Senin, 22 Juni 2020

URGENSI PENGESAHAN RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL



Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual masih mandek pada tahap pembahasan (pembicaraan) tingkat I. Itu artinya, masih perlu jalan yang “cukup” panjang bagi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Perlu diketahui, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mekanisme atau proses pembuatan suatu Undang-Undang akan melewati beberapa tahapan.
Pertama, tahap perencanaan. Tahap perencanaan peyusunan Undang-Undang dilakukan dalam program legislasi nasional (prolegnas). Prolegnas sendiri merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Penyusunan prolegnas sendiri dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah. Kedua, tahap penyusunan. Tahap penyusunan ini merupakan tindak lanjut dari tahap perencanaan. Pada tahap ini sebuah RUU akan dilengkapi dengan naskah akademik yang merupakan kajian empirik (ilmiah) mengenai permasalahan yang akan menjadi substansi sebuah RUU. Penyusunan RUU bisa berasal dari Pemerintah maupun DPR tergantung dari siapa yang mengajukan.
Ketiga, tahap pembahasan. Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan RUU dilakukan melalui 2 tingkat pembicaraan yakni pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II. Pembicaraan tingkat I merupakan pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisis, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran, atau rapat panitia khusus. Sedangkan pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna DPR. Pembicaraan tingkat I meliputi pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini. Sedangkan pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna.
Keempat, tahap pengesahan. Jika RUU mendapat persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden, maka RUU yang telah disetujui bersama tersebut akan disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.Kelima, tahap pengundangan. Setelah Undang-Undang disahkan oleh Presiden, maka Undang-Undang akan memasuki tahap pengundangan. Pengundangan sendiri merupakan penempatan Undang-Undang dalam lembaran negara Republik Indonesia dan berita negara Republik Indonesia.
Hingga detik ini sendiri, RUU PKS masih memasuki tahap pembahasan pada tahap pembicaraan tingkat I. Pada tanggal 26 September 2019 lalu , Ketua Panitia Kerja RUU PKS, Marwan Dasopang menyebut DPR dan Pemerintah sudah menyepakati pembentukan tim perumus RUU PKS yang akan bertugas untuk melakukan proses sinkronisasi lebih lanjut antara RUU PKS dengan Peraturan Perundang-Undangan lainnya. Sayangnya, hingga detik ini kinerja dari tim perumus RUU PKS tidak diketahui bagaimana kinerja dan kelanjutannya.
Undang-Undang Adalah Produk Politik
Perlu dipahamai bahwa Undang-Undang adalah produk politik mengingat lembaga yang memiliki otoritas konstitusional untuk membuatnya yakni DPR dan Presiden merupakan pihak-pihak yang terpilih dalam proses politik (pemilu) dan juga berafiliasi dengan institusi politik (parpol).
Oleh karena itu, tak mengherankan, jika pembentukan sebuah Undang-Undang tidak lepas dari sengkarut, perdebatan, dan tarik menarik antar kepentingan dalam tiap fase pembentukannya. Begitupun juga dalam proses pembuatan RUU PKS yang tentunya tidak dapat dilepaskan dari sengkarut, perdebatan, dan tarik menarik antar kepentingan dalam proses pembuatannya.
Seidman dan Chamblis dalam teori bekerjanya hukum mengatakan bahwa dalam proses pembuatan suatu aturan hukum (Undang-Undang) tidak akan bisa lepas dari faktor-faktor non-yuridis seperti faktor personal, ekonomi, sosial, dan politis yang bisa menghambat terbentuknya aturan hukum yang substansial dan fungsional. Sejalan dengan hal tersebut, Mahfud MD dalam disertasinya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia secara implisit mengatakan bahwa lahir dan tidak lahirnya sebuah Undang-Undang terkadang tidak berdasarkan pada nilai urgensinya melainkan pada nilai kompromistisnya.
Menurut Mahfud MD, terkadang ada Rancangan Undang-Undang yang substansinya bagus nilai urgensinya tingg namun justru tidak disahkan karena RUU tersebut tidak memiliki nilai impact secara politis atau tidak sejalan dengan kepentingan pembuat Undang-Undang. Inilah yang dikatakan Mahfud MD sebagai sebuah kondisi di mana hukum ditorpedo oleh politik, sehingga membuat nilai urgensi dan kemaslahatan dikesampingkan demi memberi jalan kepada kepentingan oportunis dan impact politis.
Maka tak mengherankan jika selama ini DPR dan Pemerintah seringkali justru nggebet mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang secara substansi, filosofis, dan nilai sosiologisnya rendah, sedangkan Rancangan Undang-Undang yang nilai substansi, filosofis, dan nilai sosiologisnya tinggi justru seringkali “terbengkalai” hanya karena tidak memiliki frame kepentingan sebagaimana yang mereka inginkan. Mungkin (bisa jadi) kondisi inilah yang membuat DPR dan Pemerintah tidak segera mengesahkan RUU PKS menjadi sebuah Undang-Undang.
Nilai Keberlakuan Undang-Undang
Sebuah Undang-Undang akan memiliki nilai urgensi dan fungsional jika Undang-Undang tersebut memiliki tiga nilai keberlakuan Undang-Undang yakni nilai filosofis, nilai yuridis, dan juga nilai sosiologis. Tiga nilai keberlakuan Undang-Undang inilah yang akan menjadi tolok ukur urgensi mengapa RUU harus segera disahkan menjadi Undang-Undang.
Pertama, nilai filosofis. Sebuah Undang-Undang secara filosofis merupakan instrumen bagi negara untuk menginternalisasi dan mempraksiskan prinsip-prinsip abstrak yang tertuang dalam dasar negara yakni Pancasila di satu sisi, sekaligus mewujudkan tujuan-tujuan negara di sisi yang lain. Oleh sebab itu, setiap substansi Undang-Undang idealnya harus mengandung nilai dan norma yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan memungkinkan (stimulatif) terwujudnya tujuan-tujuan negara baik secara kumulatif maupun segmentatif sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan UUD alinea IV yakni: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Secara filosofis, RUU PKS sejujurnya merupakan instrumen yang memiliki koherensi nilai dengan Pancasila khususnya sila pertama, sila kedua, dan sila kelima. RUU PKS juga cukup compatible untuk mewujudkan salah satu tujuan negara yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
Kedua, nilai yuridis. Secara yuridis, sebuah Undang-Undang merupakan instrumen untuk menerjemahkan dan mengelaborasi secara lebih teknis norma-norma yang tertuang dalam hukum dasar atau konstitusi demi terselenggaranya negara hukum Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Sejalan dengan hal tersebut, maka secara yuridis, RUU PKS pada prinsipnya merupakan instrumen hukum yang memiliki nilai kohesifitas dengan norma yang tertuang dalam konstitusi yakni perlindungan hak asasi manusia.
Ketiga, nilai sosiologis. Sebuah Undang-Undang harus mengandung norma yang sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat agar dapat menjadi dasar legitimasi untuk memberikan perlindungan hukum serta mewujudkan ketertiban dalam tatanan kehidupan masyarakat. RUU PKS sejujurnya merupakan oase yang dibutuhkan oleh masyarakat (terutama kaum perempuan) sebagai basis legalitas untuk memberikan perlindungan hukum baik secara preventif maupun represif dari kekerasan seksual. Di bawah ini, akan saya jelaskan secara lebih teknis mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera disahkan menjadi Undang-Undang.
Urgensi Pengesahan RUU PKS
Dikutip dari situs resmi DPR, beberapa substansi pokok dan penting dari RUU PKS adalah mengenai tujuan penghapusan kekerasan seksual yakni untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan korban; menindak pelaku; dan menjamin terlaksananya kewajiban negara, masyarakat, dan korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Kemudian cakupan perbuatan yang tergolong tindak pidana kekerasan seksual juga diperluasa meliputi eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual baik dalam lingkup relasi personal, keluarga, relasi kerja, dan lingkungan publik. Selain itu, ketentuan mengenai hak korban, keluarga korban, dan saksi kekerasan seksual juga diatur secara tegas di dalam Pasal 21 hingga 39 RUU PKS. Berikut akan saya jelaskan urgensi pengesahan RUU PKS berdasarkan realitas sosiologis (empirik) maupun basis yuridis.
Pertama, angka kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat. Berdasarkan data Komnas Perempuan pada 2019 lalu terjadi sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari pada tahun 2018 lalu yang hanya berjumlah 406.178 kasus atau naik sebesar 6 persen. Berikut data lengkap kasus kekerasan terhadap perempuan dalam 7 tahun terakhir.

Tahun

Jumlah kasus kekerasan perempuan

2013

279.688

2014

293.220

2015

321.752

2016

259.150

2017

348.466

2018

406.178

2019

431.471
                        Data: Komnas Perempuan
Selain itu, Komnas Perempuan juga membeberkan data yang mencengangkan yakni meningkatnya kasus kekerasan pada anak perempuan sebanyak 65 % dari pada tahun 2018 ke tahun 2019. Pada tahun 2018 kekerasan pada anak perempuan sebesar 1.417 kasus sedangkan pada 2019 naik menjadi 2.341 kasus. Jenis kekerasan tertinggi yang dialami oleh anak perempuan pada 2019 lalu adalah inses sebesar 770 kasus dan seksual 571 kasus.
Melihat realitas bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang relatif meningkat saban waktu membuat pengesahan RUU PKS untuk menjadi Undang-Undang semakin urgen sebagai payung hukum untuk memberikan perlindungan hukum baik secara preventif, represif, restitutif, dan rehabilitatif terhadap kaum perempuan secara khususnya.
Kedua, penyelesaian kasus kekerasan seksual pada perempuan selama ini tidak memuaskan. Hal ini sebenarnya dipengaruhi oleh watak karakter hukum pidana kita yang masih bersifat konservatif, di mana sanksi pidana diletakkan dalam dimensi retributif atau pembalasan. Dimensi retributif hanya terpaku pada pelaku, asalkan pelaku sudah dipidana setimpal dengan perbuatannya, penyelesaian kasus dianggap sudah memenuhi nilai keadilan. Padahal di sisi lain masih ada kepentingan korban yang perlu diperhatikan. Korban dalam hal ini perempuan tentu masih mengalami kerugian khususnya kerugian fisik dan psikologis (traumatik) jangka panjang. Di sinilah kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual diperlukan guna memberikan perlindungan secara restitutif dan rehabilitatif kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual guna menyembuhkan penderitaan fisik maupun traumatik psikologisnya.
Ketiga, keluarga korban dan saksi kekerasan seksual akan mendapatkan rehabilitasi dari negara. Ketika seorang mengalami kekerasan seksual, pada dasarnya yang merasakan dampak negatif dari kekerasan seksual tersebut tidak hanya korban tetapi juga keluarga korban dan juga orang yang melihat kekerasan seksual (saksi) tersebut. Dalam RUU PKS perlindungan dan pemulihan terhadap keluarga korban kekerasan seksual dan saksi dalam tindak pidana kekerasan seksual akan dijamin oleh negara guna memberikan keadilan substansial dalam penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual. Pendekatan ini merupakan sebuah langkah maju dan progresif.
Keempat, dalam RUU PKS diatur mengenai sinergitas negara, masyarakat, dan korporasi dalam rangka mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual. Hal ini penting, mengingat kekerasan seksual pada prinsipnya dapat terjadi dalam segala tataran sekup kehidupan baik dalam lingkungan keluarga, tempat pekerjaan, hingga lingkungan publik. Oleh karena itu, diperlukan sinergitas seluruh komponen bangsa untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar