Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual masih mandek pada tahap pembahasan
(pembicaraan) tingkat I. Itu artinya, masih perlu jalan yang “cukup” panjang
bagi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Perlu diketahui, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan mekanisme atau proses pembuatan suatu Undang-Undang akan
melewati beberapa tahapan.
Pertama,
tahap perencanaan. Tahap perencanaan peyusunan Undang-Undang dilakukan dalam
program legislasi nasional (prolegnas). Prolegnas sendiri merupakan skala
prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem
hukum nasional. Penyusunan prolegnas sendiri dilaksanakan oleh DPR dan
Pemerintah. Kedua, tahap penyusunan.
Tahap penyusunan ini merupakan tindak lanjut dari tahap perencanaan. Pada tahap
ini sebuah RUU akan dilengkapi dengan naskah akademik yang merupakan kajian
empirik (ilmiah) mengenai permasalahan yang akan menjadi substansi sebuah RUU.
Penyusunan RUU bisa berasal dari Pemerintah maupun DPR tergantung dari siapa
yang mengajukan.
Ketiga, tahap
pembahasan. Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama
Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan RUU dilakukan melalui 2 tingkat
pembicaraan yakni pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II. Pembicaraan
tingkat I merupakan pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi, rapat
gabungan komisis, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran, atau rapat
panitia khusus. Sedangkan pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat
paripurna DPR. Pembicaraan tingkat I meliputi pengantar musyawarah, pembahasan
daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini. Sedangkan
pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna.
Keempat,
tahap pengesahan. Jika RUU mendapat persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden,
maka RUU yang telah disetujui bersama tersebut akan disampaikan oleh pimpinan
DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.Kelima, tahap pengundangan. Setelah Undang-Undang disahkan oleh
Presiden, maka Undang-Undang akan memasuki tahap pengundangan. Pengundangan
sendiri merupakan penempatan Undang-Undang dalam lembaran negara Republik
Indonesia dan berita negara Republik Indonesia.
Hingga
detik ini sendiri, RUU PKS masih memasuki tahap pembahasan pada tahap
pembicaraan tingkat I. Pada tanggal 26 September 2019 lalu , Ketua Panitia
Kerja RUU PKS, Marwan Dasopang menyebut DPR dan Pemerintah sudah menyepakati
pembentukan tim perumus RUU PKS yang akan bertugas untuk melakukan proses
sinkronisasi lebih lanjut antara RUU PKS dengan Peraturan Perundang-Undangan
lainnya. Sayangnya, hingga detik ini kinerja dari tim perumus RUU PKS tidak
diketahui bagaimana kinerja dan kelanjutannya.
Undang-Undang Adalah Produk Politik
Perlu
dipahamai bahwa Undang-Undang adalah produk politik mengingat lembaga yang
memiliki otoritas konstitusional untuk membuatnya yakni DPR dan Presiden merupakan pihak-pihak
yang terpilih dalam proses politik (pemilu) dan juga berafiliasi dengan
institusi politik (parpol).
Oleh
karena itu, tak mengherankan, jika pembentukan sebuah Undang-Undang tidak lepas
dari sengkarut, perdebatan, dan tarik menarik antar kepentingan dalam tiap fase
pembentukannya. Begitupun juga dalam proses pembuatan RUU PKS yang tentunya
tidak dapat dilepaskan dari sengkarut, perdebatan, dan tarik menarik antar
kepentingan dalam proses pembuatannya.
Seidman
dan Chamblis dalam teori bekerjanya hukum mengatakan bahwa dalam proses
pembuatan suatu aturan hukum (Undang-Undang) tidak akan bisa lepas dari
faktor-faktor non-yuridis seperti faktor personal, ekonomi, sosial, dan politis
yang bisa menghambat terbentuknya aturan hukum yang substansial dan fungsional.
Sejalan dengan hal tersebut, Mahfud MD dalam disertasinya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia secara
implisit mengatakan bahwa lahir dan tidak lahirnya sebuah Undang-Undang
terkadang tidak berdasarkan pada nilai urgensinya melainkan pada nilai
kompromistisnya.
Menurut
Mahfud MD, terkadang ada Rancangan Undang-Undang yang substansinya bagus nilai
urgensinya tingg namun justru tidak disahkan karena RUU tersebut tidak memiliki
nilai impact secara politis atau
tidak sejalan dengan kepentingan pembuat Undang-Undang. Inilah yang dikatakan Mahfud
MD sebagai sebuah kondisi di mana hukum ditorpedo oleh politik, sehingga
membuat nilai urgensi dan kemaslahatan dikesampingkan demi memberi jalan kepada
kepentingan oportunis dan impact politis.
Maka
tak mengherankan jika selama ini DPR dan Pemerintah seringkali justru nggebet mengesahkan Rancangan
Undang-Undang yang secara substansi, filosofis, dan nilai sosiologisnya rendah,
sedangkan Rancangan Undang-Undang yang nilai substansi, filosofis, dan nilai
sosiologisnya tinggi justru seringkali “terbengkalai” hanya karena tidak
memiliki frame kepentingan
sebagaimana yang mereka inginkan. Mungkin (bisa jadi) kondisi inilah yang
membuat DPR dan Pemerintah tidak segera mengesahkan RUU PKS menjadi sebuah
Undang-Undang.
Nilai Keberlakuan Undang-Undang
Sebuah
Undang-Undang akan memiliki nilai urgensi dan fungsional jika Undang-Undang
tersebut memiliki tiga nilai keberlakuan Undang-Undang yakni nilai filosofis,
nilai yuridis, dan juga nilai sosiologis. Tiga nilai keberlakuan Undang-Undang
inilah yang akan menjadi tolok ukur urgensi mengapa RUU harus segera disahkan
menjadi Undang-Undang.
Pertama,
nilai filosofis. Sebuah Undang-Undang secara filosofis merupakan instrumen bagi
negara untuk menginternalisasi dan
mempraksiskan prinsip-prinsip abstrak yang tertuang dalam
dasar negara yakni Pancasila di satu sisi, sekaligus mewujudkan
tujuan-tujuan negara di sisi yang lain. Oleh sebab itu, setiap substansi Undang-Undang idealnya harus mengandung nilai
dan norma yang selaras
dengan
nilai-nilai Pancasila dan memungkinkan (stimulatif) terwujudnya
tujuan-tujuan negara baik secara kumulatif maupun segmentatif sebagaimana
diamanatkan oleh pembukaan UUD alinea IV yakni: melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa,
memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Secara
filosofis, RUU PKS sejujurnya merupakan instrumen yang memiliki koherensi nilai
dengan Pancasila khususnya sila pertama, sila kedua, dan sila kelima. RUU PKS
juga cukup compatible untuk
mewujudkan salah satu tujuan negara yakni melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia
Kedua,
nilai yuridis. Secara yuridis, sebuah Undang-Undang merupakan instrumen untuk
menerjemahkan dan mengelaborasi secara lebih teknis norma-norma yang tertuang
dalam hukum dasar atau konstitusi demi terselenggaranya negara hukum Indonesia
yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Sejalan dengan hal
tersebut, maka secara yuridis, RUU PKS pada prinsipnya merupakan instrumen
hukum yang memiliki nilai kohesifitas dengan norma yang tertuang dalam
konstitusi yakni perlindungan hak asasi manusia.
Ketiga,
nilai sosiologis. Sebuah Undang-Undang harus mengandung norma yang sesuai
dengan kebutuhan hukum masyarakat agar dapat menjadi dasar legitimasi untuk
memberikan perlindungan hukum serta mewujudkan ketertiban dalam tatanan
kehidupan masyarakat. RUU PKS sejujurnya merupakan oase yang dibutuhkan oleh
masyarakat (terutama kaum perempuan) sebagai basis legalitas untuk memberikan
perlindungan hukum baik secara preventif maupun represif dari kekerasan
seksual. Di bawah ini, akan saya jelaskan secara lebih teknis mengapa RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera disahkan menjadi Undang-Undang.
Urgensi Pengesahan RUU PKS
Dikutip
dari situs resmi DPR, beberapa substansi pokok dan penting dari RUU PKS adalah
mengenai tujuan penghapusan kekerasan seksual yakni untuk mencegah segala
bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan korban;
menindak pelaku; dan menjamin terlaksananya kewajiban negara, masyarakat, dan
korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Kemudian
cakupan perbuatan yang tergolong tindak pidana kekerasan seksual juga
diperluasa meliputi eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan
kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, dan
penyiksaan seksual baik dalam lingkup relasi personal, keluarga, relasi kerja,
dan lingkungan publik. Selain itu, ketentuan mengenai hak korban, keluarga korban,
dan saksi kekerasan seksual juga diatur secara tegas di dalam Pasal 21 hingga
39 RUU PKS. Berikut akan saya jelaskan urgensi pengesahan RUU PKS berdasarkan
realitas sosiologis (empirik) maupun basis yuridis.
Pertama,
angka kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat. Berdasarkan data Komnas
Perempuan pada 2019 lalu terjadi sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap
perempuan. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari pada tahun 2018 lalu yang
hanya berjumlah 406.178 kasus atau naik sebesar 6 persen. Berikut data lengkap
kasus kekerasan terhadap perempuan dalam 7 tahun terakhir.
Tahun
|
Jumlah kasus kekerasan perempuan
|
2013
|
279.688
|
2014
|
293.220
|
2015
|
321.752
|
2016
|
259.150
|
2017
|
348.466
|
2018
|
406.178
|
2019
|
431.471
|
Data: Komnas Perempuan
Selain
itu, Komnas Perempuan juga membeberkan data yang mencengangkan yakni
meningkatnya kasus kekerasan pada anak perempuan sebanyak 65 % dari pada tahun
2018 ke tahun 2019. Pada tahun 2018 kekerasan pada anak perempuan sebesar 1.417
kasus sedangkan pada 2019 naik menjadi 2.341 kasus. Jenis kekerasan tertinggi
yang dialami oleh anak perempuan pada 2019 lalu adalah inses sebesar 770 kasus
dan seksual 571 kasus.
Melihat
realitas bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang relatif meningkat
saban waktu membuat pengesahan RUU PKS untuk menjadi Undang-Undang semakin
urgen sebagai payung hukum untuk memberikan perlindungan hukum baik secara
preventif, represif, restitutif, dan rehabilitatif terhadap kaum perempuan
secara khususnya.
Kedua,
penyelesaian kasus kekerasan seksual pada perempuan selama ini tidak memuaskan.
Hal ini sebenarnya dipengaruhi oleh watak karakter hukum pidana kita yang masih
bersifat konservatif, di mana sanksi pidana diletakkan dalam dimensi retributif
atau pembalasan. Dimensi retributif hanya terpaku pada pelaku, asalkan pelaku
sudah dipidana setimpal dengan perbuatannya, penyelesaian kasus dianggap sudah
memenuhi nilai keadilan. Padahal di sisi lain masih ada kepentingan korban yang
perlu diperhatikan. Korban dalam hal ini perempuan tentu masih mengalami
kerugian khususnya kerugian fisik dan psikologis (traumatik) jangka panjang. Di
sinilah kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual diperlukan guna
memberikan perlindungan secara restitutif dan rehabilitatif kepada perempuan
yang menjadi korban kekerasan seksual guna menyembuhkan penderitaan fisik
maupun traumatik psikologisnya.
Ketiga,
keluarga korban dan saksi kekerasan seksual akan mendapatkan rehabilitasi dari
negara. Ketika seorang mengalami kekerasan seksual, pada dasarnya yang
merasakan dampak negatif dari kekerasan seksual tersebut tidak hanya korban
tetapi juga keluarga korban dan juga orang yang melihat kekerasan seksual
(saksi) tersebut. Dalam RUU PKS perlindungan dan pemulihan terhadap keluarga korban
kekerasan seksual dan saksi dalam tindak pidana kekerasan seksual akan dijamin
oleh negara guna memberikan keadilan substansial dalam penyelesaian perkara
tindak pidana kekerasan seksual. Pendekatan ini merupakan sebuah langkah maju
dan progresif.
Keempat,
dalam RUU PKS diatur mengenai sinergitas negara, masyarakat, dan korporasi
dalam rangka mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual. Hal ini penting,
mengingat kekerasan seksual pada prinsipnya dapat terjadi dalam segala tataran
sekup kehidupan baik dalam lingkungan keluarga, tempat pekerjaan, hingga
lingkungan publik. Oleh karena itu, diperlukan sinergitas seluruh komponen
bangsa untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar