Selasa, 08 Oktober 2019

PERPPU DAN PEMAKZULAN PRESIDEN


Desakan publik kepada presiden Jokowi untuk segera mengeluarkan Perppu KPK semakin menguat. Menurut survey Lingkaran Survey Indonesia (LSI), 76,3% publik setuju jika presiden mengeluarkan Perppu. Hasil Survey dari LSI juga mencatat 70,9% publik menilai revisi Undang-Undang KPK telah melemahkan posisi KPK sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi.

Di sisi lain, Perppu KPK sendiri hanya dapat dikeluarkan setelah Undang-Undang KPK (hasil revisi) resmi berlaku (diundangkan). Ada dua opsi terkait pengeluaran Perppu. Pertama, presiden segera mengesahkan Undang-Undang KPK (diundangkan), kemudian presiden mengeluarkan Perppu KPK yang isinya membatalkan Undang-Undang KPK yang baru. Kedua, presiden menunggu waktu selama 30 hari sejak persetujuan Undang-Undang KPK, baru mengeluarkan Perppu KPK.

Secara empirik, tidak dapat dipungkiri, bahwa pelemahan KPK melalui sarana legislasi yang dilakukan oleh DPR dan presiden telah menciderai rasa kebathinan masyarakat dan rasa kepercayaan publik akan semangat pemberantasan korupsi presiden Jokowi yang sering didengungkannya.

Sejujurnya, perubahan sebuah Undang-Undang memang menjadi suatu keniscayaan, mengingat tidak pernah ada Undang-Undang yang sempurna dan tidak pernah ada Undang-Undang yang selalu kompatibel dengan dinamisasi zaman. Dengan melihat latar belakang tersebut, secara logis, perubahan sebuah Undang-Undang seharusnya memang diarahkan untuk mengakomodasi perubahan zaman dan kebutuhan hukum masyarakat agar Undang-Undang tersebut dapat mengejawantah sebagai rules (potensial) untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.

Namun, yang terjadi terhadap revisi Undang-Undang KPK justru sebaliknya, perubahan Undang-Undang KPK malah mengarah pada pendegradasian substansi pemberantasan korupsi yang ada dalam Undang-Undang KPK. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa revisi Undang-Undang KPK saat ini secara substansi justru tidak membawa perubahan yang lebih baik dari pada substansi Undang-Undang KPK sebelumnya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Presiden Jokowi pun didesak oleh publik untuk segera mengeluarkan Perppu KPK. Secara politis, kehendak presiden untuk mengeluarkan Perppu tentunya akan sangat dipengaruhi oleh kekuatan konfigurasi politik di DPR, baik ketika akan mengeluarkan Perppu maupun ketika pembahasan Perppu untuk mendapat persetujuan DPR. Secara politis, dapat dikatakan bahwa presiden Jokowi akan berhadapan dengan DPR jika "berani" mengeluarkan Perppu KPK, mengingat sikap fraksi dan anggota DPR secara mutlak menolak pengeluarkan Perppu KPK oleh presiden

Sedangkan secara sosiologis, presiden tentu akan mendapatkan dukungan dari publik jika "berani" mengeluarkan Perppu KPK. Perppu KPK adalah jalan konstitusional yang dapat ditempuh oleh presiden dalam rangka mengembalikan trust publik terhadap ghiroh pemberantasan korupsi presiden.

Melihat situasi ini, sikap presiden untuk mengeluarkan Perppu maupun tidak mengeluarkan Perppu pada akhirnya akan sangat dipengaruhi oleh efek tarik-menarik diametris antara kekuatan politis dan kekuatan sosiologis. Namun, sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara (pemegang mandat rakyat) alangkah bijak jika presiden berani mengambil langkah yang menitikberatkan pada terakomodasinya kepentingan publik. Atau secara lugas, presiden harus berani mengeluarkan Perppu KPK, meskipun pilihan sikap presiden tersebut tentunya akan berpotensi besar mendapat resistensi politis dari DPR.

Pengeluaran Perppu KPK oleh presiden sendiri pada prinsipnya memiliki dua makna penting. Pertama, secara psikologis-politik, pengeluaran Perppu KPK oleh presiden akan memberikan rasa optimisme sekaligus kepercayaan kepada publik bahwa presiden masih memiliki idealisme dalam rangka memimpin pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi masih memiliki keberpihakan kepada kemaslahatan publik. Dan hal ini akan berimbas pada menaikknya dukungan publik terhadap roda pemerintahan Jokowi. Jokowi akan tercatat dalam memori rakyat sebagai presiden yang anti terhadap pelemahan KPK dan anti terhadap perbuatan korupsi dengan segala manifestasinya.

Kedua, secara substansial, pengeluaran Perppu KPK adalah salah satu sarana konstitusional yang dapat dilakukan oleh presiden sebagai penegasan sikap "menolak" pelemahan KPK sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi. Presiden mungkin akan dikatakan tidak konsisten oleh beberapa pihak khususnya oleh DPR dan pihak-pihak yang pro terhadap revisi (pelemahan) Undang-Undang KPK, mengingat persetujuan Undang-Undang KPK sendiri juga atas kehendak presiden. Namun, dalam perspektif lain, pilihan sikap presiden dalam rangka pengeluaran Perppu juga dapat dilihat sebagai bentuk konsistensi sikap terhadap ghiroh pemberantasan korupsi sekaligus wujud keberpihakan presiden terhadap kepentingan dan aspirasi publik. Jadi, presiden tidak perlu ragu akan hal ini (terkait perspektif ketidakkonsistenan). Mengingat persoalan ini hanya sekadar perbedaan perspektif semata. Tergantung sudut kepentingan penilainya.

Pemakzulan Presiden

Setidaknya ada tiga narasi yang sering dihembuskan oleh pihak-pihak yang pro terhadap Undang-Undang KPK baru dan anti terhadap Perppu KPK. Pertama, soal ketidakkonsistenan presiden, yang terpatahkan oleh penjelasan diatas.

Kedua, narasi judicial review. Menurut pihak-pihak yang anti Perppu KPK, alangkah bijak jika pihak-pihak yang tidak setuju terhadap Undang-Undang KPK (hasil revisi) menggunakan hak konstitusionalnya untuk melakukan judicial review terhadap Undang-Undang KPK baik uji formil maupun materil. Permasalahannya, tidak selalu pelemahan KPK itu dinilai bertentangan dengan UUD oleh MK. Bahkan, jika misalnya ada Undang-Undang mengenai pembubaran KPK sekalipun belum tentu bertentangan dengan UUD.

Ketiga, narasi pemakzulan presiden. Hal yang cukup aneh dan menggelitik adalah munculnya narasi pemakzulan presiden jika presiden mengeluarkan Perppu. Hal ini tentunya merupakan distorsi informasi nan menyesatkan. Pengeluaran Perppu oleh presiden tidak akan bisa membawa presiden pada pemakzulan (impeachment). Ada tiga alasan. Pertama, Perppu adalah hak konstitusional presiden sebagai kepala pemerintahan untuk mengeluarkan peraturan yang dapat menyelamatkan kepentingan bangsa (publik) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dalam mengeluarkan Perppu, presiden memiliki hak subyektif untuk menilai tolok ukur keadaan ihwal kegentingan yang memaksa tersebut. Dimana nantinya Perppu yang dikeluarkan oleh presiden akan diuji oleh DPR untuk mendapat persetujuan menjadi Undang-Undang atau tidak. Jika tidak disetujui DPR, maka Perppu harus dicabut.

Kedua, Perppu adalah bagian dari implementasi kewenangan presiden di ranah administrasi (kebijakan hukum) dimana treatment atas ketidaktepatan tindakan ini tentunya bukan merupakan pelanggaran hukum pidana sebagaimana syarat pemakzulan presiden yang diatur dalam konstitusi.

Ketiga, syarat dan mekanisme pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden telah diatur secara gamblang dalam Pasal 7A dan 7B UUD NRI Tahun 1945. Dimana syarat pemakzulan presiden secara konstitusi didasarkan pada pelanggaran hukum berupa, pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, melakukan tindak pidana berat (ancaman pidana 5 tahun keatas), melakukan perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden (misalnya ganti kewarganegaraan). Nah, dalam konteks pengeluaran Perppu oleh presiden, tidak ada hal yang memenuhi syarat konstitusional bagi presiden untuk dimakzulkan.

Jadi, narasi pemakzulan presiden jika presiden mengeluarkan Perppu adalah omong kosong nan menyesatkan.

Pada akhirnya, bola panas (pilihan sikap mengeluaran dan tidak mengeluarkan Perppu) kini berada di tangan presiden sepenuhnya. Kini presiden harus mengambil sikap akankah tunduk pada kekuatan politis DPR dengan tidak mengeluarkan Perppu atau mengakomodasi kekuatan sosiologis rakyat (publik) dengan mengeluarkan Perppu untuk menyelamatkan KPK dan menjaga ghiroh pemberantasan korupsi.

Sekali lagi, kini bola panas itu berada di tangan presiden.


Selesai .....











Tidak ada komentar:

Posting Komentar