Dalam
dimensi teoritik maupun empirik, desa sering dikonotasikan dengan sebuah
ketertinggalan khususnya ketika dikomparasikan dengan kota, baik secara sumber
daya manusia, ekonomi, akses pendidikan, infrastruktur, hingga lifestyle. Dalam konteks pergaulan
publik, bahkan seringkali kata desa dijadikan sebuah bahan satire untuk
menghina atau merendahkan orang lain. Kata-kata satire macam “Dasar orang desa” lazim kita temui terlontar
dari mulut seseorang untuk menghina atau merendahkan orang lain.
Dari
sudut teoritik, komparasi desa dan kota dapat kita temui dalam literature-literature sosiologi
khususnya terkait disiplin sosiologi pedesaan dan sosiologi perkotaan. Dalam
perspektif teoritik telah banyak pendapat dari para ahli sosilogi yang
memberikan definisi perbedaan antara desa dan kota secara paradoks. Misalnya
Max Webber (1966) mengatakan bahwa kota adalah tempat pasar “Market place” sekaligus pusat kegiatan
perekonomian sedangkan desa tentu sebaliknya, menurut Webber desa adalah sebuah
struktur sosial yang masih sederhana namun memiliki kohesi sosial yang kuat. Kemudian,
Poplin (1972) mengatakan bahwa kota adalah pusat pembangunan sebuah negara,
sedangkan desa adalah daerah yang relatif jauh dari kota sehingga seringkali
terpinggirkan oleh pembangunan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
ketimpangan baik secara struktur maupun infrastruktur antara desa dan kota.
Transformasi Desa
Jika
dahulu distingsi antara kemajuan dan ketertinggalan antara desa dan kota baik
secara teoritik maupun empirik begitu kental, namun sejak lahirnya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, setidaknya distingsi tersebut
mulai tereduksi sedikit demi sedikit. Sejak lahirnya Undang-Undang Desa, desa
telah bertransformasi tidak hanya sekadar sebagai obyek pembangunan (yang
dahulu sering di “anak tirikan”) namun juga sebagai subyek dalam pembangunan. Desa
saat ini telah bertransformasi sebagai epicentrum
pembangunan nasional.
Dalam
Undang-Undang Desa, desa diberikan amanat secara yuridis untuk mengelola dana
desa yang bersumber dari APBN untuk mendorong kemajuan dan kesejahteraan desa.
Menurut Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana
Desa, dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi
desa yang ditransfer melalui APBD kota/kabupaten dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Jika di era sebelum reformasi
orientasi pembangunan nasional bersifat sentralistik, kemudian di era setelah
reformasi bersifat otonomi daerah (provinsi dan kabupaten), kini arah orientasi
pembangunan nasional bergerak ke bawah, ke sekup organisasi pemerintahan
terkecil yakni desa melalui alokasi dana desa yang setiap tahun meningkat,
tahun 2015 (20,8 triliun), 2017 (47 triliun), 2018 (60 triliun), 2019 (70
triliun), 2020 (72 triliun).
Secara
praksis, tujuan dari dana desa sendiri terbagi dalam empat frame. Pertama, sebagai
solusi untuk permasalahan ekonomi desa. Seperti pengentasan kemiskinan,
pembukaan lapangan kerja untuk menekan angka pengangguran, dan pemberdayaan
masyarakat desa. Dana desa sejauh ini terbukti efektif dalam mengentaskan kemisknina
masyarakat desa. Berdasarkan data BPS, presentase kemiskinan penduduk desa
saban tahun mengalami penurunan. 2015 (17,94), 2016 (17,67), 2017 (17,10), 2018
(15,81). Dari 2015 hingga 2018 telah berkurang 2,13 juta penduduk miskin di
desa.
Kedua,
sarana untuk pemerataan pembangunan. Membangun Indonesia dari desa adalah
sebuah komitmen pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan. Melalui orientasi
pembangunan bottom to top diharapkan pemerataan ekonomi dan infrastruktur
akan bisa lebih optimal dan efektif. Ketiga,
pembangunan sumber daya manusia. Dana desa berfungsi sebagai sarana untuk
membangun masyarakat desa tidak hanya secara fisik tetapi juga secara non-fisik
yakni membangun kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, kesehatan, hingga
teknologi. Keempat, menahan laju
urbanisasi (pemerataan penduduk). Alokasi dana desa yang terserap optimal dan
produktif akan membuat peningkatan aspek ekonomi-sosial desa sehingga akan mampu
menahan laju urbanisasi oleh masyarakat desa untuk pindah ke kota.
Menurut
Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa,
dana desa merupakan dana yang bersumber dari alokasi APBN yang diperuntukan
kepada desa untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat. Dalam tataran
filosofis dan yuridis dapat kita lihat bahwa Undang-Undang Desa sangat mumpuni
sebagai dasar legitimasi sekaligus sarana stimulasi untuk memajukan dan
mensejahterakan desa. Namun secara praksis implementatif realitasnya tidak
selalu demikian. Jika kita amati seksama, sejak adanya Undang-Undang Desa dan
dana desa, sejujurnya kondisi desa-desa di Indonesia menampilkan dua ekses
fenomena.
Pertama,
munculnya desa yang maju dan sejahtera berkat efektivitas dan optimalisasi dana
desa misalnya Desa Umbul Ponggok di Klaten yang sering menjadi desa
percontohan. Kedua, munculnya desa
yang stagnan, dalam fenomena ini, lahirnya Undang-Undang Desa dan dana desa belum
mampu memberikan dampak konstruktif bagi kemajuan desa, artinya dana desa tidak
dapat teralokasi secara optimal dan tepat sasaran. Jika disimplifikasikan, maka
dapat ditarik benang merah bahwa faktor yang menjadi dasar pembeda dua fenomena
desa diatas adalah faktor optimalisasi dana desa. Optimalisasi berbicara sejauh
mana sebuah desa mampu mengoptimalkan alokasi dana desa untuk membawa perubahan
dan kemajuan.
Problematika Optimalisasi Dana Desa
Optimalisasi
dana desa pada prinsipnya bermakna implementasi alokasi dana desa yang dapat
tersalurkan secara optimal sehingga dapat memberikan dampak yang konstruktif
bagi masyarakat desa. Menurut hemat saya ada dua faktor utama yang menentukan
optimalisasi dana desa. Pertama,
kapasitas dan jejaring. Kedua,
integritas. Kapasitas dan jejaring berbicara mengenai kemampuan pemerintah desa
dalam mengelola dan mengoptimalkan dana desa untuk membawa suatu perubahan yang
konstruktif bagi kondisi sebuah desa. Faktor ini akan berderivasi pada banyak
hal misalnya kemampuan memahami peraturan-perundang-undangan terkait dana desa
secara komprehensif, kemampuan membuat kebijakan, program, visi, dan misi yang
tepat sasaran terkait pengalokasian dana desa, kemampuan memahami birokrasi
terkait pengelolaan dan alokasi dana desa, serta kemampuan membangun jejaring
untuk mengoptimalkan dana desa sebagai sarana untuk memajukan dan
mensejahterakan desa. Kunci pokok di sini adalah tentang kualitas sumber daya
manusia dari stakeholders pemerintah
desa.
Sedangkan
terkait faktor integritas tentunya berkaitan dengan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan dana desa, jika dikonkretisasi, maka faktor
integritas berbicara mengenai ada tidaknya korupsi dana desa. Perlu
diperhatikan bahwa salah satu faktor besar yang menyebabkan tersumbatnya
optimalisasi dana desa adalah karena faktor korupsi yang dilakukan oleh para stakeholders pemerintah desa baik kepala
desa maupun perangkat desa. Menurut data ICW, korupsi dana desa relatif mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015 ada 22 kasus, tahun 2016 ada
48 kasus, tahun 2017 ada 98 kasus, 2018 ada 96 kasus. ICW juga mencatat dari
2015-2018 total ada 214 kepala desa yang tersangkut kasus korupsi. Kasus-kasus
korupsi dana desa sendiri terdiri atas beberapa macam yakni laporan fiktif,
penyalahgunaan anggaran, suap, penggelapan, dan pengglembungan anggaran yang
menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar 107,7 miliar.
Fenomena
korupsi dana desa yang mencemaskan ini hendaknya menjadi bahan introspeksi dan
kontemplasi kita bersama guna segera mencari solusi komprehensif dan sinergis
guna menekan dan meminimalisir korupsi dana desa. Karena selama dana desa
dikorupsi, maka optimalisasi dana desa akan jauh panggang dari api. Yang
artinya terwujudnya kesejahteraan dan kemajuan desa hanya ibarat mengharap
hujan di musim kemarau.
Solusi Optimalisasi Dana Desa
Agar
optimalisasi dana desa dapat berjalan efektif menurut hemat saya ada beberapa
solusi yang harus dilakukan secara integral dan komprehensif. Di atas telah
penulis jelaskan bahwa dua faktor yang berpengaruh terhadap optimalisasi dana
desa adalah faktor kapasitas dan jejaring serta integritas. Maka dari itu,
solusi untuk mengoptimalkan dana desa tentunya akan berkaitan dengan perbaikan
terhadap hal-hal yang berafiliasi dengan faktor kapasitas dan jejaring serta
integritas. Berikut penulis sampaikan beberapa solusinya.
Pertama,
melakukan penguatan atas monitoring dan evaluasi implementasi kebijakan dana
desa, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia kepala desa dan perangkat desa
serta penguatan koordinasi dan konsolidasi dari tingkat pemerintah pusat, daerah,
kecamatan, dan desa. Kedua, sinergi
pengembangan dana desa melalui relasi kemitraan (jejaring) dengan dunia usaha
maupun desa lainnya misalnya pembentukan holding
BUMDes. Ketiga, membangun desa
dengan skala prioritas dan tepat sasaran sebagaimana amanat Permen Desa PDTT
Nomor 16 Tahun 2018. Keempat, internalisasi prinsip good governance dalam tata kelola
pemerintahan desa. Kelima, penguatan
pendampingan dan sinergitas antara pemerintah desa dengan pihak-pihak terkait. Keenam, pencegahan korupsi melalui
kerja sama dengan otoritas bank misalnya dengan membaut kerja sama alokasi dana
desa melalui transaksi non tunai sebagaimana yang dilakukan Desa Sindangjawa
dengan Bank Indonesia.
Ketujuh, keterbukaan
pengelolaan dana desa berbasis IPTEK, misalnya dengan membuat grub media sosial
masyarakat desa. Di sini diharapkan akan terwujud pola relasi yang konstruktif
antara masyarakat desa dan pemerintah desa. Kedelapan, penguataan pengelolaan dana desa secara swakelola. Kesembilan, penguatan monitoring dan
pengawasan eksternal alokasi dana desa oleh masyarakat sipil dan Lembaga
Swadaya Masyarakat. Kesepuluh,
memperkuat penyelenggaraan pemerintahan desa berbasis demokrasi dan musyawarah.
Kesebelas, membangun partisipasi
aktif masyarakat dengan menggerakkan segala sumber daya desa untuk mendukung
pengelolaan dana desa agar terwujud optimalisasi dana desa berdasarkan prinsip check and balance. Keduabelas, penegakan hukum terhadap penyalahguna dana desa harus
dilakukan secara konsekuen sehingga akan menimbulkan efek jera bagi pelaku
serta mencegah orang lain untuk berbuat sama dengan pelaku. Pada prinsipnya dua
belas solusi yang penulis sampaikan ini harus dilakukan secara integral,
komprehensif, dan berkesinambungan dengan semnagat sinergitas agar optimalisasi
dana desa dapat mengejawantah secara efektif dan produktif.
Prioritas Pembangunan Dana Desa
Menurut Permen Desa PDTT Nomor 16 Tahun 2018
Pertama, penggunaan
dana desa diprioritaskan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan di
bidang pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Kedua, penggunaan dana desa harus dapat digunakan untuk membiayai
pelaksanaan program dan kegiatan prioritas yang bersifat lintas bidang. Ketiga, penggunaan dana desa harus
dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat desa berupa
peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan, dan penaggulangan kemiskinan, serta
peningkatan pelayanan publik di desa. Keempat,
penggunaan dana desa tidak hanya pada program yang bersifat pembangunan fisik
saja melainkan juga pembangunan sumber daya manusia yang berada di desa.
Kelima,
penggunaan dana desa harus dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa
seperti pengadaan pembangunan serta pemeliharaan harta, sarana dan
prasarana untuk memenuhi kebutuhan
seperti transportasi, energi, dan beberapa manfaat kebutuhan lainnya. Keenam, dana desa harus dapat
meningkatkan pelayanan publik di desa berupa kegiatan di bidang kesehatan
seperti penyediaan air bersih, dan sanitasi, pemberian makanan tambahan untuk
bayi dan balita, hingga pelatihan pemantauan perkembangan kesehatan ibu hamil
atau ibu menyusui serta kegiatan lainnya. Ketujuh,
penggunaan dana desa seperti program pembangunan sarana olah raga desa serta
peningkatan sumber daya manusia yaitu program kegiatan padat karya termasuk
penanganan masalah kemiskinan dan juga pengangguran di desa dengan menciptakan
lapangan kerja baru harus diputuskan melalui musyawarah desa.
Dana Desa Agen Perubahan Untuk
Kemajuan Indonesia
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang dalam substansinya
mengamanatkan desa sebagai subyek pembangunan melalui alokasi dana desa
sejatinya merupakan sebuah oase harapan akan lahirnya Indonesia baru. Indonesia
yang adil, makmur, sejahtera, dan maslahat. Indonesia yang semakin minim
kesenjangan, kemiskinan, dan ketimpangan sosial. Secara empirik (data), telah terbukti
dana desa dari tahun ke tahun mampu mengikis angka kemiskinan di desa, namun
kedepan tentu diperlukan upaya-upaya konstruktif dan sinergis agar dana desa
benar-benar bisa menjadi agent of change bagi
kemajuan desa maupun kemajuan Indonesia secara umum. Dan hal ini hanya bisa
terwujud jika dana desa sebagai instrumen pembangunan desa bisa tersalurkan
secara optimal dan tepat sasaran.
Secara
ghiroh dan spirit, adanya kebijakan
dana desa adalah sebuah kebijakan yang progresif dan pro terhadap percepatan
dan pemerataan pembangunan. Membangun Indonesia dari desa dengan pendekatan bottom to top merupakan langkah brilian
sebagai instumen untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.
Secara praksis-implementatif ghiroh dan
spirit agung dari dana desa ini hanya bisa terwujud jika ada peran sinergis dan
konstruktif antara semua elemen bangsa. Marilah kita semua elemen bangsa bersinergi,
gotong royong untuk memajukan Indonesia, mendorong kemajuan Indonesia dengan
membangun Indonesia dari bawah, dari desa. Mengapa dari desa ? karena desa
adalah pondasi dan infrastruktur bagi bangsa ini. Jika desa maju dan sejahtera,
maka Indonesia kita tercinta juga pasti maju dan sejahtera.
“Desa
adalah sari pati Indonesia, tempat di mana puluhan juta masyarakat Indonesia
tinggal. Membangun desa berarti membangun ragawi Indonesia. Membangun Indonesia
seutuhnya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar