Senin, 21 Oktober 2019

PRABOWO MENJADI MENTERI JOKOWI ?




Dalam politik sejujurnya tidak pernah ada sesuatu yang mengejutkan. Mengingat muara dari aktivitas politik adalah kekuasaan dan kepentingan. Hal ini mengandung arti bahwa segala pilihan sikap dalam politik pasti dapat ditelaah secara logis dan terukur dalam perspektif kekuasaan dan kepentingan. Ketika koalisi politik dibangun, maka secara logis dapat kita simpulkan bahwa terdapat persamaan visi dan platform politik antara mitra koalisi tersebut. Persamaan visi dan platform politik tersebut tentunya berafiliasi dengan persamaan kepentingan politik dalam rangka meraih dan/atau mempertahankan (berbagi) tampuk kekuasaan.

Dalam sudut pandang lain, politik juga sering disebut sebagai sebuah entitas yang dinamis. Dinamis, mengingat dalam politik segala sesuatu bisa berubah 180 derajat secara cepat. Kawan politik bisa secepat kilat berubah jadi lawan, sebaliknya lawan politik juga bisa secepat kilat berubah menjadi kawan. Dan lagi-lagi basis yang mendasari dinamika politik tersebut tak lain dan tak bukan adalah perihal kekuasaan dan kepentingan.

Maka, ketika Prabowo Subianto sekarang santer disebut akan mengisi pos kabinet Jokowi periode 2019-2024 dalam kapasitas sebagai menteri pertahanan, sesungguhnya hal tersebut bukanlah sesuatu yang mengejutkan, meskipun saya rasa tidak banyak juga orang atau bahkan pengamat politik yang memprediksinya. Saya kira, publik tidak pernah membayangkan bahwa pertarungan pemilu presiden yang begitu sengit dan panas akhirnya berakhir dengan rekonsiliasi politik power sharing dimana sang kompetitor utama dari Jokowi yakni Prabowo justru akhirnya bergabung menjadi menteri dalam kabinet Jokowi.

Dalam artikel saya, Rekonsiliasi Politik Pasca Pemilu: Merawat Demokrasi dan Kesatuan Bangsa, sejujurnya saya telah memprediksi bahwa ada kemungkinan kubu Prabowo dan Gerindra akan bergabung dalam mitra koalisi Jokowi dengan melihat dari realitas komunikasi politik dan gestur politik yang terbangun saat itu. Ketika itu saya menulis bahwa ada 3 model rekonsiliasi politik yang dapat dipilih oleh Jokowi dan Prabowo.

Pertama, model power sharing dimana kubu Prabowo akan masuk menjadi bagian dari poros kekuasaan Jokowi. Jika hal ini terjadi, maka dapat dipastikan elite-elite Gerindra akan mendapatkan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Besar kemungkinan Gerindra akan mendapat beberapa jatah menteri dalam kabinet.

Kedua, model substantif-agreements dimana Prabowo dan Gerindra akan tetap menjadi pihak posisi namun akan ada semacam kesepakatan bahwa program-program potensial dan unggulan dari Prabowo akan diakomodasi dan kemudian dielektisasi dengan program-program Jokowi untuk dijadikan program kebijakan dalam era pemerintahan Jokowi.

Ketiga, model rekonsiliasi terbuka. Dalam model rekonsiliasi terbuka ini tidak akan ada deal-deal politik baik dalam konteks pragmatis maupun substansial. Inti dari pada rekonsiliasi politik terbuka adalah terjalinnya komunikasi politik yang sehat dan beradab tanpa menghapus fragmentasi politik yang ada antara dua kutub kekuatan politik.

Pada akhirnya, model rekonsiliasi politik yang dipilih oleh Jokowi dan Prabowo adalah model power sharing dimana kompetitor utama Jokowi dalam pilpres lalu yakni Prabowo kemungkinan besar akan masuk dalam jajaran kabinet. Model rekonsiliasi politik power sharing sendiri adalah model rekonsiliasi politik yang paling tidak saya inginkan akan dipilih oleh Jokowi dan Prabowo, mengingat model power sharing akan memiliki ekses negatif baik secara impresi maupun substansi bagi kehidupan demokrasi.

Secara impresi, model power sharing akan memunculkan presepsi kuat dari masyarakat luas bahwa kontestasi pilpres yang begitu menguras emosi, pikiran, tenaga, dan materi ternyata hanya sekadar menghasilkan kompromi pragmatis bagi-bagi kue kekuasaan semata dikalangan elitis politik (patron). Hal ini tentunya akan dapat berdampak kepada menurunnya trust dari publik terhadap sarana demokrasi bernama pemilu yang sekaligus berpotensi besar menaikkan apatisme politik dan meningkatnya presentase golput pada pemilu mendatang.

Sedangkan secara substansi, model power sharing pada prinsipnya akan dapat menurunkan kualitas demokrasi sekaligus meningkatkan potensi terciptanya otoritarianisme yang disebabkan oleh mengendurnya sistem kontrol checks and balance, mengingat kekuatan pihak oposisi akan semakin melemah dengan bergabungnya Prabowo dan Gerindra dalam poros kekuasaan Jokowi.

Dramaturgi Politik

Menurut teori "dramaturgi" yang dicetuskan oleh Erving Goffman. Politik pada dasarnya merupakan sebuah panggung dua sisi, dimana dua sisi tersebut memiliki hubungan diametrikal (bertolak-belakang) yakni panggung depan dan panggung belakang.

Panggung depan politik adalah panggung yang berisi hal-hal yang bersifat ideal, narasi positif, dan nilai politik konstruktif. Dalam realitas politik praktis, panggung depan dramaturgi politik diejawantahkan dalam bentuk janji politik, visi politik, ideologi politik, dan narasi-narasi politik nina bobok seperti "politik untuk rakyat", "politik kesejahteraan", "berjuang demi bangsa dan negara". Panggung depan ini mendapat kontekstualisasinya dalam ruang publik dimana mengharuskan para aktor politik untuk berakting dan membangun citra pribadi sebaik mungkin guna mendapatkan simpati dan atensi dari publik dimana hal tersebut menjadi modal untuk memenangkan kontestasi politik.

Di sisi lain, dramaturgi politik juga memiliki panggung belakang yang memiliki nilai diametris dengan panggung depannya. Panggung belakang politik berisikan hal-hal dan nilai-nilai non-ideal seperti pragmatisme, kongkalikong, oportunitas politik, akomodasi kepentingan praktis, hingga korupsi. Panggung belakang ini tentu menjadi sebuah ruang tersembunyi dan tertutup bagi publik.

Nah, dalam konteks bergabungnya Prabowo dan Jokowi sebagi mitra koalisi politik tentu dapat dilihat dalam perspektif teori dramaturgi politik yang mana meng-criet politik dalam dua realitas yakni panggung depan dan panggung belakang.

Dalam konteks panggung depan, tentu narasi-narasi positif seperti "koalisi ini demi kepentingan bangsa dan negara", "ini merupakan bentuk kenegarawanan Prabowo dan Jokowi", "membangun bangsa harus dengan semangat gotong-royong", "demi kepentingan rakyat" pasti akan meletup dari mulut para elite-elite politik di lingkaran Prabowo dan Jokowi. Hal ini merupakan bentuk pembangunan citra positif yang menjadi esensi pokok dari panggung depan politik.

Namun jangan lupa, bahwa politik juga memiliki panggung belakang yang tidak diketahui oleh publik. Panggung belakang ini menurut Erving Goffman penuh dengan fatamorgana picik demi mencapai tujuan-tujuan pragmatis yakni kekuasaan dan kepentingan, atau yang lebih spesifik lagi berbicara mengenai alokasi sumber daya material.
Kepentingan Politik
Dalam perspektif dramaturgi politik, bergabungnya Prabowo menjadi “pembantu” Jokowi pada periode kabinet 2019-2014 tentu dapat ditelaah dalam konteks panggung belakang, yakni adanya kepentingan politik yang sama dan tentunya saling menguntungkan (simbiosis mutualistik). Apa kepentingan itu ?. Menurut analisis saya, kepentingan Jokowi merangkul Prabowo sebagai menteri dalam kabinetnya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mereduksi tensi panas dan tekanan politik dari kubu Prabowo yang terkenal kritis dalam menghantam narasi politik dan kebijakan-kebijakan strategis Jokowi pada periodesasi pertama lalu (2014-2019). 

Bisa dikatakan, kubu Prabowo dan Gerindra (selain PKS) adalah kubu opoisisi yang paling berisik dalam meng-counter narasi politik dan kebijakan-kebijakan strategis yang diambil Jokowi. Oleh karenanya, pilihan Jokowi untuk merangkul Prabowo sebagai mitra politik dalam kabinet dapat dilihat sebagai sebuah siasat Jokowi untuk mendapatkan “ketenangan” politik pada masa periodesasi kepemimpinannya yang kedua baik dalam ruang publik maupun di parlemen.

Sedangkan dari sudut kepentingan Prabowo, bergabungnya Prabowo dalam kabinet Jokowi dengan kapasitas sebagai menteri pertahanan saya lihat sebagai sebuah pilihan politik bagi Prabowo untuk mem-branding dirinya kepada publik, dengan menduduki posisi menteri yang sesuai dengan bidang keahlian dan pengalamannya tentu akan menjadi lebih mudah bagi Prabowo untuk meraih keberhasilan sekaligus mendapatkan atensi positif dari publik. Hal ini penting sebagai sarana bagi Prabowo untuk memperbaiki dan mengangkat citranya dimata publik yang tendensi muaranya adalah untuk memuluskan langkahnya dalam pemilihan presiden 2024. Terkesan terlalu dini memang saya menyimpulkan demikian, namun saya melihat Prabowo masih menyimpan ambisi dan asa politik yang kuat pada pilpres 2024 mendatang.

Jadi, jika pada akhirnya Prabowo dilantik sebagai menteri pertahanan oleh Jokowi tentunya hal tersebut bukan menjadi sebuah fenomena yang mengejutkan, mengingat dalam politik praktis segala sesuatu (koalisi) dapat terjadi asalkan dilandasi atau memiliki basis kepentingan politik yang sama dan tentunya saling menguntungkan kedua belah pihak. Dan terkait hal ini, Jokowi dan Prabowo jelas sama-sama memiliki basis kepentingan politik yang saling menguntungkan bagi keduanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar