Minggu, 01 Maret 2020

BUNUH DIRI: SEBUAH TELAAH MULTIDISIPLINER


Sebagai mahluk hidup, manusia pasti akan merasakan apa yang dinamakan kematian. Kematian secara harfiah memiliki makna terpisahnya raga dan nyawa. Hal ini sejalan dengan dalil dalam Al-Qur’an, Surat Al-Ankabut ayat 57 yang berbunyi, kullu nafsin za iqatul-maut, summa ilaina turjaun. Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian, kemudian hanyalah kepada kami (Allah) kamu dikembalikan”.

Ayat diatas telah menjelaskan bahwa manusia sebagai mahluk hidup pada hakikatnya memang akan merasakan kematian. Hanya saja, cara dan dalam keadaan apa manusia itu merasakan kematian, adalah ranah kuasa Allah SWT. Penyebab kematian bisa karena penyakit, kecelakaan, terkena bencana alam, tersengat listrik, hingga bunuh diri. Nah, penyebab kematian terakhir inilah yang dewasa ini menjadi fenomena masyarakat urban. Masifnya fenomena bunuh diri dewasa ini menandakan bahwa ada sebuah problematika.

Problematika inilah yang kemudian akan penulis kaji dari banyak perspektif secara holistik guna menemukan akar permasalahan dan solusi khususnya terhadap fenomena kasus bunuh diri di Indonesia.

Menurut data WHO, setiap tahunnya ada sekitar 800.000 ribu oang meninggal akibat bunuh diri, bila disimplifikasikan, maka terdapat satu orang meninggal akibat bunuh diri setiap 40 detik. Di Indonesia sendiri, fenomena bunuh diri juga menjadi isu kontemporer yang berkelindan dalam ruang kehidupan sosial masyarakat kita. Menurut data Institute For Health Metrics and Evaluation (IHME), angka bunuh diri di Indonesia menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir walau secara umum belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

Menurut data IHME, pada 2010 ada 4,3 dari 100.000 penduduk meninggal akibat bunuh diri. Pada tahun 2015 angka tersebut mengalami penurunan menjadi 4 dari 100.000 penduduk meninggal akibat bunuh diri. Dan angka tersebut lagi-lagi mengalami penurunan pada tahun 2018 lalu, pada 2018 ada 3,7 dari 100.000 penduduk meninggal akibat bunuh diri. Angka tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 159 dari 183 negara di dunia terkait jumlah kematian akibat bunuh diri.

Menempati peringkat ke 159 dari 183 negara dalam hal jumlah kematian akibat bunuh diri tentunya menjadi sebuah fenomena getir dan memilukan yang seharusnya menjadi bahan renungan kita bersama untuk mendapatkan solusi terbaik sehingga dapat mencegah dan mereduksi angka kematian akibat bunuh diri.

Faktor Penyebab Bunuh Diri

Sejauh ini memang belum ada penelitian secara spesifik mengenai faktor-faktor penyebab bunuh diri di Indonesia. Meskipun demikian, setidaknya dapat kita gali secara generik mengenai faktor-faktor yang pada umumnya bisa menyebabkan orang “Rela” mengakhiri hidupnya.

Pertama, faktor ekonomi. Ya, kesulitan hidup, beban ekonomi, dan hutang, merupakan faktor-faktor ekonomi yang seringkali mampu membuat orang rela mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Bunuh diri mereka anggap sebagai jalan terbaik untuk lepas dari jerat kesusahan hidupan.

Kedua, faktor psikologis. Orang rela mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri juga bisa dikarenakan adanya gangguan atau penyakit psikologis misalnya, gangguan bipolar, depresi berat, anoreksia nervosa, gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder) dan skizofrenia. Selain itu, faktor psikologis lain yang dapat membuat orang rela bunuh diri misalnya, menjadi korban bullying, ketergantungan narkotika, rasa malu karena pelecehan seksual, dan pengucilan dari kelompok keluarga atau masyarakat.

Ketiga, faktor lemahnya mental dan spiritual diri. Berikutnya faktor yang menyebabkan orang melakukan bunuh diri adalah lemahnya mental dan spiritual diri. Orang yang lemah secara mental dan spiritual tentunya jiwanya akan mudah goyah ketika mendapati suatu problematika hidup misalnya, putus asmara, kesulitan mencari pekerjaan (penganguran), kegagalan dalam hidup, dan lainnya. Pada prinsipnya, lemahnya mental dan spiritual diri dapat menjadi stimulan bagi seseorang untuk melakukan bunuh diri.

Keempat, faktor sosial dan budaya. Hal ini terkait dengan nilai-nilai sosio-kultural yang dapat menstimulasi seseorang untuk melakukan bunuh diri. Misalnya budaya hara kiri di Jepang dimana menganggap bunuh diri sebagai jalan terbaik dari pada menanggung rasa malu. Selain itu, secara sosial faktor yang dapat menjadi stimulan bagi seseorang melakukan bunuh diri adalah rengganggnya kohesi sosial. Dalam masyarakat yang kohesi sosialnya rendah akan membuat potensi bunuh diri meningkat.

Solusi Mencegah Bunuh Diri

Berdasarkan faktor penyebab bunuh diri yang penulis utarakan diatas, menunjukkan bahwa bunuh diri pada dasarnya adalah problematika multidimensional tidak problematika parsial, ada banyak faktor berkelindan yang dapat menjadi penyebab seseorang melakukan bunuh diri, oleh karenanya, solusi untuk mencegah dan menekan angka bunuh diri juga harus dilakukan secara multidimensional, integral, holistik, dan berkesinambungan.

Solusi pertama adalah melalui pendekatan spiritual. Dalam konteks ini, internalisasi ajaran agama dan nilai-nilai spiritual hendaknya dilakukan sejak dini agar nilai-nilai spiritual itu dapat mengakar secara lebih kuat dalam diri sekaligus menjadi upaya preventif yang mangkus untuk mencegah praktik bunuh diri bagi seseorang. Seseorang yang memiliki bekal spiritual diri yang baik tentunya akan dapat membentengi dirinya dari hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya.

Dalam Islam, bunuh diri termasuk perbuatan yang dilarang dan sangat dibenci oleh Allah. Hal ini diterangkan dalam Surat An-Nissa ayat 29-30: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian (bunuh diri) maka kami (Allah) kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah”.

Oleh karenanya, pendekatan spiritual melalui internalisasi nilai-nilai spiritual dan ajaran agama dapat menjadi solusi untuk mencegah praktik bunuh diri. Dalam konteks ini tentu kesadaran dan peran dari keluarga, teman, diri sendiri, serta peran dari tokoh agama menjadi penting dalam rangka membangun ekosistem sosial, ekosistem kelurga, dan ekosistem pergaulan yang kuyup dengan nilai-nilai spiritualitas. Jika hal demikian dapat mawujud tentu praktik bunuh diri pastinya akan dapat tereduksi secara efektif.

Solusi kedua, pendekatan psikologis. Ya, salah satu penyebab bunuh diri adalah karena adanya gangguan atau penyakit psikologis. Oleh karenanya, solusi untuk mencegahnya juga harus melalui pendekatan pskilogis, dalam hal ini memerlukan peran aktif dari keluarga atau lingkungan. Kepedulian dan afeksi dari orang-orang terdekat misalnya dengan membawa mereka ke psikolog, memberi support, dan memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang adalah upaya-upaya pendekatan psikologis yang dapat dilakukan.

Solusi ketiga, pendekatan sosial. Pendekatan sosial adalah bagaimana membangun relasi dan kohesifitas sosial secara lebih erat. Bagaimana membangun sebuah ekosistem sosial yang nyaman dan tentram bagi semua anggotanya (masyarakat). Menurut Emil Durkheim dalam bukunya Suicide (1987) di dalam masyarakat yang kondisi relasi dan integrasi sosialnya rapuh, disanalah praktik bunuh diri umumnya terjadi.

Ketika ikatan kohesi, relasi, dan integrasi sosial kuat, maka akan lahir sebuah rasa keterikatan dan kepedulian dalam semangat komunalisme yang pada akhirnya membuat tiap-tiap individu dalam masyarakat merasakan kenyamanan dan ketentraman. Oleh karenanya menjadi penting untuk membangun kohesi dan integrasi sosial dalam semangat komunalisme untuk mencegah praktik bunuh diri.

Solusi keempat, pendekatan kebijakan. Pendekatan ini harus diejawantahkan oleh pemerintah dan legislatif dengan membuat kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi, sosial, budaya, bisnis, ketenagakerjaan, kesehatan, dan lainnya yang berorientasi pada terwujudnya negara kesejahteraan "Welfare state". Kebijakan-kebijakan inilah yang akan secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi sarana pencegah seseorang untuk melakukan bunuh diri, khususnya kasus bunuh diri yang dilatarbelakangi oleh motif ekonomi dan beban hidup.

Pada prinsipnya, keempat solusi dan pendekatan untuk mencegah praktik bunuh diri sama-sama urgen. Mengingat bunuh diri sendiri adalah sebuah problematika multidisipliner, maka cara untuk mencegah dan mengentaskannya juga harus menggunakan pendekatan-pendekatan yang holistik, integral, berkesinambungan.

Arti Penting Mencegah Bunuh Diri

Pertama, dalam perspektif teologis khususnya ranah agama Islam, bunuh diri adalah salah satu perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT dan haram untuk dilakukan, barangsiapa yang melakukan bunuh diri maka oleh Allah SWT diancam dengan neraka. Oleh karenanya, dalam perspektif teologis (Islam) arti penting mencegah bunuh diri adalah wujud bertaqwa kepada Allah SWT sekaligus menghindari ancaman neraka yang sangat pedih.

Kedua, menurut perpektif filosofi bernegara, bunuh diri harus dicegah karena salah satu tujuan dari berdirinya negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea IV. Pemerintah memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia termasuk melindungi (dalam arti mencegah) warga negara Indonesia dari praktik bunuh diri.

Ketiga, psikologi kelurga, bunuh diri harus dicegah karena bunuh diri pasti menjadi sebuah tragedi keluarga. Keluarga pasti menanggung beban dan traumatik psikologis jika ada anggota keluarganya yang meninggal karena bunuh diri. Oleh karena itu, praktik bunuh diri harus dicegah, karena hal itu merupakan bentuk perlindungan bagi keluarga dari beban dan traumatik psikologis yang dapat menghambat kemajuan dan kontribusi sosial sebuah keluarga.

Akhir sekali, semoga dengan langkah dan pendekatan holistik kedepannya angka bunuh diri di Indonesia dapat turun secara dratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar