Senin, 09 Maret 2020

HAM DALAM NEGARA MAJEMUK


Indonesia adalah negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Sebagai negara hukum, tentunya ada unsur-unsur formal maupun substansial yang harus dipenuhi agar negara Indonesia bisa secara kaffah menyandang gelar sebagai negara hukum.

Unsur formal negara hukum sendiri berhubungan dan berkaitan dengan pemenuhan substansi prinsip-prinsip negara hukum dalam konstitusi. Misalnya adanya jaminan HAM, adanya pembatasan kekuasaan, adanya peradilan yang merdeka dan imparsial, adanya check and balances system dalam relasi ketatanegaraan, adanya jaminan demokrasi, kebebasan pers dan lain-lain.

Sedangkan unsur substansial negara hukum berkenaan dengan bagaimana implementasi dan nilai praksis dari prinsip-prinsip formal negara hukum yang terkandung dalam norma konstitusi.

Jika disimplifikasikan, unsur fomal negara hukum berkaitan dengan das sollen sedangkan unsur substansial negara hukum berkaitan dengan das sein.

Bryan Z. Tamanaha, dalam bukunya On The Rule of Law: History, Politic, Theory (2004) membedakan negara hukum menjadi dua jenis yakni negara hukum formal dan negara hukum substansial. Negara hukum formal adalah negara hukum yang sekadar menjadikan hukum sebagai aspek formalitas dalam tata penyelenggaraan negara. Sedangkan negara hukum substansial adalah negara hukum yang mampu mendorong terwujudnya kemaslahatan bersama (welfarestate) dan terjaminnya pemenuhan hak asasi manusia secara empirik.

Berkenaan dengan aspek formal dan substansial negara hukum. Satu poin penting dan pokok tentunya berkaitan dengan hak asasi manusia. Bisa dikatakan, unsur paling esensial dari pada negara hukum adalah perlindungan (jaminan) hak asasi manusia. Secara formal, negara Indonesia tentu telah mengakomodasi jaminan hak asasi manusia dalam konstitusi, tepatnya pada bab XA. Namun jika berbicara soal aspek substansialnya (nilai praksis) bisa jadi jaminan hak asasi manusia yang tercantum dalam norma konstitusi hanya sekadar menjadi paper tiger (macan kertas).

Indikasi tersebut menguat. Lembaga riset Indonesian Legal Rountable yang setiap tahun merilis hasil riset mengenai indeks negara hukum Indonesia menyatakan bahwa kendala untuk meningkatkan nilai indeks negara hukum Indonesia terletak pada dimensi hak asasi manusia. Khususnya berkaitan dengan “Keengganan” pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang menjadi luka sejarah bangsa, kemudian juga soal penghormatan terhadap hak asasi manusia yang belum memuaskan.

HAM dalam Konstelasi Negara Majemuk

Menurut Pasal 28 I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Hal ini sejalan dengan ghiroh bernegara, mengingat pemerintah adalah lembaga yang memiliki otoritas mengeluarkan kebijakan serta memiliki tugas konstitusional untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara dan membumikan norma konstitusi salah satunya mengenai hak asasi manusia.

Meski pemerintah memiliki peran penting dan strategis dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia namun terpenuhinya hak asasi manusia tidak semata-mata karena peran pemerintah. Ada juga peran dari warga negara. Perlu diingat hak asasi manusia tidak hanya memiliki dimensi vertikal namun juga dimensi horizontal.

Dimensi vertikal berkaitan dengan hubungan negara dan warga negara sedangkan dimensi horizontal berkaitan dengan hubungan antara sesama warga negara. Dalam konteks dimensi horizontal terkandung makna bahwa hak asasi manusia seorang warga negara dapat terpenuhi jika warga negara lainnya melaksanakan kewajiban asasinya.

Tanpa menafikan dimensi hak asasi manusia vertikal, dalam konteks negara majemuk seperti Indonesia potensi perampasan hak asasi manusia juga sangat potensial dilakukan oleh sesama warga negara. Negara majemuk sendiri secara sederhana diartikan sebagai negara yang memiliki keanekaragaman entitas primordial. Masyarakatnya bersifat heterogen.

Menurut J. S. Furnival (1967), masyarakat majemuk terbagi dalam komposisi yakni masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang, masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, dan masyarakat majemuk dengan fragmentasi.

Dalam konteks negara majemuk Indonesia, secara das sollen (seharusnya) memang konstelasi kesetaraan yang dikedepankan, namun secara das sein (kenyataan) beberapa fakta di lapangan justru menunjukkan sisi paradoks. Egosime mayoritas terkadang membuat suatu kelompok masyarakat melakukan penindasan dan perampasan hak asasi manusia kepada masyarakat lainnya.

Dalam konstelasi negara majemuk, memang terdapat dua faktor potensial yang dapat menyebabkan terjadinya perampasan hak asasi manusia dalam ranah dimensi horizontal, dua faktor tersebut adalah egoisme primordial dan konstelasi mayoritas-minoritas. Sejalan dengan hal tersebut, secara empirik, di Indonesia dapat kita lihat sendiri betapa masih lazim terjadi perampasan hak asasi manusia yang dilakukan oleh sesama warga negara khususnya yang berafiliasi dengan faktor entitas primordial dan konstelasi mayoritas-minoritas seperti misalnya pelarangan menjalankan hak kebebasan beragama dan peribadatan baik secara fisik maupun verbal.

Perlu diingat bahwa negara ini dibangun berdasarkan prinsip kesetaraan. Kesetaraan dalam penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Tidak boleh ada diskriminasi dan perampasan hak asasi manusia dengan alasan apapun dan oleh siapapun. Kesadaran inilah yang hendaknya dimiliki oleh segenap manusia Indonesia. Bangsa ini tidak dibangun dengan semangat mayoritas-minoritas, namun dibangun berdasarkan kesetaraan dan semangat kebhinekaan dalam bingkai konstitusi. Itulah mengapa para founding fathers kita meletakkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang bercorak komunalisme-kompromistis sebagai dasar negara dan semboyan bangsa Indonesia. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah pondasi sekaligus bintang pemandu guna mengawal dan meramu segala dimensi perbedaan bangsa agar dapat membawa taman sari kemaslahatan dalam hidup bersama.

Akhir sekali, perlu kita pahami bahwa hak asasi manusia tidak hanya menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah (negara) tetapi juga menjadi kewajiban dan tanggung jawab sesama warga negara.

Karena terpenuhinya hak asasi manusia sendiri sangat tergantung dengan pemenuhan kewajiban asasi manusia oleh manusia lainnya. Mari ber-Indonesia dengan kesadaran dan nafas konstitusionalisme bukan egoisme-segmentatif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar