Selasa, 25 Agustus 2020

PERAN PENTING KLUB DALAM REFORMASI SEPAK BOLA INDONESIA

Saya kira, kita semua sepakat bahwa dunia balbalan kita harus diperbaiki. Prestasi tim nasional (senior) yang miskin prestasi tentu saja menjadi alasan yang paling rasional dan legitimate sebagai dasar argumentasi mengapa harus dilakukan reformasi (perbaikan) terhadap sepak bola kita. Di saat Thailand, Singapura, Malaysia, dan Vietnam sudah mengenyam nikmatnya menjadi raja Asia Tenggara dengan menggondol juara piala AFF, kita masih sebatas bermimpi. Hanya sekadar menjadi juara Asia Tenggara saja, kita masih belum kesampaian. 

Sungguh ironis, Indonesia sebenarnya memiliki keunggulan dan potensi baik secara teknis maupun non-teknis yang lebih baik dibanding negara-negara di atas. Secara teknis, bakat pemain muda kita melimpah, membentang dari Papua hingga Aceh. Secara non-teknis, fanatisme masyarakat kita akan sepak bola begitu luar biasa. 

Di era sepak bola modern (industri) fanatisme merupakan modal penting sebagai ceruk bisnis yang memiliki interelasi pada aspek survival maupun dimensi progresivitas dari pada entitas sepak bola itu sendiri. Kemudian, mengapa dengan potensi teknis dan non-teknis yang baik, sepak bola kita tidak kunjung maju dan berprestasi? 

Menurut saya, permasalahan dasar sepak bola kita terletak pada aspek pengelolaan dan juga mindset. Secara makro kita bicara induk organisasi (PSSI) dan secara mikro kita bicara mengenai klub. Namun, dalam kesempatan ini, saya ingin membahas spesifik mengenai klub. 

Peran Penting Klub 

Siapa yang sebenarnya memiliki peran krusial dalam rangka reformasi sepak bola kita? Jika pertanyaan tersebut diajukan kepada saya, maka jawaban adalah klub. Mengapa? Karena klub memiliki setidaknya empat peran penting dalam ekosistem sepak bola. 

Pertama, peran struktural-organisatoris, yakni peran re-organisasi atau perubahan dalam tubuh PSSI. Klub memiliki hak suara untuk memilih dan menentukan siapa-siapa yang duduk sebagai pemegang peran di PSSI (ketua dan exco). Selanjutnya, ditangan pemegang peran inilah akan lahir visi dan kebijakan-kebijakan sepak bola kita. 

Oleh karena itu, maju tidaknya sepak bola kita sebenarnya sangat ditentukan dari pemilihan para pemegang peran yang duduk di PSSI. Salah memilih orang, tentu akan mengakibatkan distorsi pengelolaan sepak bola kita secara makro, yang tentu kemudian akan memiliki implikasi terhadap aspek mikro sepak bola kita. 

Pertanyaannya, apakah klub-klub selama ini sudah bijak menggunakan hak suara yang dimilikinya untuk mendorong re-organisasi atau perubahan di tubuh PSSI dengan jalan memilih orang-orang yang memiliki kompetensi, integritas, dan ghiroh untuk memajukan persepakbolaan nasional? Atau malah sebaliknya, klub-klub selama ini hanya memilih orang-orang yang bermodal material dan relasi kekuasaan politis? Sebuah pertanyaan retoris yang tentu sudah bisa Anda jawab sendiri hehehe. 

Kedua, peran integritas kompetisi. Klub adalah subyek kompetisi yang sangat menentukan integritas dari kompetisi itu sendiri. Percayalah, adanya wasit-wasit yang berat sebelah dan curang selama ini ya karena disebabkan oleh adanya klub-klub yang “meminta” baik secara langsung maupun tidak langsung kepada wasit tersebut untuk membantunya. Klub-klub seperti itu hanya berpikir pragmatis bagaimana harus menang tanpa mau belajar bagaimana caranya untuk menang. 

Logisnya, seorang wasit tidak mungkin berat sebelah dan curang jika memang tidak ada permintaan dari pihak yang memiliki kepentingan yakni klub. Jadi, klub-klub hendaknya merestorasi diri (merubah mindset), membangun solidaritas, dan bersinergi untuk menciptakan atmosfer kompetisi secara fair. Klub sebagai subyek kompetisi memiliki peran krusial dalam rangka perbaikan kualitas dan integritas kompetisi. Pada akhirnya, timnas yang berprestasi niscaya lahir dari sebuah kompetisi yang kondusif, profesional, dan berkualitas (fair). 

Ketiga, peran pembinaan pemain. Klub memiliki peran kunci dalam rangka pembinaan pemain, baik pembinaan dalam konteks maintanance pada pemain senior maupun dalam konteks build up kepada para pemain muda atau kelompok umur. Oleh karena itu, semakin profesional dan visioner sebuah klub, maka akan semakin bagus bagi ekosistem sepak bola. 

Klub yang menjunjung tinggi prinsip profesionalisme akan memiliki collateral damage yang positif baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap aspek teknis maupun aspek non-teknis sepak bola. Secara a contrario, ekosistem sepak bola tentu tidak akan berkembang, baik dari sisi prestasi maupun sisi bisnis jika klub tidak merestorasi diri dengan menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme. Selanjutnya, klub yang visioner adalah klub yang memiliki visi kedepan dan desain suistanable yang baik, misalnya dengan memiliki academy pemain di setiap kelompok umur. Dalam hal ini klub memiliki peran untuk mencari, mengembangkan, dan memproduksi pemain-pemain berkualitas dalam konteks regenerasi dan optimalisasi potensi.

Keempat, peran bergaining. Klub sebagai subyek sepak bola maupun subyek kompetisi sebenarnya memiliki posisi daya tawar yang baik dalam rangka mendukung kemajuan sepak bola. Klub harus menggunakan posisi daya tawarnya untuk mendorong bahkan “mengintimidasi” PSSI untuk hal-hal yang bersifat konstruktif bagi kemajuan sepak bola Indonesia. Contohnya, saat ini ketika PSSI berencana menggelar kembali kompetisi ditengah pandemi Covid-19, namun di sisi lain PSSI malah kontraproduktif, karena belum juga memberikan panduan teknis yang jelas dan detail pada klub apabila kompetisi dilanjutkan. 

Klub di sini tentu dirugikan dan harusnya klub mengambil daya tawarnya untuk menekan PSSI agar lebih responsif dan profesional. Selama ini klub-klub di Indonesia saya kira belum memaksimalkan posisi daya tawarnya yang tinggi untuk mendorong perubahan dan meng-guidance PSSI agar selalu on the track

Akhir sekali, keempat peran penting klub inilah yang menjadikan klub sebagai subyek krusial dalam rangka reformasi sepak bola kita. Dan semoga, klub-klub di Indonesia segera menyadarinya. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar