Kamis, 19 Maret 2020

MEMBANGUN DEMOKRASI SUBSTANSIAL


Secara yuridis-konstitusional negara Indonesia menasbihkan diri sebagai negara demokrasi. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Diksi “kedaulatan rakyat” yang termuat dalam Pasal 1 ayat (2) konstitusi kita tersebut menegaskan nilai yuridis-formal negara Indonesia sebagai negara demokrasi.

Tak hanya sampai disitu, unsur-unsur prinsipil dari negara demokrasi juga kita miliki dalam konstitusi. Diantaranya: adanya jaminan dan perlindungan HAM (Bab XA), adanya kebebasan mengemukakan pendapat (Pasal 28 E), adanya pemilu yang langsung, bebas, jujur, dan adil serta diselenggarakan oleh lembaga pemilu yang merdeka, tetap, dan mandiri (Bab VII B), adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka (Bab IX), serta adanya pembatasan kekuasaan eksekutif (Pasal 7).

Demokrasi sendiri secara praktis maupun teoritik mengandung arti sebagai sistem pemerintahan di mana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Secara lebih sederhana, Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan demikian, dalam sistem demokrasi, rakyat pada dasarnya merupakan subyek sekaligus obyek dalam jalannya roda pemerintahan negara.

Secara historis, Indonesia sendiri pernah mengalami beberapa fase-fase demokrasi. Dimulai dari demokrasi liberal, demokrasi termpimpin, hingga demokrasi “semu” era orde baru. Selepas reformasi, dengan diiringi semangat restorasi kebangsaan, seluruh elemen bangsa pun bersepakat untuk membangun negara Indonesia ini dengan landasan demokrasi substansial, demokrasi yang seutuhnya dengan tujuan untuk membawa negara ini menuju kemaslahatan dan kesejahteraan bersama (welfarestate) sebagaimana cita-cita dan tujuan berdirinya negara ini.

Struktur (kelembagaan) dan substansi (aturan) sebagai penopang guna mewujudkan demokrasi substansial pun dibangun secara lebih baik dari waktu ke waktu. MK dibentuk, KPK dibentuk, KPU dibentuk, Bawaslu dibentuk, DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) dibentuk, kebebasan pers dijamin dalam Undang-Undang, Undang-Undang Pemilu juga intens dievaluasi. Melihat realitas demikian, dapat dikatakan sejujurnya kita telah memiliki infrastruktur dan suprastruktur demokrasi yang memadai guna mendukung terwujudnya demokrasi substansial. Sayangnya, iklim dan ghiroh demokrasi substansial yang menjadi blue print kebangsaan kita pasca pemilu justru mengalami anomali.

Demokrasi kita selepas reformasi justru makin kental dengan ekses-ekses negatif seperti praktik korupsi, politik uang, mahar politik, pragmatisme politik, hingga friksi-friksi yang dilatarbelakangi pilihan politik. Demokrasi kita saat ini malah mawujud sebagai sarang penyamun yang berkontribusi besar dalam menghambat kemajuan bangsa.

Demokrasi kita saat ini hanya merepresentasikan nilai demokrasi prosedural, tidak mampu menjangkau nilai fungsional dari esensi demokrasi. Salah satu “virus” kuat yang menghambat terwujudnya demokrasi substansial adalah menguatnya oligarki politik. Kuatnya pengaruh oligarki politik membuat sistem dan proses demokrasi (pemilu) hanya menjadi sarana oportunis para oligarki politik untuk meraih keuntungan pragmatis.

Fenomena oligarki politik secara sederhana dapat kita lihat dari bagaimana para pemilik modal (pengusaha) menguasai kancah perpolitikan kita. Elite-elite politik dan pemilik “saham” politik mayoritas dipegang oleh para kaum pemilik modal. Hal ini secara tidak langsung memberi sinyalemen kuat bahwa modal kapitalah yang memegang peranan penting dalam kancah dinamika politik dan entitas demokrasi kita dengan menginferiorkan modal kompetensi dan integritas.

Di Indonesia, kelompok oligarki memiliki pergulatan sejarah dan selalu berkelindan dalam dinamika zaman. Meski aktornya berubah, namun wataknya selalu sama. Reorganisasi adalah kunci kaum oligarki dalam menancapkan eksistensinya. Menurut Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarchy (2011), kaum oligarki mengandalkan kekuatan sumber daya materil sebagai basis pertahanan kekayaan yang mereka miliki, hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya ketimpangan materil. Ketimpangan materil tersebut kemudian menghasilkan sebuah realitas ketidaksetaraan politik.

Meskipun dalam demokrasi, hak dan akses terhadap proses politik secara formal sama, namun secara empirik, kemampuan materil yang tidak seimbang dalam dimensi horizontal masyarakat telah menyebabkan terjadinya ketimpangan hak dan akses dalam proses politik. Panggung politik seolah-olah hanya menjadi hak previlege kaum orang kaya saja. Dalam pengertian lain, semakin tidak seimbang distribusi kekayaan materil (kesenjangan sosial-ekonomi), maka akan semakin besar pula pengaruh dan otoritas kaum orang kaya dalam mengendalikan ranah politik untuk motif dan tujuan politiknya. Hal inilah yang menyebabkan demokrasi bertransformasi menjadi sarana politik-pragmatis kaum oligarki bukan lagi sarana fungsional untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat.

Membangun Demokrasi Berkelanjutan

Menurut hemat saya ada beberapa hal penting yang harus direstorasi guna membangun demokrasi substansial sekaligus demokrasi berkelanjutan yang merupakan basis politik guna mewujudkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, dan kemaslahatan bersama. Beberapa hal penting yang perlu direstorasi, saya bagi kedalam 3 tahapan yakni jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek, dimana ketiganya harus dibangun secara integral, komunal, dan berkesinambungan.

Pertama, jangka panjang. Pembenahan jangka panjang yang harus dilakukan guna membenahi struktur demokrasi kita adalah bagaimana mengkis kesenjangan sosial-ekonomi, sehingga distribusi kekayaan materil dapat teralokasi merata. Hal ini akan memiliki implikasi penting terhadap terwujudnya kesetaraan hak dan akses dalam proses politik. Eksesnya, modal kapasitas dan integritas dengan semangat kolektif-substantif akan memegang kendali atau setidaknya memiliki pengaruh dalam ranah politik. Sebaliknya, jika kesenjangan sosial masih tinggi, maka ranah politik akan selalu dikuasai dan menjadi sarana pragmatis kaum-kaum oligarki (pemilik modal). Perlu diketahui, indeks gini ratio kita masih berada di angka 0,382 (data BPS bulan Maret 2019). Sebuah angka yang menunjukkan bahwa tingkat kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia masih berada di tahap yang mengkhawatirkan. Untuk itu, pemerintah harus selalu kita dorong agar memiliki pollitical will melalui kebijakan-kebijakannya guna mereduksi angka kesenjangan sosial-ekonomi.

Kedua, jangka menengah. Penguatan gerakan sosial yang berfungsi sebagai kanalisator agar ruang demokrasi tetap sehat. Gerakan sosial disini berperan guna mengadvokasi sekaligus membangun pastisipasi dan rasa kesadaran akan hak dan kewajiban masyarakat dalam berdemokrasi. Misalnya dengan membuat gerakan sosial anti politik uang. Selain penguatan gerakan sosial, aspek jangka menengah yang harus dibenahi adalah bagaimana membangun idealisme dan peran kontributif parpol melalui restorasi sistem politik yang lebih kondusif. Misalnya dengan membuat kebijakan pembiyaan parpol melalui APBN agar akuntabilitas dan transparansi parpol dapat terjaga.

Ketiga, jangka pendek. Penegakan hukum secara adil dan konsekuen dalam proses demokrasi (pemilu). Proses demokrasi bisa fungsional jika nomokrasi dapat ditegakkan secara nyata. Zero tolerance (penegakan hukum) terhadap kecurangan dalam proses demokrasi adalah kunci membangun demokrasi yang substansial, fungsional, dan produktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar