Kamis, 08 Oktober 2020

REFLEKSI ARKEOLOGI: REFLEKSI KEBHINEKAAN BANGSA

Mengenal Arkeologi

Secara etimologis, arkeologi berasal dari bahasa Yunani yakni archaeos yang memiliki arti purbakala dan logos yang memiliki arti ilmu. Jadi, dari sudut pandang etimologis, arkeologi adalah ilmu penghetahuan mengenai purbakala atau ilmu yang mengkaji dan mempelajari kebudayaan manusia masa lalu melalui kajian sistematis atas data bendawi yang ditinggalkan. Kajian sistematis dalam arkeologi meliputi: penemuan, dokumentasi, analisis, dan interpretasi. Berikut beberapa pengertian arkeologi menurut para ahli.

“Arkeologi merupakan suatu disiplin yang mempelajari peristiwa yang tidak disadari dan dibuktikan oleh peninggalan benda-benda yang masih ada, apakah hasil-hasil kekunoan itu produk dari suatu masyarakat dengan menggunakan catatan tertulis atau tanpa tulisan” (Stuart Piggot, 1965). “arkeologi merupakan suatu studi yang sistematik tentang benda-benda kuno sebagai suatu alat untuk merekonstruksi masa lampau” (Grahame Clark, 1960). “arkeologi adalah kajian sistematik mengenai masa lampau yang berasaskan budaya kebendaan guna membongkar, menerangkan, dan mengklasifikasikan peninggalan-peninggalan budaya, menguraikan relasi dan perilaku masyarakat masa silam serta memahami bagaimana masyarakat terbentuk, dan merekonstruksinya kembali” (Paul Bahn).

Setiap ilmu penghetahuan hadir dengan dimensi axiology, begitupun juga dengan arkeologi. Arkeologi sebagai ilmu penghetahuan memiliki dimensi axiology (fungsional) kehidupan maupun bagi entitas arkeologi sebagai ilmu penghetahuan itu sendiri. Secara fungsional, arkeologi memiliki fungsi sebagai basis ilmiah untuk merekonstuksikan sejarah budaya, menelaah relasi perkembangan kehidupan manusia, dan merekonstruksi proses budaya untuk melihat fakta sejarah yang utuh. Konkretnya, arkeologi adalah ilmu penghetahuan yang bertujuan untuk mengenal dan memahami bagaimana budaya terbentuk, bagaimana proses pembudayaan, dan bagaimana jejak historisitas sebuah masyarakat.

Kebhinekaan Adalah Hasil Perjalanan Sejarah

Dalam konteks relasi kebangsaan dan tenun kebhinekaan, arkeologi merupakan ilmu penghetahuan yang memberikan sumbangsih besar dalam menelaah dan merekonstruksi bagaimana sejarah bangsa dan tenun kebhinekaan terbentuk dalam dinamika historis bangsa Indonesia. Dalam tinjauan arkeologi, terbentuknya relasi kebangsaan dan tenun kebhinekaan Indonesia dapat dilacak sejak zaman pra-sejarah melalui sebaran \ber\agam ras yang tinggal di bumi nusantara, seperti: ras Melayu Mongoloid yang terdiri atas proto melayu dan deutro melayu, ras Weddoid, ras Negroid, ras Papua Melanesoid, dan ras Kaukasoid yang pada akhirnya membuat bingkai kebhinekaan dan akulturasi budaya melekat secara integratif dan alamiah dalam bingkai historisitas bangsa Indonesia.

Kelima ras besar di atas kemudian membentuk relasi inklusif, sehingga melahirkan ratusan entis, suku, budaya, bahasa yang tersebar menempati luasnya wilayah nusantara. Sebagai jati diri bangsa, nilai akomodatif kebhinekaan bangsa pertama kali terkristalisasi dalam Pupuh 139 kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular yang berbunyi: “Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” yang memiliki arti substantif sebagai relasi kebersamaan dan sinergitas dalam realitas perbedaan. Serat kebhinekaan ini kemudian terformulasi dalam peristiwa Sumpah Pemuda 1928 dan secara formal tertuang dalam empat pilar kebangsaan: NKRI, Pancasila, Bhinekka Tunggal Ika, dan UUD NRI Tahun 1945.

Dari kajian arkeologi, dapat kita ketahui bahwa dimensi dan relasi kebhinekaan merupakan khasanah dan legacy kebangsaan yang secara historisitas melekat pada bangsa Indonesia sebagai sebuah identitas, jati diri, anugerah alamiah, dan kekayaan budaya yang harus senantiasa kita rawat dan jaga bersama agar mampu tumbuh bestari sebagai basis sosio-kultural dan sosio-kebangsaan untuk mengawal bangsa nan majemuk ini dalam menggapai peradaban yang mudun, adil, harmonis, dan sejahtera.

Refleksi Kebhinekaan Bangsa

Dewasa ini relasi kebhinekaan bangsa mengalami tantangan serius. Segregasi sosial dalam tatanan sosial dan ruang publik tergambar secara nyata. Ikatan kohesi sosial terkoyak. Intorelansi mengemuka dengan jelas dalam beberapa kesempatan. Baik intoleransi politik maupun intoleransi religius-kultural. Menurut Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya Populisme Politik Identitas dan Dinamika Elektoral, meningkatnya intoleransi di Indonesia disebabkan oleh menguatnya politik identitas sebagai efek derivasi dari meningkatnya tren populisme politik dalam wacana politik global.

Politik identitas kemudian mengejawantah sebagai basis bagi tumbuhnya eksklusifitas, intoleransi, bahkan radikalisme yang berbahaya bagi harmoni kebangsaan kita. Politik identitas juga membuat ruang politik substantif semakin jauh panggang dari api. Orang memilih dalam pemilu bukan dilandasi oleh faktor rasional-kapasitas melainkan persamaan identitas. Fanatisme akan identitas membuat ruang inklusif dan semangat toleransi terkikis sedemikian rupa hingga tercipta fragmentasi sosial dalam masyarakat.

Maka dari itu, menjadi sangat penting dewasa ini untuk melakukan refleksi nilai-nilai kebhinekaan dalam dimensi historisitas bangsa untuk direvitalisasi sesuai dengan kebutuhan zaman. Pertama, memperteguh empat pilar kebangsaan secara real dalam praksis perilaku. Pancasila, NKRI, Bhinekka Tunggal Ika, dan UUD NRI Tahun1945 merupakan titik temu dan titik tumpu bagi sinergitas kemajemukan Indonesia. Maka dari itu, nilai-nilai praksis dari empat pilar kebangsaan tersebut harus senantiasa kita transformasi dalam realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kedua, membangun ruang moderasi yang inklusif dan egaliter dalam segala lini. Ruang-ruang diskursus egaliter dan titik temu bagi beragam dimensi perbedaan harus senantiasa ditumbuhkan dalam segala lini. Baik dari level top hingga level grass root. Hal ini akan memiliki implikasi positif dalam menjaga ikatan kohesi sosial dan merawat spirit konvergensi kebangsaan yang kokoh.

Ketiga, membangun keteladanan dan kebajikan sosial secara repetitif. Intensitas keteladanan dan nilai kebajikan sosial harus berjalan secara repetitif tidak sekadar insidentil. Keteladanan dan kebajikan sosial yang berjalan secara repetitif akan mendorong tumbuhnya spirit kolektif-kebangsaan untuk menyemai sinergitas dan harmonisitas kehidupan kebhinekaan yang produktif.

Keempat, memperkuat civil society dalam relasi kewargaan. Hal ini penting sebagai basis tumbuhnya simplisitas dalam realitas kompleksitas perbedaan yang ada. Selain berperan sebagai penyeimbang dalam berjalannya sistem negara. Civil society juga memiliki peran penting dalam rangka me-maintanance orde-orde sosial yang berbeda untuk disatukan sebagai sebuah kekuatan sosial yang integratif dan inklusif.

           

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar