Pada
tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 yang isinya menetapkan RA Kartini sebagai
pahlawan nasional Indonesia sekaligus menetapkan hari lahirnya RA Kartini, 21
April sebagai hari besar kenegaraan.
Raden
Adjeng Kartini lahir di kota Jepara pada tanggal 21 April 1879. Kartini lahir
dari golongan ningrat Jawa. Ayahnya merupakan Bupati Jepara bernama R. M. A. A.
Sosroningrat sedangkan ibunya bernama M. A. Ngasirah. Karena dari keturunan
ningrat, Kartini pun bisa menikmati previlege
untuk mengenyam pendidikan di Europese
Lagere School (ELS). Di ELS, Kartini belajar membaca dan menulis dalam
bahasa Belanda. Sayangnya, seorang perempuan saat itu hanya dapat menikmati
pendidikan sampai usia 12 tahun. Setelah menginjak 12 tahun, seorang perempuan
termasuk Kartini akan dipingit.
Di
saat masa pingit inilah RA Kartini
banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan menulis surat. RA kartini
melahap habis buku-buku seperti Max
Havelar dan Surat-Surat Cinta karya
Multatuli, De Stile Kraacht karya
Louis Coperus, karya-karya roman-feminis karya Goekoop De Jong Van Beek, hingga
buku Die Waffen Nieder karya dari
Berta Von Suttner. Bacaan-bacaan tersebutlah yang mengisi dan mempengaruhi pola
pikir RA Kartini sehingga RA Kartini mampu berpikir progresif dan out of the box melampaui tatanan dan
kondisi zaman pada waktu itu. Kartini mendobrak pemikiran kolot yang mendiskreditkan
kaum perempuan sebagai kaum “rumahan”. Kartini memperjuangkan kesetaraan hak
kaum perempuan agar memiliki peran dan sumbangsih bagi kehidupan keluarga, sosial,
hingga politik-pemerintahan sama seperti halnya kaum laki-laki. Bagi Kartini,
perempuan sebenarnya memiliki potensi besar untuk turut berkontribusi bagi kemajuan
bangsa.
Perlu
diketahui, pada waktu itu masih tertanam dogma yang kuat bahwa kaum perempuan
adalah kaum “nomor 2”, kaum yang dianggap lemah dan tidak memiliki peran vital
dalam kehidupan sosial maupun keluarga. Budaya patriarkis yang masih kental
pada waktu itu membuat perempuan mengalami diskriminasi, hak-hak perempuan
sebagai manusia yang bermartabat tidak diberikan. Akibatnya, kesenjangan peran
antara kaum perempuan dan kaum laki-laki pun sangat besar. Segala lini dimensi
kehidupan dikuasai oleh kaum laki-laki. Kartini sendiri pada prinsipnya menginginkan
perempuan memiliki kesetaraan hak sebagai manusia yang bermartabat
Kegelisahan-kegelisahan
Kartini kemudian dituangkan dalam aktivitas surat menyuratnya dengan kawannya
di Belanda, J.H. Abendanon. Surat-surat Kartini berisikan curahan hati dan
pemikirannya mengenai kondisi sosial perempuan pribumi Indonesia. Kartini juga
mengeluhkan adat budaya Jawa yang ia pandang sangat bersifat patriarkis
sehingga menghambat kemajuan perempuan.
Kartini
menuliskan penderitaan perempuan Jawa yang terkungkung oleh adat istiadat
hingga membuat kaum perempuan tidak bisa leluasa mengenyam pendidikan, dipingit, dijodohkan dan dinikahkan dengan
laki-laki yang kadang tidak dikenal, hingga harus bersedia dimadu (dengan
paksaan).
Kartini
juga meratapi kondisi buta huruf pada kaum perempuan karena tidak adanya akses
pendidikan. Intinya, surat Kartini berisikan tentang hambatan-hambatan yang
harus dihadapi oleh kaum perempuan pribumi untuk bisa maju dan memiliki peran
strategis. Setelah Kartini meninggal, surat-surat tersebut kemudian dibukukan
dengan judul Door Duisternis Tot Licht atau
dalam bahasa Indonesia memiliki arti Habislah
Gelap Terbitlah Terang. Buku Habislah Gelap Terbitlah Terang sendiri berhasil
menarik perhatian masyarakat Belanda dan pada akhirnya mampu mendorong
terbentuknya Yayasan Kartini, Sekolah Van Daventer, dan hingga perubahan mindset dan perubahan peran perempuan
dalam konstelasi kehidupan sosial-kenegaraan.
Purifikasi Peran Perempuan dalam
Konstelasi Politik Indonesia
Momentum
Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April, seharusnya menjadi bahan
refleksi bagi kita semua untuk melakukan koreksi dan kontemplasi mengenai
sejauh mana cita-cita luhur Kartini bagi kaum perempuan agar memiliki
kesetaraan hak dapat terwujud dalam kontekstualisasi zaman sekarang. Dalam
aspek pendidikan dan interaksi sosial, secara umum dapat kita nilai bahwa
perempuan saat ini relatif memiliki kesetaraan yang sama dengan laki-laki.
Hanya saja, dalam ranah konstelasi politik, kesetaraan susbtantif dan peran
perempuan terbilang masih cukup minim. Padahal politik merupakan titik krusial
dalam kehidupan negara, mengingat politik merupakan ranah pembuatan dan
pengambilan kebijakan yang eksesnya akan berdampak luas bagi publik. Oleh
karena itu, pelibatan peran dan aspirasi perempuan dalam rangka pembuatan dan
pengambilan kebijakan publik menjadi sangat penting demi terwujudnya semangat
partisipatif, prinsip kesetaraan, dan secara khusus terkait aspek perlindungan
terhadap kaum perempuan.
Indonesia
sebagai negara demokrasi pada prinsipnya mengamanatkan adanya persamaan akses
dan kesetaraan peran baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan atas dasar
prinsip persamaan derajat. Dalam tataran internasional sendiri, telah ada
konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
kaum perempuan (Convention on The
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang hingga tahun
2019 telah diratifikasi oleh 189 dari 195 negara termasuk Indonesia. Konvensi
ini merekomendasikan agar semua negara di dunia memberlakukan kebijakan
afirmatif sementara untuk meningkatkan proporsi jumlah perempuan dalam jabatan-jabatan
appointif (penunjukkan) maupun elektif (pemilihan umum) pada tataran nasional
maupun lokal.
Sejalan
dengan hal tersebut, maka kebijakan-kebijakan afirmatif untuk memberikan
proporsi peran kepada perempuan dalam konstelasi politik Indonesia pun di buat.
Aturan tentang kewajiban kuota 30 % bagi caleg perempuan tertuang di berbagai
Undang-Undang yakni Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 juga mewajibkan partai politik
untuk menyertakan 30 % keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai baik di
tingkat daerah maupun nasional. Kuota 30 % sendiri didasarkan pada penelitian
PBB bahwa kuota 30 % merupakan jumlah minimum yang memungkinkan terjadinya
perubahan dan membawa dampak terhadap kualitas kebijakan publik yang diambil.
Sayangnya,
sejak pemilu 2004 kuota 30 % keterwakilan perempuan dalam parlemen tidak pernah
tercapai.
Tahun
Pemilu
|
Jumlah
Kursi
|
Presentase
|
2004
|
65
|
11,82 %
|
2009
|
101
|
18 %
|
2014
|
97
|
17,32 %
|
2019
|
118
|
28,8 %
|
Data:
diolah dari berbagai sumber
Data diatas menunjukkan fakta bahwa keterwakilan perempuan dalam konstelasi politik khsususnya parlemen masih sangat rendah. Meskipun terdapat kebijakan afirmatif bagi para partai politik untuk mengakomodir kuota 30 % caleg pada setiap daerah pemilihan namun kuota 30 % keterwakilan perempuan dalam DPR tidak pernah terwujud. Minimnya keterwakilan perempuan dalam parlemen membuat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh parlemen seringkali kontraproduktif dengan aspirasi dan semangat perlindungan terhadap kaum perempuan, contohnya mandeknya proses pengesahaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Padahal pengesahan Rancangan Undang-Undang ini menjadi sangat urgen ditengah maraknya kekerasan seksual terhadap kaum perempuan.
Ada
dua hal yang membuat peran perempuan dalam konstelasi politik di Indonesia
belum mendapatkan proporsi yang memadai meskipun secara formal telah ada
kebijakan-kebijakan afirmatif untuk mendorong peran dan keterwakilan perempuan.
Pertama,
kultur patriarki. Meskipun kultur patriarki mengalami penurunan secara
signifikan baik secara formal maupun substantif dibandingkan dengan era zaman
RA Kartini atau pra kemerdekaan. Namun kultur patriarki tersebut secara empirik
masih mengendap dalam paradigma pemikiran sebagian besar masyarakat Indonesia.
Pola pikir patriarki menempatkan perempuan dalam posisi inferior dibanding
laki-laki. Perempuan dikonotasikan sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi
dan kemandirian di semua bidang, termasuk politik. Dewasa ini budaya patriarki justru
kembali menguat akibat menguatnya gerakan Islam sayap kanan atau Islam
fundamentalis yang memperjuangkan aspirasi bahwa pemimpin harus seorang
laki-laki. Kelindan antara faktor kultural dan faktor fundamentalisme agama inilah yang menyebabkan patriarkisme
tumbuh subur, di mana hal tersebut berimbas pada rendahnya keterwakilan
perempuan dalam ranah parlemen, karena mayoritas masyarakat lebih percaya terhadap
kapasitas caleg laki-laki dari pada caleg perempuan. Asumsi tersebut berangkat dari
paradigma dan pandangan bahwa ranah politik lekat dengan relasi kemandirian dan agresivitas
yang umumnya kuyup dengan citra maskulin dari pada citra feminim.
Kedua,
rendahnya kepercayaan partai politik. Secara umum kuota keterwakilan 30 %
perempuan baik dalam kepengurusan maupun calon legislatif hanya sekadar
dijadikan sarana formalitas yakni untuk memenuhi persyaratan formal belaka.
Selama ini nyaris tidak pernah ada gaung yang menunjukkan komitmen serius
partai politik terhadap pemberdayaan politik terhadap kaum perempuan. Partai
politik terlihat kurang memiliki kepercayaan bahwa perempuan mampu menjadi vote getter. Hal ini berangkat dari
asumsi bahwa perempuan memiliki keterbatasan dalam aspek materil dan
kemandirian politik.
Solusi
Untuk
mengatasi permasalahan keterwakilan perempuan dalam proses pembuatan dan
pengambilan kebijakan dalam konstelasi politik khususnya parlemen, maka ada
beberapa pendekatan solusi yang dapat dilakukan. Pada prinsipnya, nilai politik
formalitas yang sarat dalam proporsi keterwakilan perempuan di dalam konstelasi
politik harus dipurifikasi (pemurnian) dengan pendekatan-pendekatan solutif dan
integratif dibawah ini guna mendorong terwujudnya nilai substansial dari
keterwakilan politik perempuan.
Pertama,
tataran high. Harus ada komitmen kuat
dan political will dari para partai
politik untuk mengubah paradigma mereka dalam meletakkan proporsi dan posisi
perempuan, baik dalam ranah kepengurusan maupun ranah kontestasi politik tidak
sekadar pada aspek formal (pemenuhan syarat) namun juga pada aspek substantif
(pemberdayaan dan trust). Partai
politik harus memiliki ghiroh untuk
memperjuangkan kesetaraan akses politik secara real terhadap kaum perempuan. Partai politik harus berani keluar
dari kotak pandora bernama politik transaksional, maskulinitas, dan
materialistis menuju politik partisipatif, egaliter, dan substansial.
Kedua,
tataran middle. Menurut Kurniawati
Hastuti Dewi dalam bukunya Indonesian
Women and Local Politics (2015) mengatakan bahwa agenda mendesak yang harus
dilakukan untuk mengakhiri praktik dominasi kaum laki-laki dalam ranah
perpolitikan adalah dengan membentuk sebuah gerakan jejaring perempuan secara
masif dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Kekuatan jejaring perempuan
dan pelibatan berbagai elemen dari masyarakat akan memiliki dampak signifikan
dalam merubah paradigma masyarakat maupun institusi politik terhadap citra
politik dan kultur patriarki.
Ketiga,
tataran low. Diperlukan sebuah awareness bagi masyarakat sipil sebagai
subyek sekaligus obyek demokrasi untuk meletakkan dimensi politik elektoral
dalam basis keadilan gender. Masyarakat harus mengutamakan indikator berbasis
teknis dan kapasitas bukan aspek eksklusifitas dan monopoli gender.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar