Saya pribadi yang menyukai tantangan dan espektasi dengan standar yang tinggi (karir dan pencapaian), saya selalu berhasrat sampai pada puncak. Hal tersebut menjadi stimulan yang mendorong saya memiliki gairah membara dan motivasi yang tinggi dalam menjalani hidup. Hidup tanpa tantangan dan mimpi yang tinggi bagai seekor burung tanpa sayap. Satu hal lagi: Istri dan keluarga adalah segalanya dalam hidup saya.
Rabu, 06 Mei 2020
PUISI: BERSEMBUNYI RASA
Aku tak bisa mengelak.
Rasa itu memang mengendap erat.
Terpasung dalam kalbu.
Aku tak bisa berbohong.
Rasa itu memang menetap teduh.
Terpikat dalam fikir.
Aku tak bisa berpaling.
Munafik menyimpan sandiwara.
Bersembunyi rasa.
Engkaulah serpihan raga yang ku nanti.
PUISI: MUNAJAT RINDU
Sewangi pesona anggun mu.
Merbak ke jingga permadani.
Bersemayam bidadari hati.
Mengais kemilau munajat rindu.
Gejolak rasa merayap waktu.
Berkelindan rintihan harap.
Sepucuk doa suci menembus langit adiwarna.
Menyampaikan munajat rindu pada pujaan hati.
Jiwa kita sementara terpisah takdir.
Kerut bisik dalam raungan semilir.
Menanti datangnya separuh nyawa.
Munajat rindu sirna dalam pelampiasan abadi.
Minggu, 03 Mei 2020
REFLEKSI HARI KARTINI: PURIFIKASI PERAN PEREMPUAN DALAM KONSTELASI POLITIK INDONESIA
Pada
tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 yang isinya menetapkan RA Kartini sebagai
pahlawan nasional Indonesia sekaligus menetapkan hari lahirnya RA Kartini, 21
April sebagai hari besar kenegaraan.
Raden
Adjeng Kartini lahir di kota Jepara pada tanggal 21 April 1879. Kartini lahir
dari golongan ningrat Jawa. Ayahnya merupakan Bupati Jepara bernama R. M. A. A.
Sosroningrat sedangkan ibunya bernama M. A. Ngasirah. Karena dari keturunan
ningrat, Kartini pun bisa menikmati previlege
untuk mengenyam pendidikan di Europese
Lagere School (ELS). Di ELS, Kartini belajar membaca dan menulis dalam
bahasa Belanda. Sayangnya, seorang perempuan saat itu hanya dapat menikmati
pendidikan sampai usia 12 tahun. Setelah menginjak 12 tahun, seorang perempuan
termasuk Kartini akan dipingit.
Di
saat masa pingit inilah RA Kartini
banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan menulis surat. RA kartini
melahap habis buku-buku seperti Max
Havelar dan Surat-Surat Cinta karya
Multatuli, De Stile Kraacht karya
Louis Coperus, karya-karya roman-feminis karya Goekoop De Jong Van Beek, hingga
buku Die Waffen Nieder karya dari
Berta Von Suttner. Bacaan-bacaan tersebutlah yang mengisi dan mempengaruhi pola
pikir RA Kartini sehingga RA Kartini mampu berpikir progresif dan out of the box melampaui tatanan dan
kondisi zaman pada waktu itu. Kartini mendobrak pemikiran kolot yang mendiskreditkan
kaum perempuan sebagai kaum “rumahan”. Kartini memperjuangkan kesetaraan hak
kaum perempuan agar memiliki peran dan sumbangsih bagi kehidupan keluarga, sosial,
hingga politik-pemerintahan sama seperti halnya kaum laki-laki. Bagi Kartini,
perempuan sebenarnya memiliki potensi besar untuk turut berkontribusi bagi kemajuan
bangsa.
Perlu
diketahui, pada waktu itu masih tertanam dogma yang kuat bahwa kaum perempuan
adalah kaum “nomor 2”, kaum yang dianggap lemah dan tidak memiliki peran vital
dalam kehidupan sosial maupun keluarga. Budaya patriarkis yang masih kental
pada waktu itu membuat perempuan mengalami diskriminasi, hak-hak perempuan
sebagai manusia yang bermartabat tidak diberikan. Akibatnya, kesenjangan peran
antara kaum perempuan dan kaum laki-laki pun sangat besar. Segala lini dimensi
kehidupan dikuasai oleh kaum laki-laki. Kartini sendiri pada prinsipnya menginginkan
perempuan memiliki kesetaraan hak sebagai manusia yang bermartabat
Kegelisahan-kegelisahan
Kartini kemudian dituangkan dalam aktivitas surat menyuratnya dengan kawannya
di Belanda, J.H. Abendanon. Surat-surat Kartini berisikan curahan hati dan
pemikirannya mengenai kondisi sosial perempuan pribumi Indonesia. Kartini juga
mengeluhkan adat budaya Jawa yang ia pandang sangat bersifat patriarkis
sehingga menghambat kemajuan perempuan.
Kartini
menuliskan penderitaan perempuan Jawa yang terkungkung oleh adat istiadat
hingga membuat kaum perempuan tidak bisa leluasa mengenyam pendidikan, dipingit, dijodohkan dan dinikahkan dengan
laki-laki yang kadang tidak dikenal, hingga harus bersedia dimadu (dengan
paksaan).
Kartini
juga meratapi kondisi buta huruf pada kaum perempuan karena tidak adanya akses
pendidikan. Intinya, surat Kartini berisikan tentang hambatan-hambatan yang
harus dihadapi oleh kaum perempuan pribumi untuk bisa maju dan memiliki peran
strategis. Setelah Kartini meninggal, surat-surat tersebut kemudian dibukukan
dengan judul Door Duisternis Tot Licht atau
dalam bahasa Indonesia memiliki arti Habislah
Gelap Terbitlah Terang. Buku Habislah Gelap Terbitlah Terang sendiri berhasil
menarik perhatian masyarakat Belanda dan pada akhirnya mampu mendorong
terbentuknya Yayasan Kartini, Sekolah Van Daventer, dan hingga perubahan mindset dan perubahan peran perempuan
dalam konstelasi kehidupan sosial-kenegaraan.
Purifikasi Peran Perempuan dalam
Konstelasi Politik Indonesia
Momentum
Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April, seharusnya menjadi bahan
refleksi bagi kita semua untuk melakukan koreksi dan kontemplasi mengenai
sejauh mana cita-cita luhur Kartini bagi kaum perempuan agar memiliki
kesetaraan hak dapat terwujud dalam kontekstualisasi zaman sekarang. Dalam
aspek pendidikan dan interaksi sosial, secara umum dapat kita nilai bahwa
perempuan saat ini relatif memiliki kesetaraan yang sama dengan laki-laki.
Hanya saja, dalam ranah konstelasi politik, kesetaraan susbtantif dan peran
perempuan terbilang masih cukup minim. Padahal politik merupakan titik krusial
dalam kehidupan negara, mengingat politik merupakan ranah pembuatan dan
pengambilan kebijakan yang eksesnya akan berdampak luas bagi publik. Oleh
karena itu, pelibatan peran dan aspirasi perempuan dalam rangka pembuatan dan
pengambilan kebijakan publik menjadi sangat penting demi terwujudnya semangat
partisipatif, prinsip kesetaraan, dan secara khusus terkait aspek perlindungan
terhadap kaum perempuan.
Indonesia
sebagai negara demokrasi pada prinsipnya mengamanatkan adanya persamaan akses
dan kesetaraan peran baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan atas dasar
prinsip persamaan derajat. Dalam tataran internasional sendiri, telah ada
konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
kaum perempuan (Convention on The
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang hingga tahun
2019 telah diratifikasi oleh 189 dari 195 negara termasuk Indonesia. Konvensi
ini merekomendasikan agar semua negara di dunia memberlakukan kebijakan
afirmatif sementara untuk meningkatkan proporsi jumlah perempuan dalam jabatan-jabatan
appointif (penunjukkan) maupun elektif (pemilihan umum) pada tataran nasional
maupun lokal.
Sejalan
dengan hal tersebut, maka kebijakan-kebijakan afirmatif untuk memberikan
proporsi peran kepada perempuan dalam konstelasi politik Indonesia pun di buat.
Aturan tentang kewajiban kuota 30 % bagi caleg perempuan tertuang di berbagai
Undang-Undang yakni Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 juga mewajibkan partai politik
untuk menyertakan 30 % keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai baik di
tingkat daerah maupun nasional. Kuota 30 % sendiri didasarkan pada penelitian
PBB bahwa kuota 30 % merupakan jumlah minimum yang memungkinkan terjadinya
perubahan dan membawa dampak terhadap kualitas kebijakan publik yang diambil.
Sayangnya,
sejak pemilu 2004 kuota 30 % keterwakilan perempuan dalam parlemen tidak pernah
tercapai.
Tahun
Pemilu
|
Jumlah
Kursi
|
Presentase
|
2004
|
65
|
11,82 %
|
2009
|
101
|
18 %
|
2014
|
97
|
17,32 %
|
2019
|
118
|
28,8 %
|
Data:
diolah dari berbagai sumber
Data diatas menunjukkan fakta bahwa keterwakilan perempuan dalam konstelasi politik khsususnya parlemen masih sangat rendah. Meskipun terdapat kebijakan afirmatif bagi para partai politik untuk mengakomodir kuota 30 % caleg pada setiap daerah pemilihan namun kuota 30 % keterwakilan perempuan dalam DPR tidak pernah terwujud. Minimnya keterwakilan perempuan dalam parlemen membuat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh parlemen seringkali kontraproduktif dengan aspirasi dan semangat perlindungan terhadap kaum perempuan, contohnya mandeknya proses pengesahaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Padahal pengesahan Rancangan Undang-Undang ini menjadi sangat urgen ditengah maraknya kekerasan seksual terhadap kaum perempuan.
Ada
dua hal yang membuat peran perempuan dalam konstelasi politik di Indonesia
belum mendapatkan proporsi yang memadai meskipun secara formal telah ada
kebijakan-kebijakan afirmatif untuk mendorong peran dan keterwakilan perempuan.
Pertama,
kultur patriarki. Meskipun kultur patriarki mengalami penurunan secara
signifikan baik secara formal maupun substantif dibandingkan dengan era zaman
RA Kartini atau pra kemerdekaan. Namun kultur patriarki tersebut secara empirik
masih mengendap dalam paradigma pemikiran sebagian besar masyarakat Indonesia.
Pola pikir patriarki menempatkan perempuan dalam posisi inferior dibanding
laki-laki. Perempuan dikonotasikan sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi
dan kemandirian di semua bidang, termasuk politik. Dewasa ini budaya patriarki justru
kembali menguat akibat menguatnya gerakan Islam sayap kanan atau Islam
fundamentalis yang memperjuangkan aspirasi bahwa pemimpin harus seorang
laki-laki. Kelindan antara faktor kultural dan faktor fundamentalisme agama inilah yang menyebabkan patriarkisme
tumbuh subur, di mana hal tersebut berimbas pada rendahnya keterwakilan
perempuan dalam ranah parlemen, karena mayoritas masyarakat lebih percaya terhadap
kapasitas caleg laki-laki dari pada caleg perempuan. Asumsi tersebut berangkat dari
paradigma dan pandangan bahwa ranah politik lekat dengan relasi kemandirian dan agresivitas
yang umumnya kuyup dengan citra maskulin dari pada citra feminim.
Kedua,
rendahnya kepercayaan partai politik. Secara umum kuota keterwakilan 30 %
perempuan baik dalam kepengurusan maupun calon legislatif hanya sekadar
dijadikan sarana formalitas yakni untuk memenuhi persyaratan formal belaka.
Selama ini nyaris tidak pernah ada gaung yang menunjukkan komitmen serius
partai politik terhadap pemberdayaan politik terhadap kaum perempuan. Partai
politik terlihat kurang memiliki kepercayaan bahwa perempuan mampu menjadi vote getter. Hal ini berangkat dari
asumsi bahwa perempuan memiliki keterbatasan dalam aspek materil dan
kemandirian politik.
Solusi
Untuk
mengatasi permasalahan keterwakilan perempuan dalam proses pembuatan dan
pengambilan kebijakan dalam konstelasi politik khususnya parlemen, maka ada
beberapa pendekatan solusi yang dapat dilakukan. Pada prinsipnya, nilai politik
formalitas yang sarat dalam proporsi keterwakilan perempuan di dalam konstelasi
politik harus dipurifikasi (pemurnian) dengan pendekatan-pendekatan solutif dan
integratif dibawah ini guna mendorong terwujudnya nilai substansial dari
keterwakilan politik perempuan.
Pertama,
tataran high. Harus ada komitmen kuat
dan political will dari para partai
politik untuk mengubah paradigma mereka dalam meletakkan proporsi dan posisi
perempuan, baik dalam ranah kepengurusan maupun ranah kontestasi politik tidak
sekadar pada aspek formal (pemenuhan syarat) namun juga pada aspek substantif
(pemberdayaan dan trust). Partai
politik harus memiliki ghiroh untuk
memperjuangkan kesetaraan akses politik secara real terhadap kaum perempuan. Partai politik harus berani keluar
dari kotak pandora bernama politik transaksional, maskulinitas, dan
materialistis menuju politik partisipatif, egaliter, dan substansial.
Kedua,
tataran middle. Menurut Kurniawati
Hastuti Dewi dalam bukunya Indonesian
Women and Local Politics (2015) mengatakan bahwa agenda mendesak yang harus
dilakukan untuk mengakhiri praktik dominasi kaum laki-laki dalam ranah
perpolitikan adalah dengan membentuk sebuah gerakan jejaring perempuan secara
masif dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Kekuatan jejaring perempuan
dan pelibatan berbagai elemen dari masyarakat akan memiliki dampak signifikan
dalam merubah paradigma masyarakat maupun institusi politik terhadap citra
politik dan kultur patriarki.
Ketiga,
tataran low. Diperlukan sebuah awareness bagi masyarakat sipil sebagai
subyek sekaligus obyek demokrasi untuk meletakkan dimensi politik elektoral
dalam basis keadilan gender. Masyarakat harus mengutamakan indikator berbasis
teknis dan kapasitas bukan aspek eksklusifitas dan monopoli gender.
PSIR REMBANG: SEBUAH MEMORABILIA
Publik
sepak bola nasional mungkin lebih familiar dengan PSIS Semarang, Persijap
Jepara, dan Persis Solo jika merujuk klub sepak bola yang berasal dari Jawa Tengah.
Namun, selain ketiga klub tersebut, Jawa Tengah juga memiliki satu klub yang
tidak boleh dikesampingkan begitu saja, jika menilik sejarah dalam belantika
sepak bola nasional. Klub tersebut adalah PSIR Rembang. Ya, klub yang bermarkas
di Stadion Krida Rembang ini merupakan salah satu dari lima klub asal Jawa
Tengah yang pernah merasakan kerasnya kompetisi kasta tertinggi nasional.
Tepatnya pada kompetisi Ligina I musim 1994/1995 dan IPL musim 2013.
Selain
itu, PSIR Rembang juga beberapa kali berhasil mencatatkan prestasi manis pada
gelaran kompetisi resmi PSSI. Pada kompetisi divisi utama perserikatan musim
1993/1994 PSIR Rembang berhasil lolos hingga babak 8 besar, kemudian meraih
Juara divisi II nasional pada musim 1989/1990 dan musim 2006/2007, juara divisi
III nasional musim 2005/2006, dan promosi ke IPL dengan menempati peringkat 2
grup 2 kompetisi divisi utama LPIS musim 2011/2012.
Prestasi-prestasi
tersebut membuat PSIR setidaknya layak menyandang gelar sebagai salah satu klub
besar di Jawa Tengah bersanding dengan PSIS Semarang, Persijap Jepara, dan
Persis Solo, meskipun secara popularitas nasional, Laskar Dampo Awang masih
inferior dibanding ketiga klub tersebut.
Sebuah Memorabilia
Melihat
kembali kiprah PSIR Rembang dalam belantika sepak bola nasional isyarat meletupkan
goresan memorabilia. Kisah manis dan getir. Gelar juara dan degradasi. Prestasi
dan kontroversi. Hingga eksistensi dan undur diri kuyup mewarnai perjalanan 50
tahun PSIR Rembang. Sejak berdiri pada tahun 1970, begitu banyak memorabilia
yang melekat dalam ingatan masyarakat Rembang dan pecinta PSIR akan sebuah
entitas dan identitas kebanggaan bernama PSIR Rembang.
Kisah
manis PSIR Rembang berawal pada musim 1989/1990 ketika berhasil menggondol
gelar juara divisi II nasional perserikatan sekaligus menggondol tiket promosi
untuk mentas di divisi I perserikatan musim 1990/1991. Setelah 3 Musim PSIR
Rembang mentas di divisi I, akhirnya pada musim 1993/1994 PSIR bisa tampil pada
kompetisi divisi utama setelah pada kompetisi divisi I musim 1992/1993, PSIR
mampu meraih tiket promosi. Divisi utama sendiri merupakan kompetisi kasta
tertinggi era perserikatan.
Pada
kompetisi divisi utama perserikatan musim 1993/1994 inilah, prestasi terbesar
sepanjang berdirinya klub berhasil diukir. Pada divisi utama musim 1993/1994, PSIR
berada di grub timur bersama Persebaya Surabaya, PSM Ujung Pandang (Makassar),
PSIS Semarang, Persegres Gresik, PSIM Jogja, Persema Malang, dan Persiba
Balikpapan. PSIR kala itu bermaterikan gabungan pemain lokal dan pemain luar
daerah seperti Hadi Surento, Mulyono “bedeng”, Damani, Ratriadi Sapteko,
Hariyanto, Yance Ruma, Fritz Rudolf Padwa, Bambang “max” Handoyo, Kuncoro, Joko
Supriyono, Tulastono Suparmin, alm Tri Karsono, Komarudin, dan Joko Darwanto.
PSIR
mampu finis diperingkat 4 grub timur setelah di pertandingan terakhir mampu
menahan imbang tuan rumah Juku Eja PSM
Makassar di stadion Mattoanging dengan skor 1-1. Hasil imbang sudah cukup untuk
memantapkan posisi PSIR diperingkat 4 grub timur sekaligus memastikan tiket ke
babak 8 besar yang akan digelar di stadion Gelora Bung Karno Senayan. Setelah
memastikan tiket babak 8 besar, para pemuda dan pecinta PSIR pun menggelar
pawai untuk merayakan keberhasilan PSIR Rembang lolos ke babak 8 besar
kompetisi kasta tertinggi nasional.
Pada
babak 8 besar sendiri, PSIR bergabung dengan Persib Bandung, PSM Ujung Pandang,
dan Persiraja Banda Aceh. Sayangnya, PSIR gagal melaju ke babak semifinal
setelah hanya meraih 1 kemenangan (menang 4-1 melawan Persiraja) dan kalah 2
kali (0-1 melawan Persib dan 1-2 melawan PSM). Meskipun gagal melaju ke babak
semifinal, prestasi PSIR mampu lolos ke babak 8 besar kompetisi kasta tertinggi
merupakan pencapaian yang luar biasa. Apalagi ada beberapa cerita pilu yang mengiringi
PSIR saat mentas di senayan, misalnya PSIR dengan terpaksa tidak bisa latihan
dan menjajal rumput Gelora Bung Karno lantaran tidak mampu membayar uang sewa.
Setelah
prestasi nan mengagumkan pada kompetisi divisi utama perserikatan 1993/1994,
pada musim kompetisi 1994/1995 yang merupakan kompetisi liga Indonesia pertama
atau musim perdana bergabungnya klub-klub perserikatan dan galatama dalam wadah
kompetisi yang sama. Pada musim liga Indonesia I ini PSIR kembali berada di
grub timur bersama klub-klub besar seperti Persebaya, PSM, Barito Putera, dan
Persipura. Karena faktor keterbatasan dana, pada waktu itu PSIR tidak mampu merekrut
pemain-pemain level top, PSIR relatif masih mengandalkan komposisi pemain pada
musim 1993/1994. Di sisi lain, para klub eks galatama dan eks perserikatan yang
lain banyak menggunakan jasa pemain-pemain top hingga pemain asing. Ketimpangan
komposisi dan materi pemain inilah yang menjadi faktor kuat mengapa PSIR pada
akhirnya harus terjerembab di posisi kedua terbawah grub timur dan degradasi ke
kompetisi divisi 1.
Musim
1995/1996 PSIR absen mengikuti kompetisi divisi I, pada musim selanjutnya PSIR
kembali ikut kompetisi dan tetap berada di divisi I. Setelah itu, PSIR Sempat
vakum hingga 4 tahun lamanya. Pada musim
2001/2002 PSIR kembali ikut kompetisi PSSI yakni kompetisi divisi II A
Jawa Tengah, bertahan 4 tahun. Pada musim 2005 PSIR berhasil menjadi juara
divisi III nasional, selanjutnya musim 2006 PSIR berhasil menjadi juara divisi
II nasional dan promosi ke divisi I. Musim 2007 PSIR berkompetisi di divisi I
dan berhasil promosi ke divisi utama yang saat itu berstatus kompetisi kasta
kedua, sayangnya keberhasilan PSIR pada musim 2007 dibayangi isu kontroversi,
karena setiap PSIR berlaga di kandang nyaris selalu mendapat hadiah penalti
dari wasit bahkan stadion krida sempat dijuluki stadion penalti oleh media saat
itu. Musim 2008/2009 hingga musim 2011/2012 dan musim 2014 hingga 2018 PSIR
mampu eksis di kompetisi kasta kedua.
Bahkan,
pada musim 2011/2012 PSIR mampu promosi ke kasta tertinggi sepak bola nasional Indonesian Premier League (dualisme
kompetisi) setelah finis sebagai runner-up
grup II dibawah Persepar Palangkaraya dan mengangkangi klub-klub prominen
macam PSIS, Persis, PSS, dan Persik. Pada musim 2013, PSIR berkompetisi di IPL
bertarung dengan klub legendaris macam PSM Makassar dan Persebaya 1927.
Kisah
getir kembali menerpa PSIR, setelah pada musim kompetisi liga 2 musim 2018,
PSIR harus terdegradasi ke liga 3 atau kasta terbawah dalam hierarki kompetisi
sepak bola Indonesia. Sayangnya, pada musim 2019 lalu PSIR justru absen dari
kompetisi liga 3. Hal tersebut membuat segenap pecinta PSIR terhanyut rasa
rindu melihat laskar Dampo Awang mentas di Stadion Krida Rembang. Pada musim
2020, geliat PSIR untuk kembali berkompetisi menguat sayangnya pandemi Covid-19
membuat kepastian kompetisi menjadi tidak jelas.
Pada
akhirnya, tulisan ini tidak mungkin bisa merekam secara utuh perjalanan dan
kisah PSIR dalam rimba belantika sepak bola nasional. Tetapi secuil cerita di
atas, saya harap mampu menjadi entitas memorabilia bagi siapa saja yang
mencintai dan merindukan klub kebanggaan wong
Rembang, PSIR Rembang.
BUMI HARI INI: CORONA, EKSISTENSI MANUSIA, DAN SISI POSITIF
( Artikel ini ditulis pada 25 Maret 2020)
Covid
19 atau yang lebih familiar disebut virus corona telah mengejawantah sebagai
ancaman bagi eksistensi kehidupan manusia. Menurut data per 25 Maret 2020 yang
dilansir dari peta penyebaran Covid 19 Global
Cases by John Hopkins CSSE ,
corona telah menyebar di 168 negara dengan menelan 18.612 korban meninggal
dunia. Data tersebut diyakini akan sangat cepat berubah, mengingat begitu cepat
dan masifnya persebaran Covid 19.
Masifnya
persebaran corona sendiri membuat WHO menetapkan Covid 19 sebagai pandemi global.
Pandemi global mengandung konsekuensi bahwa negara-negara di dunia harus
melaksanakan standar penanganan dan penanggulangan Covid 19 sebagaimana yang
ditetapkan oleh WHO.
Di
Indonesia sendiri per 25 Maret 2020 total telah ada 790 kasus positif corona
dengan korban jiwa 58 orang dan 31 sembuh. Realitas demikian, menunjukkan
Corona telah menjelma sebagai ancaman bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Corona adalah "musuh" bagi manusia maupun entitas sebuah negara.
Corona
telah membuat 18.612 nyawa manusia melayang, Corona juga melumpuhkan aktivitas
perekonomian yang merupakan sektor utama manusia untuk survive. Perusahaan-perusahaan tidak dapat beroperasi sebagaimana
mestinya, sekolah-sekolah juga terpaksa diliburkan, aktivitas sosial dan olah
raga juga di tunda pelaksanaannya, sektor pariwisata juga lumpuh. Konkretnya,
kini corona telah benar-benar menjadi ancaman serius bagi eksistensi kehidupan
manusia baik secara fisik maupun meteril. Singkatnya, corona harus segera
ditanggulangi dan dibasmi agar kehidupan bumi dan manusia bisa kembali seperti
sedia kala.
Solusi Mengatasi Corona
Di
atas telah penulis jelaskan bahwa corona
telah menjelma sebagai musuh manusia dan negara di seluruh penjuru dunia.
Posisi corona sebagai musuh “dunia” hendaknya dapat membangkitkan dan
mentransmisi energi solidaritas global untuk bekerja sama menanggulangi corona.
Seluruh
negara di dunia harus mengesampingkan segala tendensi politik yang selama ini
menjadi tembok besar bagi terciptanya harmonisitas dunia. Sudah saatnya seluruh
negara di dunia memiliki awareness dan
daya responsifitas untuk bersatu padu guna menanggulangi Corona yang mana merupakam "musuh" bagi eksistensi
kehidupan manusia.
Pertama,
negara-negara harus membangun komunikasi dan koneksifitas beserta
langkah-langkah terintegrasi untuk menanggulangi persebaran virus corona
berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh WHO. Kedua, negara-negara harus membangun semangat solidaritas dan altruisme dalam dimensi
inklusifitas-humanisme. Misalnya dengan memberikan bantuan vaksin, peralatan
medis, pangan, hingga bantuan ekonomi kepada negara-negara yang secara
infrastruktur kesehatan dan ekonominya lemah. Ketiga, setiap negara harus membangun sistem penanganan internal
yang kuat dalam menanggulangi persebaran virus corona sesuai dengan kemampuan
dan sumber daya yang ada. Bisa melalui pendekatan lock down, pendekatan social
distancing (phisic distancing),
atau drive thru.
Pada
prinsipnya, ketiga langkah diatas merupakan treatments
komprehensif yang harus dilakukan oleh negara-negara di dunia agar virus corona dapat segera
dihentikan dan tidak semakin meluas dan semakin mengancam eksistensi kehidupan
manusia.
Sisi Positif Munculnya Virus Corona
Di
balik sisi negatif corona yang ‘berhasil’ membuat 18.612 jiwa melayang dan
melumpuhkan sektor perekonomian yang menjadi soko guru bagi eksistensi
kehidupan manusia. Namun ternyata munculnya virus corona juga memberikan
beberapa sisi positif yang secara langsung maupun tidak langsung dapat kita
rasakan.
Pertama,
munculnya semangat humanisme dan solidaritas global. Virus corona secara tidak
langsung mampu membuat rasa kemanusiaan dan solidaritas antar negara di dunia
menguat. Kini, semua energi dan fokus negara tercurahkan untuk bagaimana segera
menghentikan virus corona. Hal tersebut membuat negara-negara di dunia memiliki
tujuan yang sama di mana hal ini membuat terbangunnya rasa humanisme dan
solidaritas sebagai sesama mahluk dunia.
Kedua,
lahirnya nilai atau tatanan baru. Menurut perspektif sosiologi, setiap bencana
atau konflik akan memberikan efek positif berupa lahirnya nilai atau tatanan
baru. Dalam konteks munculnya virus corona, tatanan atau nilai baru yang lahir
tentunya adalah perihal bagaimana menjaga kesehatan bagi individu maupun
bagaimana negara mempersiapkan insfastruktur kesehatan yang memadai sebagai
langkah preventif maupun represif ketika muncul pandemi virus yang masif.
Ketiga,
keintiman keluarga menjadi terbangun kembali. Terbatasnya aktivitas setiap
orang untuk keluar dari rumah membuat interaksi setiap orang hanya akan
terjalin di rumah dengan keluarganya masing-masing. Keempat, meningkatnya kualitas udara dan lingkungan hidup.
Menurunnya aktivitas warga masyarakat membuat polusi atau pencemaran udara menurun drastis.
Realitas ini seakan menyiratkan makna bahwa dalam sebuah kegetiran (musibah) pasti tersimpan
nilai manfaat pada sisi yang lain.
Langganan:
Postingan (Atom)