Rabu, 28 Agustus 2019

REKONSILIASI POLITIK PASCA PEMILU: MERAWAT DEMOKRASI DAN KESATUAN BANGSA




Proses pemilu presiden dan wakil presiden nan panjang dan menguras energi kebangsaan kita telah berakhir, setelah 27 Juni lalu Mahkamah Konstitusi memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum yang isinya menolak permohonan pihak pemohon pasangan capres dan cawapres 02. Putusan Mahkamah Konstitusi sendiri bersifat final dan mengikat. Dalam arti tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh untuk menguji putusan tersebut sehingga putusannya bersifat final dan harus dipatuhi.

Sebagaimana kita ketahui bersama pemilu presiden dan wakil presiden 2019 dalam perjalanannya begitu menguras energi kebangsaan serta mengeroposi sendi-sendi kohesifitas sosial masyarakat akibat terciptanya dan menguatnya segregasi sosial yang didasari oleh perbedaan pilihan politik.
 
Sejak masa kampanye (pra-pemilu), pemilu hingga pasca pemilu polarisasi dalam masyarakat begitu kuat, para elite pendukung maupun simpatisan Prabowo dan Jokowi begitu massif menghembuskan narasi-narasi kebencian satu sama lain. Hal demikian itu membuat pemilu presiden dan wakil presiden 2019 terkonstruksi menjadi ajang perkubuan dan persaingan kekuasaan semata sehingga substansi demokrasi dan esensi pemilu tidak mendapat ekosistem dan ruang yang memadai untuk unjuk gigi.

Oleh karenanya, setelah putusan MK 27 Juni lalu saya sangat berharap segregasi sosial dan polarisasi dalam masyarakat segera surut mengingat pemilu telah usai. Jika hal tersebut dilanjutkan maka akan menjadi sebuah hal yang kontraproduktif dalam rangka mendukung eksekusi program-program strategis nasional 5 tahun kedepan yang tentu membutuhkan peran serta dan konsolidasi warga masyarakat.

Perlu dipahami bahwa arti mendukung disini tidak hanya sekadar bermakna positif namun juga mengandung arti negatif berupa kritik dan masukan konstruktif demi berhasilnya eksekusi program-program strategis nasional agar dapat menjadi tonggak bagi terwujudnya kemaslahatan bersama (rakyat).

Jika digunakan perspektif top to bottom, maka rekonsiliasi politik harus dilakukan oleh Jokowi dan Prabowo sebagai personifikasi dari dua kutub kekuatan politik yang bersaing keras pada kontestasi pilpres kemarin.

Konkretnya, Jokowi dan Prabowo harus segera membangun rekonsiliasi politik agar segregasi sosial dan polarisasi politik dalam masyarakat akibat pilpres 2019 segera mereda dan tidak semakin meruncing menjadi hal-hal yang bersifat negatif bagi konsolidasi kebangsaan dan kewargaan kita.

Secara praksis, rekonsiliasi politik sendiri bermakna terjalinnya komunikasi politik yang baik antara dua kutub kekuatan politik guna meleburkan titik didih segregasi politik sekaligus menciptakan kesejukan suasana kebathinan kebangsaan.

Perihal rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Prabowo sejatinya sudah dihembuskan sejak lama. Pasca pencoblosan, letupan-letupan asa agar tercipta rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Prabowo pun mulai berhembus.

Namun baru menjelang proses pemilu berakhir inilah letupan-letupan asa tersebut mulai menampakkan titik terang. Jokowi  pada hari sidang pertama MK mengatakan bahwa rekonsiliasi politik dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja tidak perlu formalitas yang justru membuat suasana menjadi kaku. 

Hal ini kemudian dipertegas dengan statement dari wakil ketua TKN Arsul Sani dan juru bicara TKN Arya Sinulingga yang mengatakan bahwa tidak menutup kemungkinan Prabowo bersama partai Gerindra akan masuk kedalam poros kekuasaan pemerintahan Jokowi 2019-2024.

Arya Sinulingga bahkan secara eksplisit menyebut posisi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) adalah posisi yang pantas bagi Prabowo. Di sisi lain, Prabowo sebelumnya juga telah menghimbau kepada para pendukung dan simpatisannya untuk menerima keputusan MK secara lapang dada apapun hasilnya.

Terbaru, terjalinnya pertemuan dan komunikasi politik yang hangat antara Prabowo dan Jokowi maupun antara Prabowo dan Megawati mengindikasikan rekonsiliasi politik di kalangan elite sudah menuju titik terang.

Dinamika politik yang terbangun akhir-akhir ini menjadi sinyalemen kuat bahwa rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Prabowo hanyalah tinggal menunggu waktu.

Model Rekonsiliasi Politik

Pada prinsipnya ada 3 model bentuk rekonsiliasi politik yang dapat dilakukan oleh Jokowi dan Prabowo. Pertama, model power sharing, dimana kubu Prabowo akan masuk menjadi bagian dari poros kekuasaan Jokowi. Jika hal ini terjadi maka dapat dipastikan elite-elite Gerindra akan mendapatkan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Besar kemungkinan Gerindra akan mendapat beberapa jatah menteri dalam kabinet pemerintahan Jokowi. 

Kedua, model substantif-agreements, dimana Prabowo dan Gerindra akan tetap menjadi pihak oposisi namun akan ada semacam kesepakatan bahwa program-program strategis dan potensial dari Prabowo akan diakomodasi dan kemudian dielektisasi dengan program-program Jokowi untuk dijadikan program kebijakan dalam era pemerintahan Jokowi.

Ketiga, model rekonsiliasi terbuka. Dalam model rekonsiliasi ini tidak akan ada deal-deal politik baik dalam konteks pragmatis maupun substansial. Inti dari pada rekonsiliasi politik terbuka adalah terjalinnya komunikasi politik yang sehat dan beradab tanpa menghapus fragmentasi politik yang ada antara dua kutub kekuatan politik.

Singkatnya, dalam model rekonsiliasi model ini adalah adanya penegasan posisi bahwa Prabowo bersama Gerindra akan menjadi poros utama kekuatan oposisi dalam rangka mengawal jalannya roda pemerintahan Jokowi. Dengan pengertian lain, Prabowo bersama Gerindra akan mendukung pembangunan negara dari luar kekuasaan melalui kritik dan masukan konstruktif yang di barengi dengan ahlak demokrasi sebagai pihak oposisi.

Dari ketiga model rekonsiliasi politik diatas, secara pribadi saya berharap jika model rekonsiliasi bentuk kedua dan/atau ketiga yang dipilih oleh Jokowi dan Prabowo. Untuk yang model pertama yakni model power sharing saya tidak sepakat mengingat model power sharing akan dapat memberikan dampak negatif baik secara impresi maupun secara praktis dalam tertib bernegara.

Secara impresi, model power sharing akan memunculkan presepsi kuat dari masyarakat luas bahwa kontestasi pilpres yang begitu menguras emosi, pikiran, tenaga, dan materi ternyata hanya sekadar menghasilkan kompromi pragmatis bagi-bagi kue kekuasaan semata di kalangan elitis. Hal ini tentunya akan dapat berdampak kepada menurunnya trust rakyat akan sarana demokrasi bernama pemilu yang sekaligus berpotensi menaikkan presentase golput pada pemilu mendatang.

Sedangkan secara praktis, model power sharing akan dapat menurunkan kualitas demokrasi sekaligus meningkatkan potensi terciptanya otoritarianisme yang disebabkan mengendurnya sistem check and balance mengingat kekuatan pihak oposisi akan semakin melemah dengan bergabungnya Prabowo dan Gerindra dalam poros kekuasaan Jokowi.

Idealnya, rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Prabowo janganlah sampai menghapus fragmentasi-diametrikal politik yang ada. Biarlah tetap demikian. Hanya ahlak demokrasi, etiket, dan etika berpolitiknya saja yang perlu diperbaiki. Konkretnya, jangan lagi ada rasa kebencian, permusuhan dan narasi-narasi politik yang memecah belah kerukunan dan persatuan bangsa hanya karena perihal perbedaan posisi politik.

Kedepan, perbedaan posisi politik harus diejawantahkan dengan hal-hal yang bersifat konstruktif, misalnya mengkanalisasi nilai-nilai substantif demokrasi, menggali dan menguji gagasan progresif untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, serta mengawal jalannya kekuasaan roda pemerintahan dari oligarki dan otoritarianisme. 

Pada prinsipnya, demokrasi yang sehat membutuhkan adanya dua kutub kekuatan politik yang berseberangan agar terbentuk sistem check and balance yang kuat dan ruang ekosistem demokrasi yang memadai. Semoga rekonsiliasi politik demikianlah yang dipilih oleh Jokowi dan Prabowo. Konkretnya, rekonsiliasi politik harus bermuara pada terjaganya entitas demokrasi yang sehat.

Esensi Rekonsiliasi Politik

Secara praksis, sebagaimana saya jelaskan diatas bahwa makna dari pada rekonsiliasi politik sendiri adalah terjalinnya komunikasi politik yang baik antara dua kutub kekuatan politik guna meleburkan titik didih politik sekaligus menciptakan kesejukan suasana kebathinan kebangsaan.

Pasca pemilu yang menyebabkan tensi politik memanas, tidak dapat dipungkiri bahwa riak-riak dis-harmonisasi dan narasi kebencian antar golongan masyarakat masih berkelindan dalam ruang sosial dan entitas konsolidasi kewargaan kita. Untuk itu, esensi hadirnya rekonsiliasi politik sendiri adalah sebagai sarana menetralisir riak-riak dis-harmonisasi dan kebencian antar masyarakat guna terwujudnya harmoni kebangsaan dalam nafas persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam negara demokrasi, persatuan dan kesatuan bangsa adalah modal sosial-politik yang sangat penting guna menjaga eksistensi negara dan mendorong terwujudnya kemaslahatan bangsa. Persatuan dan kesatuan akan menyemai spirit konsolidasi masyarakat untuk bahu membahu berkontribusi positif bagi keberlangsungan dan kemajuan bangsa ini. Dapat disederhanakan bahwa pondasi untuk menjaga eksistensi dan memajukan sebuah negara adalah dengan terdapatnya pesatuan dan kesatuan bangsa.

Salah satu tokoh besar dunia, Abraham Lincoln bahkan menyebut bahwa sebuah bangsa yang terpecah dari dalam niscaya tidak akan pernah tegak berdiri. Ucapan Abraham Lincoln tersebut bermakna selama persatuan dan kesatuan tidak bisa mawujud dalam ruang internal sebuah bangsa. Niscaya, bangsa tersebut tidak akan pernah mampu berdiri sebagai sebuah bangsa yang besar dan sejahtera.

Apa yang dikatakan oleh Abraham Lincoln diatas hendaknya kita jadikan bahan renungan dan refleksi bersama guna memperbaiki entitas persatuan dan kesatuan kebangsaan kita yang sedikit koyak karena efek persaingan tampuk kekuasaan dalam pemilu.

Asa untuk merajut kembali harmonisasi kebangsaan selepas pemilu tentunya melalui rekonsiliasi politik, sebagaimana saya jelaskan diatas. Namun rekonsiliasi politik di kalangan elite saja niscaya tidak akan mampu menyebar luas hingga golongan akar rumput tanpa adanya peran sumbangsih dari para pihak-pihak influencer atau opinion maker yang secara empiris memiliki pengaruh besar dalam dinamika sosial kehidupan masyarakat.

Pihak-pihak yang dapat menjadi influencer adalah pers, tokoh agama, tokoh sosial, tokoh adat, dan akademisi. Pihak-pihak tersebut adalah opinion maker yang dapat membawa pengaruh besar dalam membentuk presepsi dan pandangan masyarakat khususnya di kalangan akar rumput.

Artinya, persatuan dan kesatuan bangsa yang utuh selepas pemilu hanya bisa mawujud jika rekonsiliasi politik di kalangan elit dibarengi dengan adanya upaya-upaya dari para opinion maker untuk menghembuskan narasi-narasi kesejukan dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan bangsa sendiri merupakan modal sosial-politik sebagai pondasi menjaga eksistensi negara, membangun demokrasi, dan mendorong terwujudnya kemaslahatan bangsa.

Oleh karena itu, marilah kita bersama dengan spirit gotong royong dan cita bernegara yang luas selalu memiliki idealisme untuk menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa diatas segalanya. Kontestasi politik harus kita konstruksikan sebagai sarana guna membawa perubahan ke arah yang lebih baik bukan malah sebaliknya, justru kita ejawantahkan guna membawa perpecahan dan dis-harmonisasi kebangsaan kita.

Mari bersatu dalam harmoni dengan balutan nafas Pancasila dan bhinneka tunggal ika. Mari bersama-sama kita menjaga, merawat dan membangun bangsa ini dengan spirit persatuan dan kesatuan bangsa. Tidak ada kata perpecahan dan permusuhan. Karena kita adalah Indonesia.


“Kedewasaan sebuah bangsa tidak hanya diukur dari bagaimana cara mereka dalam menghargai dan menghormati adanya sebuah perbedaan namun lebih jauh adalah bagaimana cara mereka dalam menyikapi serta mengejawantahkan perbedaan-perbedaan yang ada (termasuk perbedaan politik) guna membawa kemaslahatan dan tamansari kebahagiaan bagi entitas kehidupan kebangsaan bersama”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar