Budaya literasi
masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Menurut hasil penelitian Programme for International Student
Assessment (PISA), budaya literasi Indonesia terburuk kedua dari 65 negara
yang diteliti. Tepatnya, Indonesia berada di posisi 64 dari 65 negara. Pada
penelitian yang sama, PISA juga menempatkan tingkat membaca siswa Indonesia di
urutan 57 dari 65 negara. Di sisi lain, dilansir dari data statistik UNESCO
pada tahun 2012 menyebutkan indeks minat membaca di Indonesia baru mencapai
0,001%, artinya dari setiap 1000 penduduk hanya satu orang saja yang memiliki
minat membaca. Kemudian data dari UNDP mengatakan bahwa angka melek huruf orang
dewasa di Indonesia hanya 65,5% saja, presentase 65% sendiri masih dibawah
Malaysia yang memiliki presentase 86,4%.
Rendahnya budaya
literasi masyarakat Indonesia sendiri ditengarai oleh beberapa faktor, salah
satunya minimnya kuantitas dan kualitas perpustakaan yang memadai. Minimnya
kuantitas dan kualitas perpustakaan yang memadai membuat minat masyarakat untuk
berkunjung ke perpustakaan menjadi menurun, yang imbasnya berderivasi pada
rendahnya minat membaca masyarakat.
Menurut Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2007, perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya
tulis, karya cetak, dan karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku
guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian informasi, dan
rekreasi para pemustaka. Perpustakaan dibagi dalam 5 jenis: perpustakaan nasional,
perpustakaan umum, perpustakaan khusus, perpustakaan sekolah, perpustakaan
perguruan tinggi.
Secara fungsional,
perpustakaan adalah sebuah institusi yang berfungsi memenuhi kebutuhan
pendidikan, penelitian, pelestarian informasi, sekaligus sarana rekreasi para
pemustaka. Maka, kedepan perpustakaan di Indonesia harus dibangun baik secara
kuantitas dan kualitas guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian,
pelestarian informasi sekaligus sarana rekreasi para pemustaka.
Mewujudkan
Perpustakaan Impian
Ada dua hal fundamental
dalam rangka mewujudkan perpustakaan impian. Pertama, dari segi kuantitas. Perpustakaan harus tumbuh secara
masif pada setiap sekup kehidupan. Dari desa, kota, sekolah, hingga perguruan
tinggi idealnya harus dilengkapi dengan perpustakaan yang baik sebagai modal
guna membangun budaya literasi.
Salah satu
impian besar saya adalah bagaimana melihat setiap desa di Indonesia
memiliki perpustakaan desa (satu desa satu perpustakaan) yang akomodatif dan
representatif sebagai tempat mengembangkan budaya literasi masyarakat. Satu
desa satu perpustakaan sendiri tentunya dapat terealisasi jika ada pollitical will dari pemerintah desa
guna mengalokasikan dana APBDes untuk membangun perpustakaan desa yang
akomodatif dan representatif. Pembangunan budaya literasi sendiri harusnya memang
dibangun dari bottom, dari sekup
sosial terbawah yakni desa bahkan keluarga.
Kedua,
dari
segi kualitas. Dari segi kualitas boleh dikatakan perpustakaan di Indonesia
masih kalah jauh dengan kualitas-kualitas perpustakaan di negara-negara yang
maju secara literasi. Blasius Sudarsono dalam buku Antologi Kepustakawan Indonesia mengatakan bahwa pembangunan
perpustakaan di Indonesia masih sangat lemah, sehingga masih diperlukan
upaya-upaya perbaikan secara sistematis, termasuk pendekatan teknologi guna
mewujudkan perpustakaan impian.
Secara kualitas,
menurut hemat saya, ada 5 poin krusial
yang harus dibangun dalam rangka membangun perpustakaan impian.
Pertama, membangun fasilitas gedung yang
memadai dan nyaman, hal ini harus menjadi concern
mengingat secara umum kondisi fisik perpustakaan di Indonesia relatif belum
mengejawantah sebagai tempat yang nyaman dan memadai. Kedua, pembangunan sumber daya manusia. Hal ini menjadi komponen
penting dalam menentukan berhasilnya tidaknya penyelenggaraan pelayanan
perpustakaan. Perpustakaan yang berkualitas harus didukung oleh sumber daya
manusia perpustakaan yang berkualitas pula. Sumber daya manusia di bidang
perpustakaan sendiri harusnya dapat tumbuh secara masif mengingat sekarang
banyak lulusan prodi ilmu perpustakaan dari berbagai universitas. Ketiga, membangun kualitas pustaka.
Perpustakaan harus dilengkapi dengan bahan pustaka yang lengkap, bervariasi,
memadai, serta selalu mengikuti perkembangan ilmu penghetahuan dan teknologi.
Keempat, pembangunan teknologi
perpustakaan. Seiring dengan perkembangan zaman, maka perpustakaan juga
dituntut mampu mengikuti perkembangan zaman, perpustakaan harus bisa
bertransformasi menjadi perpustakaan 4.0 yang dilengkapi dengan
fasilitas-fasilitas teknologi mutakhir. Internet Wi-fi, otomasi perpustakaan, audio visual, hingga digitalisasi perpustakaan.
Kelima, membangun perpustakaan yang
ramah bagi anak dan kaum disabilitas. Pada prinsipnya, perpustakaan adalah hak
semua orang, maka perpustakaan harus representatif bagi semua kalangan termasuk
bagi anak-anak dan kaum disabilitas.
Pada prinsipnya, perpustakaan impian saya adalah
perpustakaan yang mampu menjadi institusi internalisasi nilai-nilai literasi
bagi pembangunan peradaban manusia Indonesia. Oleh karenanya, perpustakaan
di Indonesia harus tumbuh secara kuantitas (satu desa satu perpustakaan) dan
tumbuh secara kualitas (gedung, sumber daya manusia, kualitas bahan pustaka,
teknologi perpustakaan, ramah anak dan disabilitas). Dengan begitu, perpustakaan
akan mampu menjadi motor penggerak bagi pembangunan budaya literasi masyarakat.
“Perpustakaan adalah jantung
peradaban, sumber ilmu penghetahuan, dimana kualitas dan kuantitasnya akan berpengaruh
besar dalam menentukan tingkat kemajuan peradaban sebuah bangsa”