Senin, 14 Oktober 2019

KONSTELASI POLITIK INDONESIA



Berbicara mengenai politik tentu dapat ditinjau dalam berbagai dimensi dan perspektif. Namun ada satu hal yang tidak bisa dilepaskan ketika kita menelaah dan melakukan diskursus mengenai politik yakni kekuasaan.

Ya, membahas politik akan selalu inheren dengan kekuasaan. Dalam sekup yang besar, politik berbicara mengenai bagaimana meraih dan/atau mempertahankan kekuasaan. Sedangkan dalam sekup yang lebih teknis, politik akan berbicara mengenai pengisian jabatan politik, daya tawar politik, pendidikan politik, kaderisasi politik, hingga strategi politik baik strategi putih maupun strategi kotor untuk meraih dan/atau mempertahankan kekuasaan.

Secara filosofis, politik adalah sebuah sarana konstruktif untuk membawa perubahan-perubahan positif bagi terwujudnya kemaslahatan publik. Ditinjau melalui perspektif teori sibernetika Tallcot Parsons, politik sendiri berfungsi sebagai sub-sistem sosial yang bekerja untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat.

Namun teori dan narasi filosofis politik tersebut pada kenyataannya hanya sekadar mimpi indah (das sollen) yang sulit mengejawantah secara empiris dalam tata kehidupan ketatanegaraan negeri kita tercinta, Indonesia.

Faktanya, dinamika politik di Indonesia justru makin kental dengan lakon-lakon negatif. Politik uang, mahar politik, korupsi politik, politik identitas, populisme, politik dinasti, oligarki politik hingga politik kebencian merupakan lakon-lakon yang secara empirik menggambarkan bagaimana konstelasi politik kita hari ini.

Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar filosofis dalam menjalankan aktivitas politik tidak dapat dipraksiskan secara nyata oleh para aktor dan subyek politik. Hal ini membuat ekosistem politik kita begitu kering dengan oase dan jiwa Pancasila.

Bahkan, agama yang seharusnya menjadi basis moralitas dan pedoman etika dalam menjalankan aktivitas dan kerja-kerja politik saat ini justru digunakan sebagai alat pragmatis untuk memberikan keuntungan politis.

Menguatnya populisme agama dan politik identitas dalam kurun waktu tiga tahun terakhir telah "memodifikasi" agama menjadi komoditas politik yang seringkali dikapitalisasi untuk memberikan keuntungan politis pragmatis.

Dewasa ini, agama telah bermetamorfosa sebagai alat justifikasi. Di satu sisi, agama menjadi alat "gebuk" untuk membunuh citra seseorang/kelompok (lawan politik). Di sisi lain, agama digunakan sebagai alat untuk mem-branding image positif bagi diri pribadi/kelompok untuk mendapatkan simpati politis dari rakyat. Maka dari itu, narasi-narasi semacam anti-islam dan pro-islam, anti-PKI dan pro-PKI, kriminalisasi ulama, hingga persekusi ibadah seringkali berkelindan dalam ruang publik. Yang parahnya, diskursus mengenai hal tersebut justru diarahkan pada tujuan pragmatis (pembunuhan karakter) bukan pada nilai substansi dimana terjadi dialog deliberatif dan partisipasi publik untuk menyelesaikan persoalan.

Pragmatisme Politik

Pada prinsipnya politik memang cenderung mengarah pada nilai pragmatisme. Oleh karenanya, dalam politik terdapat adagium "tidak ada kawan abadi dan musuh abadi dalam politik yang ada adalah kepentingan". Adagium ini memiliki arti bahwa dalam politik pilihan menjadi kawan maupun lawan ditentukan oleh faktor kepentingan. Jika kepentingannya sama berkawan. Jika kepentingannya beda bermusuhan.

Nah, dalam konstelasi politik kita hari ini, nilai pragmatisme tersebut justru semakin kuat. Salah satu contohnya, minimnya idealisme partai politik untuk "berani" duduk diluar kekuasaan atau menjadi partai oposisi. Partai Gerindra, PAN, dan Partai Demokrat yang pada pemilu presiden dan wakil presiden lalu bersaing begitu ketat bahkan cenderung panas dengan partai-partai koalisi petahana (Jokowi) justru saat ini mulai mendekat kepada kubu pemerintah dan membangun romantisme politik.

Jika ketiga partai tersebut pada akhirnya merapat dalam barisan pemerintah dan berbagi kue kekuasaan, maka dapat dipastikan kekuatan contra balance dan kontrol terhadap jalannya roda kekuasaan akan mengendur mengingat kekuatan oposisi akan melemah, hanya menyisakan PKS.

Menguatnya pragmatisme politik juga ditandai dengan "mudah" bersatunya para partai politik di DPR tatkala membuat kebijakan yang bertendensi pada oportunitas dan pemuasan syahwat politik. Misalnya, revisi Undang-Undang KPK yang justru mengarah kepada pelemahan KPK serta tidak memperhatikan aspirasi publik.

Menguatnya pragmatisme partai politik sendiri saya sinyalir dipengaruhi kuat oleh pragmatisme politik dari para oligarki yang menjadi pemilik "saham" partai politik. Oligarki politik pastinya akan mengincar kekuasaan sebagai nilai oportunitas dalam berpolitik, yang muaranya agar kegiatan-kegiatan bisnis-ekonomis mereka tetap "lancar".

Penyakit Ekosistem Politik

Secara garis besar, dapat dikonkretisasi bahwa penyakit (virus) akut yang merusak ekosistem politik kita hari ini adalah: Pertama, menguatnya populisme agama dan politik identitas yang menjadi pemicu segregasi sosial di kalangan akar rumput. Kedua, menguatnya pragmatisme politik yang dipengaruhi oleh kuatnya pengaruh para oligarki dalam sistem politik kita hari ini. Menguatnya pragmatisme politik sendiri berimbas pada melemahnya idealisme dan pollitical will untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Pragmatisme politik membuat pilihan kebijakan dan sikap politik yang diambil tidak berpihak kepada kepentingan publik.

Problematikanya, ekosistem politik kita tentu tidak akan pernah kondusif sebagai modal untuk mewujudkan politik substansial selama dua penyakit (virus) tersebut masih eksis dalam konstelasi politik kita.

Solusi jangka pendek untuk mengatasi atau setidaknya meminimalisir penyakit (virus) ekosistem politik kita adalah dengan melakukan perbaikan sistem politik baik secara substansi maupun kultural serta harus didukung oleh adanya penegakan hukum yang tegas dan konsekuen baik hukum pidana maupun hukum administratif (dalam pemilu).

Sedangkan solusi jangka panjang tentunya adalah penguatan kinerja sub-sub sistem sosial seperti budaya, sosial, dan ekonomi untuk membangun civil society. Membangun idealisme dan partisipasi politik rakyat serta menumbuhkan pemahaman dan kesadaran akan peran dan posisi strategis rakyat dalam konstelasi politik.

Pada prinsipnya, solusi jangka pendek dan solusi jangka panjang diatas harus dibangun secara integral dan didukung secara masif oleh seluruh stakeholders politik meliputi infrastruktur politik dan suprastruktur politik.

Tidak mudah memang, bahkan cenderung sulit, namun optimisme itu tentu tidak boleh padam
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar