Senin, 22 Juni 2020

ROBERT RENE ALBERTS, MUNAFRI ARIFUDDIN, DAN KEMBALINYA TARING PSM



Robert Rene Alberts, bukan nama sembarangan dalam kancah persepakbolaan nasional. Gelar liga Indonesia 2009/2010 bersama Singo Edan menjadi bukti kapasitasnya sebagai pelatih jempolan. Pun di kancah Asia Tenggara, Nama Robert Rene Alberts juga cukup disegani. Robert Rene Alberts pernah membawa klub yang dilatihnya menjuarai kompetisi kasta tertinggi di liga Singapura (Home United 1999) dan liga Malaysia (Kedah FA 1993, Sarawak FA 2013). Mampu menjuarai liga Indonesia, liga Singapura, dan Liga Malaysia sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan bagaimana kualitas seorang Robert Rene Alberts sebagai seorang pelatih.
Dengan reputasi dan jejak prestasi Robert yang luar biasa, PSM Makassar pada pertengahan tahun 2016 pun melamar Robert agar bersedia menahkodai pasukan Ramang yang ketika itu tengah limbung selepas ditinggal sang pelatih sekaligus berlabel legenda Juku Eja, Luciano Leandro. Luciano Leandro diberhentikan manajemen PSM, imbas dari rentetan hasil buruk yang harus diterima Juku Eja diawal kompetisi TSC A 2016.
Masuk dipertengahan kompetisi putaran pertama, Roberts Rene Alberts dibebani tugas tidak mudah untuk mengangkat prestasi PSM, yang saat itu tengah terjerembab di papan bawah klasemen. Di sisi lain, Robert mau tidak mau harus mampu memaksimalkan potensi pemain yang ada setidaknya hingga putaran pertama berakhir.
Putaran pertama berakhir, prestasi PSM dibawah kendali Roberts belum menunjukkan peningkatan signifikan. Hal tersebut membuat manajemen PSM dibawah komando Munafri Arifuddin selaku CEO PSM melakukan perombakan besar, baik dengan mencoret pemain yang minim kontribusi maupun dengan melakukan belanja pemain baru.
Akhirnya, memasuki putaran kedua, nama-nama baru pun menghiasi skuad Juku Eja, yang paling krusial tentu pembelian tettanya Samuel, Wiljan Pluim, yang di musim tersebut mengejawantah sebagai roh permainan PSM. Adanya Wiljan Pluim memberi pengaruh besar terhadap hidupnya permainan dan lancarnya aliran bola dari lini tengah ke lini depan. Singkat kata, PSM yang pada putaran pertama akrab dengan papan bawah klasemen akhirnya mampu finish diperingkat 6 kompetisi TSC A 2016. Bahkan, PSM sejujurnya memiliki kesempatan untuk finish diposisi yang lebih baik, seandainya di pekan 33 tidak tumbang melawan Persija Jakarta di Mattoanging. Dan perlu diketahui, sebelum laga melawan Persija tersebut, PSM mampu mencatat 6 kemenangan beruntun, dari pekan 27 hingga pekan 32.
TSC A 2016 sendiri menjadi titik balik prestasi PSM Makassar di kancah persepakbolaan nasional. Selepas kompetisi “tidak resmi” tersebut, reputasi dan prestasi PSM Makassar sebagai salah satu klub raksasa di Indonesia kembali menunjukkan taringnya. Peringkat 3 liga 1 2017, peringkat 2 liga 1 2018, juara piala Indonesia 2019, dan dua kali mentas di kompetisi Piala AFC menunjukkan PSM Makassar telah kembali dari tidur panjangnya sebagai tim besar. Dari raihan prestasi gemilang PSM tersebut, Robert Rene Alberts yang menahkodai PSM selama 2,5 musim (2016-2018) bisa dikatakan merupakan mailstones (peletak pondasi) bagi skuad dan permainan PSM walaupun tidak memberikan gelar apapun.
Perihal prestasi PSM, perlu diketahui, selama rentang musim 2005/2006 hingga 2016, reputasi dan prestasi PSM Makassar pada gelaran kompetisi sepakbola Indonesia sangat jauh dari gambaran sebuah tim besar. Selama rentang waktu tersebut, papan tengah klasemen menjadi langganan skuad Juku Eja (kecuali musim IPL 2011/2012, PSM finish peringkat 3).
Kembalinya taring PSM dalam gelaran kompetisi sepakbola Indonesia sendiri tidak bisa dilepaskan dari 3 aspek. Manajemen bagus, materi pemain dan pelatih mumpuni, serta dukungan masif suporter. Kunci perubahan di tubuh PSM Makassar sendiri diawali oleh masuknya Munafri “cinta tanpa syarat” Arifuddin pada tahun 2016 selepas ditunjuk sebagai CEO oleh pemegang saham PSM. Masuknya APPI mampu memberikan perubahan signifikan terkait kualitas manajerial di tubuh PSM Makassar. Kualitas manajerial yang bagus sendiri akan berimbas pada meningkatnya daya tarik klub di mata pemain, hal tersebut akan memudahkan sebuah klub untuk menggaet pemain-pemain yang memiliki “nama” di Indonesia.
Pada musim 2017, APPI akhirnya berhasil memulangkan dua pemain senior putra daerah sekaliber Hamka Hamzah dan Zulkifli Syukur ke Mattoanging. Alasan dua pemain senior itu kembali pulang relatif juga sama, “sekarang manajemen PSM bagus dan serius” tutur Hamka dan Zulkifli. Keseriusan APPI untuk membuat Juku Eja kembali berkokok lantang bukan isapan jempol belaka. Puncaknya tentu saja, ketika PSM Makassar mampu meraih juara piala Indonesia 2019 sekaligus menghapuskan dahaga juara yang telah tersemat 19 tahun lamanya.
PSM dan seluruh elemennya tentu masih menyimpan asa dan harapan untuk meraih kembali kejayaan hakiki sebagai juara liga, hanya saja, asa dan harapan itu sementara waktu harus tertunda. Entah sampai kapan. Yang pasti, ketika kompetisi telah bergulir kembali, dapat dipastikan daya juang dan totalitas untuk meraih kejayaan dari 3 elemen kunci Juku Eja, manajemen, pelatih dan pemain, serta suporter tidak akan pernah padam. Sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai. Ewako ewaki kuewai !!!!!!.

           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar