Senin, 08 Juni 2020

MENINGKATKAN KUALITAS RISET PERGURUAN TINGGI



Perguruan tinggi memiliki tugas tri dharma perguruan tinggi yang meliputi tiga komponen fungsi yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat. Ketiga komponen tersebut merupakan fungsi pokok berdirinya perguruan tinggi. Lebih dari itu, ketiga komponen tersebut juga akan menjadi tolok ukur kualitas dari sebuah perguruan tinggi.

Secara global, kualitas perguruan tinggi di Indonesia relatif masih rendah, buktinya belum ada perguruan tinggi di Indonesia yang mampu menembus peringkat 100 besar perguruan tinggi terbaik di dunia. Menurut rilis QS World University Rankings yang merilis daftar 1000 perguruan tinggi terbaik di dunia pada tahun 2019 lalu, terdapat 9 universitas di Indonesia yang masuk dalam daftar 1000 besar universitas terbaik di dunia. Sayangnya, dari 9 universitas tersebut tidak ada yang mampu menembus peringkat 100 besar. Peringkat tertinggi ditempati oleh Universitas Indonesia yang “hanya” menempati peringkat 296, diikuti oleh UGM pada peringkat 320, dan ITB pada peringkat 331.

Indikator penilaian dari QS World University Rankings sendiri terdiri atas 6 poin sebagaimana tabel berikut.
Indikator penilaian dari QS World University Rankings
Sumber grafik: katadata.co.id
Dari data diatas dapat kita lihat bahwa indikator terendah adalah mengenai jumlah sitasi paper dalam 5 tahun yang bersumber dari scopus yang hanya memiliki nilai 2,4 jauh tertinggal dengan rata-rata skor 10 universitas terbaik di dunia yang memiliki rataan nilai 88,3. Data ini menunjukkan bahwa kualitas riset dari perguruan tinggi kita yang dituangkan dalam paper sangat jauh teringgal secara kualitas dengan perguruan-perguruan tinggi top 10 dunia. Realitas ini tentunya harus menjadi bahan refleksi dan introspeksi bagi perguruan tinggi kita untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas riset, mengingat riset merupakan komponen penting baik dalam konteks fungsi perguruan tinggi maupun dalam fungsi impaact terhadap kemajuan negara.

Urgensi Riset
Riset memiliki fungsi penting bagi perguruan tinggi baik dalam konteks formil maupun material. Dalam konteks formil (formalitas), riset merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas sebuah universitas. Oleh karena itu, sebuah perguruan tinggi tentunya harus memiliki kualitas maupun kuantitas riset yang baik.

Sedangkan dalam konteks material, urgensi riset berafiliasi dengan stimulus bagi kemajuan sebuah bangsa. Di era modern seperti sekarang ini, riset adalah tulang punggung bagi kemajuan sebuah negara. Menurut Yanuar Nugroho dalam artikel Membangun Ekosistem Riset di Indonesia (Kompas, 15/2/2019), riset memiliki 3 fungsi penting bagi negara. Pertama, membuka cakrawala untuk membuka berbagai kemugkinan kemajuan bangsa (progress). Kedua, membangun kualitas kewargaan (citizenry). Ketiga, membangun keadaban publik (public civility).

Sejalan dengan hal tersebut maka kualitas riset pada dasarnya tidak sekadar menentukan kualitas bagi sebuah perguruan tinggi, namun juga memiliki impact bagi kehidupan negara dan masyarakat. Tidak ada universitas maju dan berkualitas tanpa memiliki kualitas riset berkualitas, begitupun juga tidak ada negara maju tanpa memiliki kualitas riset mumpuni. Riset adalah kunci untuk mendorong kualitas hidup manusia dan bernegara yang pada ujungnya adalah produktivitas dan daya saing bangsa (Nelson, 1993).

Problematika
Riset pada dasarnya merupakan sebuah kerangka sistem yang didalamnya terdapat ekosistem yang menunjang bagi berjalannya riset itu sendiri. Ekosistem riset meliputi anggaran dana, sumber daya manusia, kelembagaan, dan birokrasi.

Di Indonesia, keempat ekosistem riset tersebut belum berada pada tataran optimal, hal ini membuat kualitas riset perguruan tinggi di Indonesia pun terhambat. Dalam hal anggaran dana untuk riset, Indonesia masih sangat rendah. Realitas ini dapat kita lihat melalui postur APBN untuk dana riset pada tiga tahun kebelakang yang relatif masih sangat rendah, 2019 Rp. 2,1 triliun, 2018 Rp. 1,84 triliun, dan 2017 Rp. 1,5 triliun. Angka tersebut belum mencapai 1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Presentase tersebut masih jauh dibawah negara-negara Asia dengan riset mumpuni seperti Jepang, Korea, dan China yang mencapai lebih dari 3 persen dari PDB mereka.

Kemudian secara sumber daya manusia, problematika Indonesia terletak pada minimnya kemampuan dosen Indonesia untuk menuangkan hasil penelitian mereka dalam bahasa Inggris atau bahasa resmi PBB. Hal tersebut menjadi problematika tersendiri karena akan menghambat terciptanya jurnal atau paper berkualitas internasional. Kemampuan menulis bahasa internasional menjadi problematika dosen-dosen kita untuk menghasilkan karya penelitian yang berkualitas internasional.

Selanjutnya secara kelembagaan, permasalahan kualitas riset perguruan tinggi di Indonesia adalah karena ego dan gengsi masing-masing perguruan tinggi masih tinggi. Kedepan guna menunjang kualitas dan kuantitas riset perguruan tinggi, kolaborasi riset antar perguruan tinggi harus menjadi kultur akademik.

Terakhir soal birokrasi,birokrasi nan menumpuk yang harus dihadapi oleh seorang dosen membuat intensitas waktu untuk meneliti menjadi berkurang. Kesibukan mengajar dan mengurus hal-hal yang bersifat administratif membuat dosen-dosen di perguruan tinggi kita minim waktu untuk meneliti dan menuangkan hasil penelitiannya. Hal ini akan berdampak negatif bagi kuantitas maupun kualitas hasil penelitian.

Solusi
Pertama, hal pokok tentunya berkaitan dengan political will dari pemerintah bersama DPR untuk meningkkan anggaran riset dalam APBN setidaknya dengan presentase 3 persen dari produk domestik bruto kita. Anggaran yang cukup akan menjadi ekosistem yang memadai bagi peningkatan kualitas riset perguruan tinggi.

Kedua, peningkatan sumber daya manusia yakni para dosen-dosen baik secara kapasitas membuat karya ilmiah maupun penguasaan menulis dengan bahasa internasional. Konkretnya, program-program yang menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia dosen harus masif dilakukan misalnya memperbanyak alokasi beasiswa bagi dosen untuk bisa mengenyam pendidikan S3 di luar negeri atau mengirim para dosen untuk melakukan kursus pendidikan singkat antara 3-6 bulan di perguruan tinggi bonafide dunia. Hal ini penting bagi para dosen untuk meningkatkan kapasitas menghasilkan riset berkualitas mengingat para dosen yang menimba ilmu di perguruan tinggi bonafide dunia tentunya akan dibimbing oleh profesor-profesor yang berpengalaman dalam menelurkan hasil riset berkualitas internasional.

Ketiga, perguruan tinggi-perguruan tinggi hendaknya membangun kultur pendidikan yang progresif dengan melakukan kolaborasi riset antar perguruan tinggi. Hal ini masih cukup jarang dilakukan oleh para dosen lintas perguruan tinggi. Ego dan gengsi yang masif relatif tinggi antar perguruan tinggi membuat kolaborasi riset antar perguruan tinggi masih cukup jarang. Oleh karena itu, kultur seperti ini harus kita rubah, perguruan-perguruan tinggi di Indonesia harus merestorasi mindset aplikatif riset sebagai sarana fungsional-publik. Sarana untuk berkontribusi bagi kemajuan dan kemaslahatan bangsa. Oleh karena itu, kolaborasi riset antar perguruan tinggi bahkan lintas keilmuan harus dibangun sebagai cultural aducation guna meningkatkan kualitas riset perguruan tinggi kita.

Keempat, modifikasi birokrasi. Birokrasi dan urusan administratif nan banyak yang harus dihadapi para dosen memang membuat intensitas waktu mereka untuk melakukan riset yang berkualitas menjadi tereduksi. Sejalan dengan hal tersebut, maka diperlukan perubahan atau modifikasi birokrasi guna menunjang produktifitas dosen dalam meneliti. Misalnya membuat kebijakan sabatical leave bagi para dosen yang telah mengajar 3 tahun berturut-turut untuk mendapatkan cuti bebas mengajar guna melakukan penelitian mendalam selama 1 tahun. Sabatical leave ini bisa dianggarkan oleh para perguruan tinggi sebagai program unggulan untuk meningkatkan kualitas salah satu komponen tri dharma perguruan tinggi yakni penelitian dan pengembangan.

Pada akhirnya, kita semua masyarakat Indonesia berharap perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki tugas tri dharma yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat bisa melaksanakan tugas-tugas fungsionalnya secara optimal untuk mendorong terwujudnya kemajuan peradaban dan kemaslhatan publik dalam hal ini khususnya perihal komponen penelitian dan pengembangan. Kita juga membutuhkan political will yang kuat dari pemerintah dan DPR sebagai pembuat otoritas kebijakan pendidikan untuk selalu mendukung perguruan tinggi dengan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap pengembangan dan peningkatan kualitas riset perguruan tinggi khususnya publikasi ilmiah internasional yang mana sejauh ini Indonesia masih tertinggal sangat jauh dalam tataran global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar