Robert
Rene Alberts, bukan nama sembarangan dalam kancah persepakbolaan nasional.
Gelar liga Indonesia 2009/2010 bersama Singo
Edan menjadi bukti kapasitasnya sebagai pelatih jempolan. Pun di kancah
Asia Tenggara, Nama Robert Rene Alberts juga cukup disegani. Robert Rene
Alberts pernah membawa klub yang dilatihnya menjuarai kompetisi kasta tertinggi
di liga Singapura (Home United 1999) dan liga Malaysia (Kedah FA 1993, Sarawak
FA 2013). Mampu menjuarai liga Indonesia, liga Singapura, dan Liga Malaysia
sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan bagaimana kualitas seorang Robert
Rene Alberts sebagai seorang pelatih.
Dengan
reputasi dan jejak prestasi Robert yang luar biasa, PSM Makassar pada
pertengahan tahun 2016 pun melamar Robert agar bersedia menahkodai pasukan
Ramang yang ketika itu tengah limbung selepas ditinggal sang pelatih sekaligus berlabel
legenda Juku Eja, Luciano Leandro.
Luciano Leandro diberhentikan manajemen PSM, imbas dari rentetan hasil buruk
yang harus diterima Juku Eja diawal
kompetisi TSC A 2016.
Masuk
dipertengahan kompetisi putaran pertama, Roberts Rene Alberts dibebani tugas tidak
mudah untuk mengangkat prestasi PSM, yang saat itu tengah terjerembab di papan
bawah klasemen. Di sisi lain, Robert mau tidak mau harus mampu memaksimalkan
potensi pemain yang ada setidaknya hingga putaran pertama berakhir.
Putaran
pertama berakhir, prestasi PSM dibawah kendali Roberts belum menunjukkan
peningkatan signifikan. Hal tersebut membuat manajemen PSM dibawah komando
Munafri Arifuddin selaku CEO PSM melakukan perombakan besar, baik dengan
mencoret pemain yang minim kontribusi maupun dengan melakukan belanja pemain
baru.
Akhirnya,
memasuki putaran kedua, nama-nama baru pun menghiasi skuad Juku Eja, yang paling krusial tentu pembelian tettanya Samuel, Wiljan Pluim, yang di musim tersebut mengejawantah
sebagai roh permainan PSM. Adanya Wiljan Pluim memberi pengaruh besar terhadap
hidupnya permainan dan lancarnya aliran bola dari lini tengah ke lini depan.
Singkat kata, PSM yang pada putaran pertama akrab dengan papan bawah klasemen
akhirnya mampu finish diperingkat 6
kompetisi TSC A 2016. Bahkan, PSM sejujurnya memiliki kesempatan untuk finish diposisi yang lebih baik,
seandainya di pekan 33 tidak tumbang melawan Persija Jakarta di Mattoanging. Dan perlu diketahui,
sebelum laga melawan Persija tersebut, PSM mampu mencatat 6 kemenangan
beruntun, dari pekan 27 hingga pekan 32.
TSC
A 2016 sendiri menjadi titik balik prestasi PSM Makassar di kancah
persepakbolaan nasional. Selepas kompetisi “tidak resmi” tersebut, reputasi dan
prestasi PSM Makassar sebagai salah satu klub raksasa di Indonesia kembali
menunjukkan taringnya. Peringkat 3 liga 1 2017, peringkat 2 liga 1 2018, juara
piala Indonesia 2019, dan dua kali mentas di kompetisi Piala AFC menunjukkan
PSM Makassar telah kembali dari tidur panjangnya sebagai tim besar. Dari raihan
prestasi gemilang PSM tersebut, Robert Rene Alberts yang menahkodai PSM selama
2,5 musim (2016-2018) bisa dikatakan merupakan mailstones (peletak pondasi) bagi skuad dan permainan PSM walaupun
tidak memberikan gelar apapun.
Perihal
prestasi PSM, perlu diketahui, selama rentang musim 2005/2006 hingga 2016,
reputasi dan prestasi PSM Makassar pada gelaran kompetisi sepakbola Indonesia
sangat jauh dari gambaran sebuah tim besar. Selama rentang waktu tersebut,
papan tengah klasemen menjadi langganan skuad Juku Eja (kecuali musim IPL 2011/2012, PSM finish peringkat 3).
Kembalinya
taring PSM dalam gelaran kompetisi sepakbola Indonesia sendiri tidak bisa
dilepaskan dari 3 aspek. Manajemen bagus, materi pemain dan pelatih mumpuni,
serta dukungan masif suporter. Kunci perubahan di tubuh PSM Makassar sendiri
diawali oleh masuknya Munafri “cinta tanpa syarat” Arifuddin pada tahun 2016 selepas
ditunjuk sebagai CEO oleh pemegang saham PSM. Masuknya APPI mampu memberikan
perubahan signifikan terkait kualitas manajerial di tubuh PSM Makassar. Kualitas
manajerial yang bagus sendiri akan berimbas pada meningkatnya daya tarik klub
di mata pemain, hal tersebut akan memudahkan sebuah klub untuk menggaet
pemain-pemain yang memiliki “nama” di Indonesia.
Pada
musim 2017, APPI akhirnya berhasil memulangkan dua pemain senior putra daerah
sekaliber Hamka Hamzah dan Zulkifli Syukur ke Mattoanging. Alasan dua pemain
senior itu kembali pulang relatif juga sama, “sekarang manajemen PSM bagus dan
serius” tutur Hamka dan Zulkifli. Keseriusan APPI untuk membuat Juku Eja kembali berkokok lantang bukan
isapan jempol belaka. Puncaknya tentu saja, ketika PSM Makassar mampu meraih juara
piala Indonesia 2019 sekaligus menghapuskan dahaga juara yang telah tersemat 19
tahun lamanya.
PSM
dan seluruh elemennya tentu masih menyimpan asa dan harapan untuk meraih
kembali kejayaan hakiki sebagai juara liga, hanya saja, asa dan harapan itu sementara
waktu harus tertunda. Entah sampai kapan. Yang pasti, ketika kompetisi telah
bergulir kembali, dapat dipastikan daya juang dan totalitas untuk meraih
kejayaan dari 3 elemen kunci Juku Eja, manajemen,
pelatih dan pemain, serta suporter tidak akan pernah padam. Sekali layar
terkembang pantang biduk surut ke pantai. Ewako ewaki kuewai !!!!!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar