Dalam
politik sejujurnya tidak pernah ada sesuatu yang mengejutkan. Mengingat muara
dari aktivitas politik adalah kekuasaan dan kepentingan. Hal ini mengandung
arti bahwa segala pilihan sikap dalam politik pasti dapat ditelaah secara logis
dan terukur dalam perspektif kekuasaan dan kepentingan. Ketika koalisi politik
dibangun, maka secara logis dapat kita simpulkan bahwa terdapat persamaan visi
dan platform politik antara mitra koalisi tersebut. Persamaan visi dan platform
politik tersebut tentunya berafiliasi dengan persamaan kepentingan politik
dalam rangka meraih dan/atau mempertahankan (berbagi) tampuk kekuasaan.
Dalam sudut
pandang lain, politik juga sering disebut sebagai sebuah entitas yang dinamis.
Dinamis, mengingat dalam politik segala sesuatu bisa berubah 180 derajat secara
cepat. Kawan politik bisa secepat kilat berubah jadi lawan, sebaliknya lawan
politik juga bisa secepat kilat berubah menjadi kawan. Dan lagi-lagi basis yang
mendasari dinamika politik tersebut tak lain dan tak bukan adalah perihal
kekuasaan dan kepentingan.
Maka, ketika
Prabowo Subianto sekarang santer disebut akan mengisi pos kabinet Jokowi
periode 2019-2024 dalam kapasitas sebagai menteri pertahanan, sesungguhnya hal
tersebut bukanlah sesuatu yang mengejutkan, meskipun saya rasa tidak banyak
juga orang atau bahkan pengamat politik yang memprediksinya. Saya kira, publik
tidak pernah membayangkan bahwa pertarungan pemilu presiden yang begitu sengit
dan panas akhirnya berakhir dengan rekonsiliasi politik power sharing dimana sang kompetitor utama dari Jokowi yakni
Prabowo justru akhirnya bergabung menjadi menteri dalam kabinet Jokowi.
Dalam
artikel saya, Rekonsiliasi Politik Pasca
Pemilu: Merawat Demokrasi dan Kesatuan Bangsa, sejujurnya saya telah memprediksi
bahwa ada kemungkinan kubu Prabowo dan Gerindra akan bergabung dalam mitra
koalisi Jokowi dengan melihat dari realitas komunikasi politik dan gestur
politik yang terbangun saat itu. Ketika itu saya menulis bahwa ada 3 model
rekonsiliasi politik yang dapat dipilih oleh Jokowi dan Prabowo.
Pertama, model power sharing dimana kubu Prabowo akan masuk menjadi bagian dari poros kekuasaan Jokowi. Jika hal ini terjadi, maka dapat dipastikan elite-elite Gerindra akan mendapatkan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Besar kemungkinan Gerindra akan mendapat beberapa jatah menteri dalam kabinet.
Kedua, model substantif-agreements dimana Prabowo dan Gerindra akan tetap menjadi pihak posisi namun akan ada semacam kesepakatan bahwa program-program potensial dan unggulan dari Prabowo akan diakomodasi dan kemudian dielektisasi dengan program-program Jokowi untuk dijadikan program kebijakan dalam era pemerintahan Jokowi.
Ketiga, model rekonsiliasi terbuka. Dalam model rekonsiliasi terbuka ini tidak akan ada deal-deal politik baik dalam konteks pragmatis maupun substansial. Inti dari pada rekonsiliasi politik terbuka adalah terjalinnya komunikasi politik yang sehat dan beradab tanpa menghapus fragmentasi politik yang ada antara dua kutub kekuatan politik.
Pada akhirnya, model rekonsiliasi politik yang dipilih oleh Jokowi dan Prabowo adalah model power sharing dimana kompetitor utama Jokowi dalam pilpres lalu yakni Prabowo kemungkinan besar akan masuk dalam jajaran kabinet. Model rekonsiliasi politik power sharing sendiri adalah model rekonsiliasi politik yang paling tidak saya inginkan akan dipilih oleh Jokowi dan Prabowo, mengingat model power sharing akan memiliki ekses negatif baik secara impresi maupun substansi bagi kehidupan demokrasi.
Secara impresi, model power sharing akan memunculkan presepsi kuat dari masyarakat luas bahwa kontestasi pilpres yang begitu menguras emosi, pikiran, tenaga, dan materi ternyata hanya sekadar menghasilkan kompromi pragmatis bagi-bagi kue kekuasaan semata dikalangan elitis politik (patron). Hal ini tentunya akan dapat berdampak kepada menurunnya trust dari publik terhadap sarana demokrasi bernama pemilu yang sekaligus berpotensi besar menaikkan apatisme politik dan meningkatnya presentase golput pada pemilu mendatang.
Sedangkan secara substansi, model power sharing pada prinsipnya akan dapat menurunkan kualitas demokrasi sekaligus meningkatkan potensi terciptanya otoritarianisme yang disebabkan oleh mengendurnya sistem kontrol checks and balance, mengingat kekuatan pihak oposisi akan semakin melemah dengan bergabungnya Prabowo dan Gerindra dalam poros kekuasaan Jokowi.
Dramaturgi Politik
Menurut teori "dramaturgi" yang dicetuskan oleh Erving Goffman. Politik pada dasarnya merupakan sebuah panggung dua sisi, dimana dua sisi tersebut memiliki hubungan diametrikal (bertolak-belakang) yakni panggung depan dan panggung belakang.
Panggung depan politik adalah panggung yang berisi hal-hal yang bersifat ideal, narasi positif, dan nilai politik konstruktif. Dalam realitas politik praktis, panggung depan dramaturgi politik diejawantahkan dalam bentuk janji politik, visi politik, ideologi politik, dan narasi-narasi politik nina bobok seperti "politik untuk rakyat", "politik kesejahteraan", "berjuang demi bangsa dan negara". Panggung depan ini mendapat kontekstualisasinya dalam ruang publik dimana mengharuskan para aktor politik untuk berakting dan membangun citra pribadi sebaik mungkin guna mendapatkan simpati dan atensi dari publik dimana hal tersebut menjadi modal untuk memenangkan kontestasi politik.
Di sisi lain, dramaturgi politik juga memiliki panggung belakang yang memiliki nilai diametris dengan panggung depannya. Panggung belakang politik berisikan hal-hal dan nilai-nilai non-ideal seperti pragmatisme, kongkalikong, oportunitas politik, akomodasi kepentingan praktis, hingga korupsi. Panggung belakang ini tentu menjadi sebuah ruang tersembunyi dan tertutup bagi publik.
Nah, dalam konteks bergabungnya Prabowo dan Jokowi sebagi mitra koalisi politik tentu dapat dilihat dalam perspektif teori dramaturgi politik yang mana meng-criet politik dalam dua realitas yakni panggung depan dan panggung belakang.
Dalam konteks panggung depan, tentu narasi-narasi positif seperti "koalisi ini demi kepentingan bangsa dan negara", "ini merupakan bentuk kenegarawanan Prabowo dan Jokowi", "membangun bangsa harus dengan semangat gotong-royong", "demi kepentingan rakyat" pasti akan meletup dari mulut para elite-elite politik di lingkaran Prabowo dan Jokowi. Hal ini merupakan bentuk pembangunan citra positif yang menjadi esensi pokok dari panggung depan politik.
Namun jangan lupa, bahwa politik juga memiliki panggung belakang yang tidak diketahui oleh publik. Panggung belakang ini menurut Erving Goffman penuh dengan fatamorgana picik demi mencapai tujuan-tujuan pragmatis yakni kekuasaan dan kepentingan, atau yang lebih spesifik lagi berbicara mengenai alokasi sumber daya material.
Pertama, model power sharing dimana kubu Prabowo akan masuk menjadi bagian dari poros kekuasaan Jokowi. Jika hal ini terjadi, maka dapat dipastikan elite-elite Gerindra akan mendapatkan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Besar kemungkinan Gerindra akan mendapat beberapa jatah menteri dalam kabinet.
Kedua, model substantif-agreements dimana Prabowo dan Gerindra akan tetap menjadi pihak posisi namun akan ada semacam kesepakatan bahwa program-program potensial dan unggulan dari Prabowo akan diakomodasi dan kemudian dielektisasi dengan program-program Jokowi untuk dijadikan program kebijakan dalam era pemerintahan Jokowi.
Ketiga, model rekonsiliasi terbuka. Dalam model rekonsiliasi terbuka ini tidak akan ada deal-deal politik baik dalam konteks pragmatis maupun substansial. Inti dari pada rekonsiliasi politik terbuka adalah terjalinnya komunikasi politik yang sehat dan beradab tanpa menghapus fragmentasi politik yang ada antara dua kutub kekuatan politik.
Pada akhirnya, model rekonsiliasi politik yang dipilih oleh Jokowi dan Prabowo adalah model power sharing dimana kompetitor utama Jokowi dalam pilpres lalu yakni Prabowo kemungkinan besar akan masuk dalam jajaran kabinet. Model rekonsiliasi politik power sharing sendiri adalah model rekonsiliasi politik yang paling tidak saya inginkan akan dipilih oleh Jokowi dan Prabowo, mengingat model power sharing akan memiliki ekses negatif baik secara impresi maupun substansi bagi kehidupan demokrasi.
Secara impresi, model power sharing akan memunculkan presepsi kuat dari masyarakat luas bahwa kontestasi pilpres yang begitu menguras emosi, pikiran, tenaga, dan materi ternyata hanya sekadar menghasilkan kompromi pragmatis bagi-bagi kue kekuasaan semata dikalangan elitis politik (patron). Hal ini tentunya akan dapat berdampak kepada menurunnya trust dari publik terhadap sarana demokrasi bernama pemilu yang sekaligus berpotensi besar menaikkan apatisme politik dan meningkatnya presentase golput pada pemilu mendatang.
Sedangkan secara substansi, model power sharing pada prinsipnya akan dapat menurunkan kualitas demokrasi sekaligus meningkatkan potensi terciptanya otoritarianisme yang disebabkan oleh mengendurnya sistem kontrol checks and balance, mengingat kekuatan pihak oposisi akan semakin melemah dengan bergabungnya Prabowo dan Gerindra dalam poros kekuasaan Jokowi.
Dramaturgi Politik
Menurut teori "dramaturgi" yang dicetuskan oleh Erving Goffman. Politik pada dasarnya merupakan sebuah panggung dua sisi, dimana dua sisi tersebut memiliki hubungan diametrikal (bertolak-belakang) yakni panggung depan dan panggung belakang.
Panggung depan politik adalah panggung yang berisi hal-hal yang bersifat ideal, narasi positif, dan nilai politik konstruktif. Dalam realitas politik praktis, panggung depan dramaturgi politik diejawantahkan dalam bentuk janji politik, visi politik, ideologi politik, dan narasi-narasi politik nina bobok seperti "politik untuk rakyat", "politik kesejahteraan", "berjuang demi bangsa dan negara". Panggung depan ini mendapat kontekstualisasinya dalam ruang publik dimana mengharuskan para aktor politik untuk berakting dan membangun citra pribadi sebaik mungkin guna mendapatkan simpati dan atensi dari publik dimana hal tersebut menjadi modal untuk memenangkan kontestasi politik.
Di sisi lain, dramaturgi politik juga memiliki panggung belakang yang memiliki nilai diametris dengan panggung depannya. Panggung belakang politik berisikan hal-hal dan nilai-nilai non-ideal seperti pragmatisme, kongkalikong, oportunitas politik, akomodasi kepentingan praktis, hingga korupsi. Panggung belakang ini tentu menjadi sebuah ruang tersembunyi dan tertutup bagi publik.
Nah, dalam konteks bergabungnya Prabowo dan Jokowi sebagi mitra koalisi politik tentu dapat dilihat dalam perspektif teori dramaturgi politik yang mana meng-criet politik dalam dua realitas yakni panggung depan dan panggung belakang.
Dalam konteks panggung depan, tentu narasi-narasi positif seperti "koalisi ini demi kepentingan bangsa dan negara", "ini merupakan bentuk kenegarawanan Prabowo dan Jokowi", "membangun bangsa harus dengan semangat gotong-royong", "demi kepentingan rakyat" pasti akan meletup dari mulut para elite-elite politik di lingkaran Prabowo dan Jokowi. Hal ini merupakan bentuk pembangunan citra positif yang menjadi esensi pokok dari panggung depan politik.
Namun jangan lupa, bahwa politik juga memiliki panggung belakang yang tidak diketahui oleh publik. Panggung belakang ini menurut Erving Goffman penuh dengan fatamorgana picik demi mencapai tujuan-tujuan pragmatis yakni kekuasaan dan kepentingan, atau yang lebih spesifik lagi berbicara mengenai alokasi sumber daya material.
Kepentingan Politik
Dalam
perspektif dramaturgi politik, bergabungnya Prabowo menjadi “pembantu” Jokowi
pada periode kabinet 2019-2014 tentu dapat ditelaah dalam konteks panggung
belakang, yakni adanya kepentingan politik yang sama dan tentunya saling
menguntungkan (simbiosis mutualistik). Apa kepentingan itu ?. Menurut analisis
saya, kepentingan Jokowi merangkul Prabowo sebagai menteri dalam kabinetnya
tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mereduksi tensi panas dan tekanan
politik dari kubu Prabowo yang terkenal kritis dalam menghantam narasi politik
dan kebijakan-kebijakan strategis Jokowi pada periodesasi pertama lalu (2014-2019).
Bisa
dikatakan, kubu Prabowo dan Gerindra (selain PKS) adalah kubu opoisisi yang
paling berisik dalam meng-counter
narasi politik dan kebijakan-kebijakan strategis yang diambil Jokowi. Oleh
karenanya, pilihan Jokowi untuk merangkul Prabowo sebagai mitra politik dalam
kabinet dapat dilihat sebagai sebuah siasat Jokowi untuk mendapatkan
“ketenangan” politik pada masa periodesasi kepemimpinannya yang kedua baik
dalam ruang publik maupun di parlemen.
Sedangkan
dari sudut kepentingan Prabowo, bergabungnya Prabowo dalam kabinet Jokowi
dengan kapasitas sebagai menteri pertahanan saya lihat sebagai sebuah pilihan
politik bagi Prabowo untuk mem-branding
dirinya kepada publik, dengan menduduki posisi menteri yang sesuai dengan
bidang keahlian dan pengalamannya tentu akan menjadi lebih mudah bagi Prabowo
untuk meraih keberhasilan sekaligus mendapatkan atensi positif dari publik. Hal
ini penting sebagai sarana bagi Prabowo untuk memperbaiki dan mengangkat
citranya dimata publik yang tendensi muaranya adalah untuk memuluskan
langkahnya dalam pemilihan presiden 2024. Terkesan terlalu dini memang saya menyimpulkan demikian, namun saya melihat Prabowo masih menyimpan
ambisi dan asa politik yang kuat pada pilpres 2024 mendatang.
Jadi, jika
pada akhirnya Prabowo dilantik sebagai menteri pertahanan oleh Jokowi tentunya
hal tersebut bukan menjadi sebuah fenomena yang mengejutkan, mengingat dalam
politik praktis segala sesuatu (koalisi) dapat terjadi asalkan dilandasi atau
memiliki basis kepentingan politik yang sama dan tentunya saling menguntungkan
kedua belah pihak. Dan terkait hal ini, Jokowi dan Prabowo jelas sama-sama
memiliki basis kepentingan politik yang saling menguntungkan bagi keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar