Selasa, 25 Agustus 2020

BIFURKASI NEW NORMAL: ANTARA DIMENSI KESEHATAN DAN DIMENSI EKONOMI DALAM DIAMETRIKAL REPOSISI ATAU REKONSEPTUALISASI

Artikel ditulis pada 23 Juli 2020

Peningkatan kasus positif Covid-19 di Indonesia saban hari menunjukkan trend grafik yang meningkat. Korban jiwa pun berjatuhan. Total hingga tanggal 22 Juli 2020 terdapat 4.239 korban meninggal dunia terkonfirmasi positif virus corona. Dan tidak menutup kemungkinan bahkan terbuka potensi nan lebar korban meninggal akibat Covid-19 akan terus meningkat kedepannya, mengingat tidak adanya tanda-tanda positif grafik penurunan Covid-19 di Indonesia. 

Salah satu causa proxima mengapa kasus positif Covid-19 terus meningkat di Indonesia menurut saya adalah akibat dari gelorifikasi tagline new normal yang belakangan digubyah-gubyah oleh pemerintah. Gelorifikasi jargon new normal sendiri dapat dilihat dari masifisitas dan intensitas informasi serta sosialisasi mengenai new normal dalam ruang publik yang dilakukan oleh pemerintah secara terstruktur dalam segala lini. 

Makna dari new normal sendiri adalah kembalinya rutinitas kehidupan secara normal dengan perubahan lifestyle khususnya penekanan pada budaya dan nilai-nilai hidup sehat (protokol kesehatan) seperti: memakai masker, menjaga jarak (physical distancing), dan rajin mencuci tangan dengan sabun. Secara konseptual, latar belakang dari pada new normal sendiri terdiri atas dua kondisi. 

Pertama, prinsip adaptif dan akomodatif terhadap virus corona. Kita diajak untuk menyadari dan menerima bahwa kita musti terbiasa untuk hidup bersandingan dengan virus corona tentunya dengan pendekatan protokol kesehatan yang ketat. Prinsip ini merupakan derivasi dari realitas maupun penelitian ilmiah bahwa virus corona akan memiliki daya eksistensi waktu nan panjang untuk mangkat dari bumi Indonesia dan dunia. Sehingga, mau tidak mau kita harus mulai menerima kenyataan tanpa kehilangan kewaspadaan (protokol kesehatan) untuk “bercengkrama” dengan virus corona dalam realitas hidup. 

Kedua, prinsip survival ekonomi. Esensi dari pada tagline new normal adalah sebagai titik equilibrium antara prinsip ekonomi dan kesehatan. Ekonomi dan kesehatan merupakan dua entitas hidup yang sama-sama penting, Ekonomi tanpa kesehatan tidak ada guna, sebaliknya kesehatan tanpa ekonomi juga akan rapuh. 

Seyogyanya, memang entitas ekonomi dan entitas kesehatan berada pada relasi yang beriringan dan respirokatif. Nah, dalam masa pandemi Covid-19 ini, pemerintah mencoba membuka tumbuhnya geliat ekonomi melalui era new normal dengan dibarengi diseminasi protokol kesehatan yang ketat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, khususnya ekonomi mikro dan ekonomi makro pada umumnya, namun tanpa mengabaikan pentingnya entitas kesehatan. 

Bifurkasi New Normal 

Dalam masa pandemi Covid-19, negara adalah entitas yang wajib hadir dalam segala kapasitasnya. Dalam konteks pandemi Covid-19, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum yang memiliki relevansi dengan nilai ekonomi-kesejahteraan. 

Negara dalam personifikasi yang lebih konkret tentunya adalah pemerintah. Dalam masa pandemi Covid-19, pemerintah memiliki tanggungjawab yang besar untuk menyelamatkan kondisi jiwa (kesehatan) maupun ekonomi negara. Maka dari itu, pemerintah dituntut untuk lebih bijak, cerdas, dan presisi dalam mengeluarkan kebijakan maupun himbauan terkait dengan pandemi Covid-19. Kembali perihal new normal. Sedari awal, jargon new normal yang digelorifikasi oleh pemerintah sejujurnya banyak mendapatkan kecaman keras dari berbagai pihak. 

Misalnya, Muhamadiyah yang mengecam penerapan new normal oleh pemerintah ditengah meningkatnya grafik Covid-19 di Indonesia. Menurut Muhamadiyah, menerapkan new normal di saat tingginya angka Covid-19 merupakan sebuah langkah kontraproduktif dan gegabah yang sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa manusia Indonesia. Alangkah baiknya, jika pemerintah menerapkan new normal pada saat grafik persebaran Covid-19 melandai. 

Meskipun mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Toh, pemerintah akhirnya tetap kekeuh menerapkan new normal. Dampak sosiologisnya, setelah penerapan new normal, interaksi sosial mulai longgar kembali. Tempat-tempat publik pun mulai ramai. Imbasnya, grafik Covid-19 pun semakin meningkat tajam. Dilansir dari covid19.go.id, hingga tanggal 22 Juli 2020, di Indonesia terkonfirmasi 91.751 positif corona, 50.255 sembuh, dan 4.459 meninggal dunia. 

Hal ini menandakan bahwa ghiroh new normal yang memiliki pijakan konseptual guna menyeimbangkan kepentingan kesehatan dan ekonomi mengalami praktis bifurkasi. Terlihat, kepentingan kesehatan (jiwa) justru mengalami dis-equilibrium dalam relasi respirokalnya dengan kepentingan ekonomi. Sederhananya, kepentingan kesehatan seakan dinomorduakan untuk memberi jalan pada eksistensi kepentingan ekonomi. 

Menurut hemat saya, dari awal pemerintah sebenarnya tidak perlu gubyah-gubyah era new normal mengingat potensi mengalami bifurkasi (penyimpangan dari tujuan yang hendak dicapai) cukup tinggi. Ada tiga alasan saya mengenai hal ini. Pertama, masih meningkatnya grafik Covid-19. Memang ada protokol kesehatan yang rigid dalam pelaksanaan era new normal. Namun ada dua potensi permasalahan di sini. 

Dari segi medis, menerapkan protokol kesehatan tidak serta merta membuat kita aman dari penularan Covid-19. Protokol kesehatan hanya sarana meminimalisir potensi penularan Covid-19. Kemudian dari sisi praktis, banyak masyarakat kita yang abai terhadap protokol kesehatan saat menjalani aktivitas maupun interaksi publik. Inilah permasalahan besarnya. Masyarakat kita relatif kurang disiplin dalam mempraksiskan protokol kesehatan sebagaimana anjuran pemerintah. 

Banyak kita jumpai masyarakat beraktivitas dan lalu-lalang ditempat umum tanpa memakai masker. Hal ini tentunya membuat era new normal seakan membakar padi dalam sekam. Sangat potensial menstimulasi masifisitas persebaran Covid-19. Ibaratnya, tinggal menunggu waktu saja untuk melihat peningkatan persebaran virus corona di Indonesia. Dan realitasnya pun berbicara demikian. 

Kedua, dalam realitas masyarakat yang relatif minim sensitifitas dan belum melek literasi, gubyah-gubyah jargon new normal akan memberikan mindset di kalangan masyarakat bahwa kehidupan sudah kembali normal, padahal ancaman Covid-19 sendiri masih mengintai di mana-mana. Inilah yang berbahaya. Sejujurnya pemerintah bisa lebih cerdas dalam membuat kebijakan atau himbauan terkait penekanan keseimbangan antara entitas ekonomi dan entitas kesehatan dalam masa pandemi Covid-19. Menurut saya, pemerintah cukup mengeluarkan kebijakan relaksasi tanpa perlu menggelorifikasi jargon new normal

Mengapa demikian? Karena kebijakan relaksasi menyentuh aspek substansi secara langsung tanpa menyasar mindset masyarakat. Dengan demikian, aktivitas ekonomi tetap bisa berjalan, sedangkan mindset masyarakat akan bahaya corona juga masih tertanam. Sedangkan apa yang terjadi di era new normal sekarang ini adalah mindset masyarakat terhadap bahaya corona sudah berkurang. Masyarakat relatif kurang waspada dengan bahaya corona. 

Di kota-kota yang berstatus zona merah saja, dapat kita lihat masyarakat tetap membanjiri pusat keramaian publik khususnya di saat akhir pekan. Mungkin masyarakat sudah jenuh. Tetapi, mindset tersebut tentu terbangun karena ada sebab eksternal. Dan sebab eksternal itu adalah gelorifikasi jargon new normal oleh pemerintah. 

Ketiga, penegakan hukum terhadap pelanggar protokol kesehatan yang masih belum efektif. Hal ini berafiliasi dengan susbtansi aturan maupun jumlah sumber daya aparat. Oleh karena itu, protokol kesehatan relatif sering dilanggar oleh masyarakat. Selain itu, common sense yang rendah dari masyarakat terhadap protokol kesehatan membuat pelanggar protokol kesehatan relatif aman dari sanksi sosial. Di mana hal tersebut tentunya berimbas pada tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan. 

Reposisi atau Rekonseptualisasi 

Secara empiris, era new normal turut berkontribusi dalam menaikkan grafik persebaran Covid-19 di Indonesia. Suka tidak suka, demikianlah adanya. Sejalan dengan realitas tersebut, maka jargon new normal seharusnya dikaji dan ditinjau ulang oleh pemerintah baik untuk memperkuat posisi new normal dengan perangkat dan sumber daya yang lebih memadai (reposisi) maupun untuk merubah pendekatan konsep new normal (rekonseptualisasi). 

Jika memilih pendekatan reposisi, maka pemerintah harus memastikan bahwa perangkat dan sumber daya untuk memperkuat praksis new normal telah memadai. Sejauh ini, banyak masyarakat tidak mematuhi protokol kesehatan adalah karena rendahnya keterjangkauan sanksi baik sanksi formal maupun sanksi sosial. Nah, jika pendekatan reposisi yang dipilih oleh pemerintah, maka pemerintah harus menyiapkan regulasi dan infrastruktur yang memadai agar kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan dapat mengejawantah secara real baik dalam ruang privat dan khususnya dalam ruang publik. 

Protokol kesehatan sendiri pada prinsipnya merupakan roh operasional dari keberhasilan pendekatan new normal dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan kepentingan kesehatan. Meskipun sebagaimana saya jelaskan di atas, bahwa protokol kesehatan sendiri tidak serta merta menjamin 100% keselamatan manusia dari terpapar virus corona. 

Di sisi lain, masyarakat dan komunitas-komunitas sosial hendaknya juga memperkuat rules dalam intra-relasi mereka untuk meningkatkan kepatuhan terhadap protokol kesehatan. Jika masyarakat dan komunitas-komunitas sosial mampu membangun sebuah interelasi kepatuhan terhadap protokol kesehatan, maka sanksi sosial akan tumbuh sebagai kanalisator publik untuk meminimalisir ketidakpatuhan individu terhadap protokol kesehatan. 

Menurut Carl I. Fertman, Diane D. Allensworth dalam bukunya yang berjudul Health Promotion Programs: From Theory To Practice (2010) menegaskan bahwa pelibatan komunitas dalam promosi kesehatan sangatlah penting baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, komunitas merupakan sebuah relasi yang terbangun dalam basis keintiman dan keterikatan yang memiliki dimensi imperatif-kategoris untuk menginternalisasi sebuah nilai. Secara eksternal, komunitas memiliki struktural dan jaringan luas yang sangat mumpuni berperan sebagai infrastruktur dan sumber daya untuk menunjang promosi kesehatan.

Selain itu, civil society dan NGO (Non Goverment Organization) hendaknya juga berperan konstruktif baik secara material maupun komunikasi publik guna menunjang kepatuhan masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan. Civil society dan NGO memiliki kekuatan materil dan soliditas-infrastruktur yang dapat dioptimalisasi sebagai stimulan untuk mendukung penanggulangan Covid-19. 

Kemudian, jika pemeritah memilih pendekatan rekonseptualisasi baik dalam konteks istilah maupun secara substansi terhadap new normal, maka pemerintah harus memiliki basis kajian ilmiah baik secara klinis, sosiologis, maupun praktis yang relevan guna meredam persebaran Covid-19 dan sekaligus menyelamatkan kondisi perekonomian negara. 

Pemerintah harus bersinergi dengan sains dan tidak boleh gegabah dalam mengambil langkah. Pemerintah harus mengkaji dan memetakan segala aspek terlebih dahulu secara matang baik dari segi ekonomi, komunikasi, kesehatan, psikologi, dan perangkat hukum agar potensi bifurkasi sebuah kebijakan maupun jargon dapat diminimalisasi. 

Akhir sekali, pada prinsipnya, keberhasilan penanganan pandemi Covid-19 maupun kepatuhan terhadap protokol kesehatan ditentukan oleh pendekatan sains, kemampuan sistem dan solidaritas masyarakat. Oleh sebab itu, mari kita maknai pandemi Covid-19 ini sebagai sarana untuk memperkuat solidaritas dan soliditas common sense kewargaan kita sebagai bangsa yang beradab. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar