Rabu, 09 Desember 2020

PERAN KPPU SEBAGAI QUASI YUDISIAL DALAM MENDORONG PEREKONOMIAN NASIONAL

 

Menurut Prof. Moechtar Kusumaatmadja, hukum didefinisikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan. Berdasarkan definisi tersebut, maka hukum pada dasarnya tidak hanya dilihat sebagai sekadar peraturan melainkan juga institusional (lembaga) bahkan prosedur dan asas. Hukum sebagai sebuah lembaga mengejawantah dalam kelembagaan-kelembagaan hukum tertentu dengan fungsi-fungsi spesifik.

Secara konseptual, hukum memiliki beragam fungsi. Setidaknya ada 2 fungsi utama hukum dalam kehidupan sosial masyarakat. Pertama, fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial. Di sini hukum mengejawantah sebagai pranata baik dalam fungsi represif maupun preventif guna menciptakan ketertiban, keteraturan, serta stabilitas sosial. Hukum bertransformasi sebagai rules yang mengatur dan membatasi gerak seseorang dalam melakukan berbagai aktifitas, sehingga hukum berperan penting dalam mencegah atau meminimalisir terjadinya penyimpangan-penyimpangan (kriminalitas) yang dapat menciptakan instabilitas sosial. Inti dari pada fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial adalah mempertahankan kemapanan sosial.

Kedua, fungsi hukum sebagai alat perubahan sosial. Law as social engineering demikian ucap Roscue Pound. Hukum sebagai alat perubahan sosial artinya hukum merupakan sarana untuk memaksa dan mendorong terwujudnya restorasi-restorasi positif dalam tata kehidupan negara. Hukum di sini difungsikan sebagai alat rekayasa untuk mendorong terwujudnya perubahan-perubahan sosial yang lebih baik.

KPPU dalam Perspektif Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis-Normatif

Dalam konteks fungsionalisasi, hukum memiliki peran penting dalam mendorong terwujudnya berbagai kemajuan termasuk kemajuan di bidang perekonomian dan kesejahteraan. Relasi fungsionalisasi hukum terhadap bidang perekonomian sendiri mengejawantah dalam kerangka basis mekanisme (landasan operasional) maupun dalam bentuk pranata pengawasan. Salah satunya mawujud dalam kelembagaan hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang lahir melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sebagai negara hukum yang berdasarkan pada Pancasila, lahirnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah sebuah keniscayaan di tengah era keterbukaan dan persaingan ekonomi baik dalam skala global, regional, maupun lokal. KPPU adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Secara retrospektif, hadirnya KPPU dapat ditinjau dalam 3 kerangka perspektif. Pertama, perspektif filosofis. Bahwa pembangunan ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Secara filosofis, hadirnya KPPU adalah sebagai instrumen praksis untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta guna memajukan kesejahteraan umum sebagaimana terkandung dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea IV. Oleh karenanya, untuk mencapai tujuan-tujuan fundamental tersebut, maka praktek-praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat harus mampu diminimalisir oleh KPPU.

Kedua, perspektif sosiologis. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang atau jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif, efisien, serta tidak memunculkan pemusatan kekuatan ekonomi, sehingga iklim usaha yang demikian diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan. Di sinilah KPPU diharapkan mampu menjadi pranata hukum yang melindungi dan mendorong terwujudnya ekonomi kerakyatan yang berkeadilan.

Ketiga, perspektif yuridis-normatif. Bahwa amanat konstitusi khususnya Pasal 33 menghendaki adanya sistem perokonomian yang inklusif dan demokratis. Tidak boleh ada sentralistik dan monopolistik perekonomian yang implikasinya akan merugikan hak-hak konstitusional rakyat. KPPU hadir sebagai pranata hukum guna mendorong terwujudnya negara hukum yang demokratis dan berkeadilan khususnya dalam bidang perekonomian.

Peran KPPU Sebagai Quasi Yudisial

Dalam dinamika teoritis maupun praktek negara hukum dikenal adanya lembaga quasi yudisial. Quasi yudisial merujuk kepada lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan mengadili dan memutus sebuah perkara tetapi sebenarnya bukanlah pengadilan. Salah satu contoh lembaga quasi yudisial adalah KPPU.

Berdasarkan ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1999, KPPU memiliki beberapa kewenangan sebagai konsekuensi tugasnya dalam rangka mengawasi pelaku usaha agar tidak terjadi monopoli dan persaingan tidak sehat. Kewenangan KPPU dapat dibagi dalam 3 kategori. Pertama, kewenangan penyelidikan, yang tertuang dalam Pasal 36 huruf (a), (b), (c), (d) mengenai penerimaan laporan terkait dugaan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, penelitian terkait dugaan tersebut, penyelidikan serta pemeriksaan, serta menyimpulkan hasil dari penyelidikan tersebut.

Kedua, kewenangan menuntut pelaku usaha, yang tertuang dalam Pasal 36 huruf (e), (f), (g), (h), (i). Kewenangan ini berkaitan dengan hukum acara seperti memanggil pelaku usaha, menghadirkan saksi maupun saksi ahli, meminta keterangan dari instansi pemerintah, hingga meneliti atau mendapatkan alat bukti atau dokumen.

Ketiga, kewenangan yudisial. Adalah kewenangan KPPU untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang terbukti melakukan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Kewenangan ini tergolong istimewa karena KPPU diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif yang mana kewenangan tersebut tidak dimiliki oleh lembaga independen lain.

Kewenangan yang dimiliki oleh KPPU dalam mengadili dan memutus menimbulkan sebuah diskursus menarik apakah KPPU termasuk lembaga peradilan atau lembaga administratif. Menurut Jimly Assidiqie, KPPU tergolong sebagai lembaga semi peradilan atau quasi yudisial. Jimly menambahkan, dilihat dari fungsinya, KPPU dapat digolongkan ke dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, sedangkan dilihat dari bidang sengketa yang diselesaikannya, KPPU dapat digolongkan ke dalam lingkungan peradilan umum.

Selain itu, KPPU berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM dan PP Nomor 17 Tahun 2013 juga memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan kemitraan. Kemitraan adalah kerja sama dengan keterkaitan usaha yang melibatkan pelaku UMKM dengan usaha besar, di mana usaha besar dilarang memiliki dan/atau menguasai UMKM yang menjadi mitra usahanya dalam hubungan kemitraan. Pola kemitraan yang diawasi oleh KPPU sendiri meliputi: inti-plasma, waralaba, subkontrak, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerja sama, usaha patungan, outsourching, dan bentuk kemitraan lainnya.

Peran KPPU sebagai quasi yudisial dalam pengawasan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta pengawasan kemitraan berfungsi untuk mewujudkan iklim dan persaiangan usaha yang sehat, kondusif, dan berkeadilan sehingga dapat berdampak positif bagi kemajuan perekonomian bangsa.

Hambatan KPPU

Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999, KPPU hanya memiliki kewenangan memutus tetapi tidak memiliki kewenangan untuk menegakkan putusan itu sendiri. Konsekuensi ini membuat KPPU bak macan ompong karena tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan dan menegakkan putusannya sendiri, selain itu KPPU juga tidak memiliki kewenangan penyitaaan dan penyadapan sehingga menjadi kendala terkait terbatasnya wewenang KPPU untuk mencari barang bukti. Di sisi lain, pengawasan terhadap komisioner KPPU juga tidak ada, hal ini membuat cukup rawan terjadi abuse of power. Berikut elaborasi 3 problematika yang dihadapi KPPU.

Pertama, berdasarkan Pasal 44 ayat (2) UU 5 Tahun 1999 eksekusi putusan KPPU harus melalui penetapan pengadilan negeri. Selain itu, KPPU juga tidak memiliki kewenangan untuk menerima upaya hukum, pihak yang keberatan atas putusan KPPU dapat mengajukan upaya hukum ke pengadilan negeri hingga kasasi di Mahkamah Agung sesuai ketentuan Pasal 45 ayat (3). Hal ini membuat KPPU belum mampu menjadi trigger sebagai otoritas persaingan usaha.

Kedua, kesulitan mencari barang bukti. Hal ini sebagai sebuah konsekuensi logis karena KPPU tidak memiliki kewenangan penyadapan dan penyitaan sehingga KPPU seakan hanya mengandalkan sikap kooperatif pelapor dan pelaku usaha dalam mencari barang bukti. Sebagai perbandingan, lembaga-lembaga otoritas persaingan usaha di negara Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Uni Eropa, Singapura, Thailand, dan Vietnam memiliki wewenang untuk melakukan dawan raid berupa penggledahan, penyadapan, dan sita sedangkan KPPU tidak memilikinya.

Ketiga, perihal status komisioner KPPU. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 status komisioner KPPU bukanlah seorang hakim. Menurut Jimly Assidiqie kedudukan komisiojner KPPU mengikuti kelembagaan KPPU sebagai quasi yudisial. Sehingga kedudukan komisioner KPPU dapat dikatakan sebagai semi hakim. Dari sisi struktur organisasi kepegawaian, KPPU tidak berada dibawah Mahkamah Agung. KPPU juga tidak termasuk dalam kelembagaan yang diawasi Komisi Yudisial. Konsekuensi ini membuat komisioner KPPU yang memiliki kewenangan quasi yudisial seakan tidak memiliki institusi pengawas secara fungsionalnya.

Tiga problematika di atas setidaknya dapat menjadi hambatan bagi KPPU terkait optimalisasi dan fungsionalisasi tugas dan perannya dalam rangka mewujudkan iklim dan persaingan usaha yang sehat demi mendorong kemajuan perekonomian nasional. Terkait dua problematika tersebut penulis memiliki dua solusi.

Pertama, KPPU dan Mahkamah Agung secara hierarkis tidak memiliki hubungan struktural, namun secara fungsional keduanya memiliki keterikatan. Oleh karena itu, KPPU dan Mahkamah Agung harus membangun hubungan institusional yang sinergis serta membentuk sebuah guidance rules bisa berupa SEMA atau PERMA yang memberikan peluang bagi KPPU untuk bisa menjadi trigger dalam penegakan hukum persaingan usaha. Selain itu, sinkronisasi acara pembuktian juga harus diperhatikan agar terwujud koherensi dalam proses pembuktian.

Kedua, untuk menunjang fungsi KPPU khususnya dalam pencarian barang bukti, maka perlu kiranya diberikan tambahan wewenang kepada KPPU berupa kewenangan penyitaan dan penyadapan sebagaimana yang dimiliki oleh otoritas persaingan usaha di berbagai negara. Oleh karena itu, diperlukan revisi terhadap UU Nomor 5 Tahun 1999 guna menambah kewenangan KPPU dalam hal penyadapan dan penyitaan sebagai upaya optimalisasi fungsi KPPU.

Ketiga, sebagai quasi yudisial, KPPU memiliki kewenangan untuk memutus suatu perkara terkait obyek perkara yang menjadi kewenangannya. Akan tetapi, aspek pengawasan terhadap komisioner KPPU yang berstatus sebagai semi hakim tidak ada. Hal ini cukup rawan terjadi abuse of power dari komisioner KPPU. Maka dari itu, hendaknya dibentuk sistem pengawasan etik terhadap para komisioner KPPU demi terwujudnya kualitas putusan KPPU yang berkualitas dan berkeadilan.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar