Minggu, 03 Mei 2020

REFLEKSI HARI KARTINI: PURIFIKASI PERAN PEREMPUAN DALAM KONSTELASI POLITIK INDONESIA



Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 yang isinya menetapkan RA Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia sekaligus menetapkan hari lahirnya RA Kartini, 21 April sebagai hari besar kenegaraan.
Raden Adjeng Kartini lahir di kota Jepara pada tanggal 21 April 1879. Kartini lahir dari golongan ningrat Jawa. Ayahnya merupakan Bupati Jepara bernama R. M. A. A. Sosroningrat sedangkan ibunya bernama M. A. Ngasirah. Karena dari keturunan ningrat, Kartini pun bisa menikmati previlege untuk mengenyam pendidikan di Europese Lagere School (ELS). Di ELS, Kartini belajar membaca dan menulis dalam bahasa Belanda. Sayangnya, seorang perempuan saat itu hanya dapat menikmati pendidikan sampai usia 12 tahun. Setelah menginjak 12 tahun, seorang perempuan termasuk Kartini akan dipingit.
Di saat masa pingit inilah RA Kartini banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan menulis surat. RA kartini melahap habis buku-buku seperti Max Havelar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stile Kraacht karya Louis Coperus, karya-karya roman-feminis karya Goekoop De Jong Van Beek, hingga buku Die Waffen Nieder karya dari Berta Von Suttner. Bacaan-bacaan tersebutlah yang mengisi dan mempengaruhi pola pikir RA Kartini sehingga RA Kartini mampu berpikir progresif dan out of the box melampaui tatanan dan kondisi zaman pada waktu itu. Kartini mendobrak pemikiran kolot yang mendiskreditkan kaum perempuan sebagai kaum “rumahan”. Kartini memperjuangkan kesetaraan hak kaum perempuan agar memiliki peran dan sumbangsih bagi kehidupan keluarga, sosial, hingga politik-pemerintahan sama seperti halnya kaum laki-laki. Bagi Kartini, perempuan sebenarnya memiliki potensi besar untuk turut berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
Perlu diketahui, pada waktu itu masih tertanam dogma yang kuat bahwa kaum perempuan adalah kaum “nomor 2”, kaum yang dianggap lemah dan tidak memiliki peran vital dalam kehidupan sosial maupun keluarga. Budaya patriarkis yang masih kental pada waktu itu membuat perempuan mengalami diskriminasi, hak-hak perempuan sebagai manusia yang bermartabat tidak diberikan. Akibatnya, kesenjangan peran antara kaum perempuan dan kaum laki-laki pun sangat besar. Segala lini dimensi kehidupan dikuasai oleh kaum laki-laki. Kartini sendiri pada prinsipnya menginginkan perempuan memiliki kesetaraan hak sebagai manusia yang bermartabat
Kegelisahan-kegelisahan Kartini kemudian dituangkan dalam aktivitas surat menyuratnya dengan kawannya di Belanda, J.H. Abendanon. Surat-surat Kartini berisikan curahan hati dan pemikirannya mengenai kondisi sosial perempuan pribumi Indonesia. Kartini juga mengeluhkan adat budaya Jawa yang ia pandang sangat bersifat patriarkis sehingga menghambat kemajuan perempuan.
Kartini menuliskan penderitaan perempuan Jawa yang terkungkung oleh adat istiadat hingga membuat kaum perempuan tidak bisa leluasa mengenyam pendidikan, dipingit, dijodohkan dan dinikahkan dengan laki-laki yang kadang tidak dikenal, hingga harus bersedia dimadu (dengan paksaan).
Kartini juga meratapi kondisi buta huruf pada kaum perempuan karena tidak adanya akses pendidikan. Intinya, surat Kartini berisikan tentang hambatan-hambatan yang harus dihadapi oleh kaum perempuan pribumi untuk bisa maju dan memiliki peran strategis. Setelah Kartini meninggal, surat-surat tersebut kemudian dibukukan dengan judul Door Duisternis Tot Licht atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti Habislah Gelap Terbitlah Terang. Buku Habislah Gelap Terbitlah Terang sendiri berhasil menarik perhatian masyarakat Belanda dan pada akhirnya mampu mendorong terbentuknya Yayasan Kartini, Sekolah Van Daventer, dan hingga perubahan mindset dan perubahan peran perempuan dalam konstelasi kehidupan sosial-kenegaraan.
Purifikasi Peran Perempuan dalam Konstelasi Politik Indonesia
Momentum Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April, seharusnya menjadi bahan refleksi bagi kita semua untuk melakukan koreksi dan kontemplasi mengenai sejauh mana cita-cita luhur Kartini bagi kaum perempuan agar memiliki kesetaraan hak dapat terwujud dalam kontekstualisasi zaman sekarang. Dalam aspek pendidikan dan interaksi sosial, secara umum dapat kita nilai bahwa perempuan saat ini relatif memiliki kesetaraan yang sama dengan laki-laki. Hanya saja, dalam ranah konstelasi politik, kesetaraan susbtantif dan peran perempuan terbilang masih cukup minim. Padahal politik merupakan titik krusial dalam kehidupan negara, mengingat politik merupakan ranah pembuatan dan pengambilan kebijakan yang eksesnya akan berdampak luas bagi publik. Oleh karena itu, pelibatan peran dan aspirasi perempuan dalam rangka pembuatan dan pengambilan kebijakan publik menjadi sangat penting demi terwujudnya semangat partisipatif, prinsip kesetaraan, dan secara khusus terkait aspek perlindungan terhadap kaum perempuan.
Indonesia sebagai negara demokrasi pada prinsipnya mengamanatkan adanya persamaan akses dan kesetaraan peran baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan atas dasar prinsip persamaan derajat. Dalam tataran internasional sendiri, telah ada konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang hingga tahun 2019 telah diratifikasi oleh 189 dari 195 negara termasuk Indonesia. Konvensi ini merekomendasikan agar semua negara di dunia memberlakukan kebijakan afirmatif sementara untuk meningkatkan proporsi jumlah perempuan dalam jabatan-jabatan appointif (penunjukkan) maupun elektif (pemilihan umum) pada tataran nasional maupun lokal.
Sejalan dengan hal tersebut, maka kebijakan-kebijakan afirmatif untuk memberikan proporsi peran kepada perempuan dalam konstelasi politik Indonesia pun di buat. Aturan tentang kewajiban kuota 30 % bagi caleg perempuan tertuang di berbagai Undang-Undang yakni Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Selain itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 juga mewajibkan partai politik untuk menyertakan 30 % keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai baik di tingkat daerah maupun nasional. Kuota 30 % sendiri didasarkan pada penelitian PBB bahwa kuota 30 % merupakan jumlah minimum yang memungkinkan terjadinya perubahan dan membawa dampak terhadap kualitas kebijakan publik yang diambil.
Sayangnya, sejak pemilu 2004 kuota 30 % keterwakilan perempuan dalam parlemen tidak pernah tercapai.

Tahun Pemilu
Jumlah Kursi
Presentase
2004
65
11,82 %
2009
101
18 %
2014
97
17,32 %
2019
118
28,8 %
Data: diolah dari berbagai sumber

Data diatas menunjukkan fakta bahwa keterwakilan perempuan dalam konstelasi politik khsususnya parlemen masih sangat rendah. Meskipun terdapat kebijakan afirmatif bagi para partai politik untuk mengakomodir kuota 30 % caleg pada setiap daerah pemilihan namun kuota 30 % keterwakilan perempuan dalam DPR tidak pernah terwujud. Minimnya keterwakilan perempuan dalam parlemen membuat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh parlemen seringkali kontraproduktif dengan aspirasi dan semangat perlindungan terhadap kaum perempuan, contohnya mandeknya proses pengesahaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Padahal pengesahan Rancangan Undang-Undang ini menjadi sangat urgen ditengah maraknya kekerasan seksual terhadap kaum perempuan.
Ada dua hal yang membuat peran perempuan dalam konstelasi politik di Indonesia belum mendapatkan proporsi yang memadai meskipun secara formal telah ada kebijakan-kebijakan afirmatif untuk mendorong peran dan keterwakilan perempuan.
Pertama, kultur patriarki. Meskipun kultur patriarki mengalami penurunan secara signifikan baik secara formal maupun substantif dibandingkan dengan era zaman RA Kartini atau pra kemerdekaan. Namun kultur patriarki tersebut secara empirik masih mengendap dalam paradigma pemikiran sebagian besar masyarakat Indonesia. Pola pikir patriarki menempatkan perempuan dalam posisi inferior dibanding laki-laki. Perempuan dikonotasikan sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang, termasuk politik. Dewasa ini budaya patriarki justru kembali menguat akibat menguatnya gerakan Islam sayap kanan atau Islam fundamentalis yang memperjuangkan aspirasi bahwa pemimpin harus seorang laki-laki. Kelindan antara faktor kultural dan faktor fundamentalisme agama inilah yang menyebabkan patriarkisme tumbuh subur, di mana hal tersebut berimbas pada rendahnya keterwakilan perempuan dalam ranah parlemen, karena mayoritas masyarakat lebih percaya terhadap kapasitas caleg laki-laki dari pada caleg perempuan. Asumsi tersebut berangkat dari paradigma dan pandangan bahwa ranah politik lekat dengan relasi kemandirian dan agresivitas yang umumnya kuyup dengan citra maskulin dari pada citra feminim.
Kedua, rendahnya kepercayaan partai politik. Secara umum kuota keterwakilan 30 % perempuan baik dalam kepengurusan maupun calon legislatif hanya sekadar dijadikan sarana formalitas yakni untuk memenuhi persyaratan formal belaka. Selama ini nyaris tidak pernah ada gaung yang menunjukkan komitmen serius partai politik terhadap pemberdayaan politik terhadap kaum perempuan. Partai politik terlihat kurang memiliki kepercayaan bahwa perempuan mampu menjadi vote getter. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa perempuan memiliki keterbatasan dalam aspek materil dan kemandirian politik.
Solusi
Untuk mengatasi permasalahan keterwakilan perempuan dalam proses pembuatan dan pengambilan kebijakan dalam konstelasi politik khususnya parlemen, maka ada beberapa pendekatan solusi yang dapat dilakukan. Pada prinsipnya, nilai politik formalitas yang sarat dalam proporsi keterwakilan perempuan di dalam konstelasi politik harus dipurifikasi (pemurnian) dengan pendekatan-pendekatan solutif dan integratif dibawah ini guna mendorong terwujudnya nilai substansial dari keterwakilan politik perempuan.
Pertama, tataran high. Harus ada komitmen kuat dan political will dari para partai politik untuk mengubah paradigma mereka dalam meletakkan proporsi dan posisi perempuan, baik dalam ranah kepengurusan maupun ranah kontestasi politik tidak sekadar pada aspek formal (pemenuhan syarat) namun juga pada aspek substantif (pemberdayaan dan trust). Partai politik harus memiliki ghiroh untuk memperjuangkan kesetaraan akses politik secara real terhadap kaum perempuan. Partai politik harus berani keluar dari kotak pandora bernama politik transaksional, maskulinitas, dan materialistis menuju politik partisipatif, egaliter, dan substansial.
Kedua, tataran middle. Menurut Kurniawati Hastuti Dewi dalam bukunya Indonesian Women and Local Politics (2015) mengatakan bahwa agenda mendesak yang harus dilakukan untuk mengakhiri praktik dominasi kaum laki-laki dalam ranah perpolitikan adalah dengan membentuk sebuah gerakan jejaring perempuan secara masif dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Kekuatan jejaring perempuan dan pelibatan berbagai elemen dari masyarakat akan memiliki dampak signifikan dalam merubah paradigma masyarakat maupun institusi politik terhadap citra politik dan kultur patriarki.
Ketiga, tataran low. Diperlukan sebuah awareness bagi masyarakat sipil sebagai subyek sekaligus obyek demokrasi untuk meletakkan dimensi politik elektoral dalam basis keadilan gender. Masyarakat harus mengutamakan indikator berbasis teknis dan kapasitas bukan aspek eksklusifitas dan monopoli gender.
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar