinan
Prabowo bersama partai Gerindra akan masuk kedalam poros kekuasaan pemerintahan
Jokowi 2019-2024.
Arya
Sinulingga bahkan secara eksplisit menyebut posisi Dewan Pertimbangan Presiden
(Wantimpres) adalah posisi yang pantas bagi Prabowo. Di sisi lain, Prabowo
sebelumnya juga telah menghimbau kepada para pendukung dan simpatisannya untuk
menerima keputusan MK secara lapang dada apapun hasilnya.
Terbaru,
terjalinnya pertemuan dan komunikasi politik yang hangat antara Prabowo dan
Jokowi maupun antara Prabowo dan Megawati mengindikasikan rekonsiliasi politik
di kalangan elite sudah menuju titik terang.
Dinamika
politik yang terbangun akhir-akhir ini menjadi sinyalemen kuat bahwa
rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Prabowo hanyalah tinggal menunggu waktu.
Model Rekonsiliasi Politik
Pada
prinsipnya ada 3 model bentuk rekonsiliasi politik yang dapat dilakukan oleh
Jokowi dan Prabowo. Pertama, model power sharing, dimana kubu Prabowo akan
masuk menjadi bagian dari poros kekuasaan Jokowi. Jika hal ini terjadi maka
dapat dipastikan elite-elite Gerindra akan mendapatkan posisi-posisi strategis
dalam pemerintahan. Besar kemungkinan Gerindra akan mendapat beberapa jatah
menteri dalam kabinet pemerintahan Jokowi.
Kedua, model substantif-agreements, dimana Prabowo dan
Gerindra akan tetap menjadi pihak oposisi namun akan ada semacam kesepakatan
bahwa program-program strategis dan potensial dari Prabowo akan diakomodasi dan
kemudian dielektisasi dengan program-program Jokowi untuk dijadikan program
kebijakan dalam era pemerintahan Jokowi.
Ketiga, model
rekonsiliasi terbuka. Dalam model rekonsiliasi ini tidak akan ada deal-deal politik baik dalam konteks
pragmatis maupun substansial. Inti dari pada rekonsiliasi politik terbuka
adalah terjalinnya komunikasi politik yang sehat dan beradab tanpa menghapus
fragmentasi politik yang ada antara dua kutub kekuatan politik.
Singkatnya,
dalam model rekonsiliasi model ini adalah adanya penegasan posisi bahwa Prabowo
bersama Gerindra akan menjadi poros utama kekuatan oposisi dalam rangka
mengawal jalannya roda pemerintahan Jokowi. Dengan pengertian lain, Prabowo
bersama Gerindra akan mendukung pembangunan negara dari luar kekuasaan melalui
kritik dan masukan konstruktif yang di barengi dengan ahlak demokrasi sebagai
pihak oposisi.
Dari ketiga
model rekonsiliasi politik diatas, secara pribadi saya berharap jika model
rekonsiliasi bentuk kedua dan/atau ketiga yang dipilih oleh Jokowi dan Prabowo.
Untuk yang model pertama yakni model power
sharing saya tidak sepakat mengingat model power sharing akan dapat memberikan dampak negatif baik secara
impresi maupun secara praktis dalam tertib bernegara.
Secara
impresi, model power sharing akan memunculkan
presepsi kuat dari masyarakat luas bahwa kontestasi pilpres yang begitu
menguras emosi, pikiran, tenaga, dan materi ternyata hanya sekadar menghasilkan
kompromi pragmatis bagi-bagi kue kekuasaan semata di kalangan elitis. Hal ini
tentunya akan dapat berdampak kepada menurunnya trust rakyat akan sarana
demokrasi bernama pemilu yang sekaligus berpotensi menaikkan presentase golput
pada pemilu mendatang.
Sedangkan
secara praktis, model power sharing
akan dapat menurunkan kualitas demokrasi sekaligus meningkatkan potensi
terciptanya otoritarianisme yang disebabkan mengendurnya sistem check and balance mengingat kekuatan
pihak oposisi akan semakin melemah dengan bergabungnya Prabowo dan Gerindra
dalam poros kekuasaan Jokowi.
Idealnya,
rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Prabowo janganlah sampai menghapus
fragmentasi-diametrikal politik yang ada. Biarlah tetap demikian. Hanya ahlak
demokrasi, etiket, dan etika berpolitiknya saja yang perlu diperbaiki.
Konkretnya, jangan lagi ada rasa kebencian, permusuhan dan narasi-narasi
politik yang memecah belah kerukunan dan persatuan bangsa hanya karena perihal perbedaan posisi politik.
Kedepan,
perbedaan posisi politik harus diejawantahkan dengan hal-hal yang bersifat
konstruktif, misalnya mengkanalisasi nilai-nilai substantif demokrasi, menggali
dan menguji gagasan progresif untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, serta
mengawal jalannya kekuasaan roda pemerintahan dari oligarki dan
otoritarianisme.
Pada
prinsipnya, demokrasi yang sehat membutuhkan adanya dua kutub kekuatan politik
yang berseberangan agar terbentuk sistem check
and balance yang kuat dan ruang ekosistem demokrasi yang memadai. Semoga
rekonsiliasi politik demikianlah yang dipilih oleh Jokowi dan Prabowo.
Konkretnya, rekonsiliasi politik harus bermuara pada terjaganya entitas
demokrasi yang sehat.
Esensi Rekonsiliasi Politik
Secara
praksis, sebagaimana saya jelaskan diatas bahwa makna dari pada rekonsiliasi
politik sendiri adalah terjalinnya komunikasi politik yang baik antara dua
kutub kekuatan politik guna meleburkan titik didih politik sekaligus
menciptakan kesejukan suasana kebathinan kebangsaan.
Pasca pemilu
yang menyebabkan tensi politik memanas, tidak dapat dipungkiri bahwa riak-riak dis-harmonisasi
dan narasi kebencian antar golongan masyarakat masih berkelindan dalam ruang
sosial dan entitas konsolidasi kewargaan kita. Untuk itu, esensi hadirnya rekonsiliasi
politik sendiri adalah sebagai sarana menetralisir riak-riak dis-harmonisasi
dan kebencian antar masyarakat guna terwujudnya harmoni kebangsaan dalam nafas
persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam negara
demokrasi, persatuan dan kesatuan bangsa adalah modal sosial-politik yang
sangat penting guna menjaga eksistensi negara dan mendorong terwujudnya
kemaslahatan bangsa. Persatuan dan kesatuan akan menyemai spirit konsolidasi
masyarakat untuk bahu membahu berkontribusi positif bagi keberlangsungan dan
kemajuan bangsa ini. Dapat disederhanakan bahwa pondasi untuk menjaga
eksistensi dan memajukan sebuah negara adalah dengan terdapatnya pesatuan dan
kesatuan bangsa.
Salah satu
tokoh besar dunia, Abraham Lincoln bahkan menyebut bahwa sebuah bangsa yang terpecah dari dalam niscaya tidak akan pernah tegak
berdiri. Ucapan Abraham Lincoln tersebut bermakna selama persatuan dan
kesatuan tidak bisa mawujud dalam ruang internal sebuah bangsa. Niscaya, bangsa
tersebut tidak akan pernah mampu berdiri sebagai sebuah bangsa yang besar dan
sejahtera.
Apa yang
dikatakan oleh Abraham Lincoln diatas hendaknya kita jadikan bahan renungan dan
refleksi bersama guna memperbaiki entitas persatuan dan kesatuan kebangsaan
kita yang sedikit koyak karena efek persaingan tampuk kekuasaan dalam pemilu.
Asa untuk
merajut kembali harmonisasi kebangsaan selepas pemilu tentunya melalui
rekonsiliasi politik, sebagaimana saya jelaskan diatas. Namun rekonsiliasi
politik di kalangan elite saja niscaya tidak akan mampu menyebar luas hingga
golongan akar rumput tanpa adanya peran sumbangsih dari para pihak-pihak influencer atau opinion maker yang secara empiris memiliki pengaruh besar dalam
dinamika sosial kehidupan masyarakat.
Pihak-pihak
yang dapat menjadi influencer adalah
pers, tokoh agama, tokoh sosial, tokoh adat, dan akademisi. Pihak-pihak
tersebut adalah opinion maker yang
dapat membawa pengaruh besar dalam membentuk presepsi dan pandangan masyarakat
khususnya di kalangan akar rumput.
Artinya,
persatuan dan kesatuan bangsa yang utuh selepas pemilu hanya bisa mawujud jika
rekonsiliasi politik di kalangan elit dibarengi dengan adanya upaya-upaya dari
para opinion maker untuk
menghembuskan narasi-narasi kesejukan dalam bingkai persatuan dan kesatuan
bangsa. Persatuan dan kesatuan bangsa sendiri merupakan modal sosial-politik sebagai
pondasi menjaga eksistensi negara, membangun demokrasi, dan mendorong
terwujudnya kemaslahatan bangsa.
Oleh karena
itu, marilah kita bersama dengan spirit gotong royong dan cita bernegara yang
luas selalu memiliki idealisme untuk menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa
diatas segalanya. Kontestasi politik harus kita konstruksikan sebagai sarana
guna membawa perubahan ke arah yang lebih baik bukan malah sebaliknya, justru kita
ejawantahkan guna membawa perpecahan dan dis-harmonisasi kebangsaan kita.
Mari bersatu
dalam harmoni dengan balutan nafas Pancasila dan bhinneka tunggal ika. Mari bersama-sama kita menjaga, merawat dan
membangun bangsa ini dengan spirit persatuan dan kesatuan bangsa. Tidak ada
kata perpecahan dan permusuhan. Karena
kita adalah Indonesia.
“Kedewasaan sebuah bangsa tidak hanya diukur dari
bagaimana cara mereka dalam menghargai dan menghormati adanya sebuah perbedaan
namun lebih jauh adalah bagaimana cara mereka dalam menyikapi serta
mengejawantahkan perbedaan-perbedaan yang ada (termasuk perbedaan politik) guna
membawa kemaslahatan dan tamansari kebahagiaan bagi entitas kehidupan
kebangsaan bersama”.