Kamis, 08 Oktober 2020

PILKADA DI TENGAH PANDEMI CORONA

 

Pelaksanaan pilkada serentak pada 9 Desember mendatang mendapatkan respons beragam. Ada yang pro begitupun ada yang kontra. Bahkan, dua ormas keagamaan Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhamadiyah pun turut bersuara. NU dan Muhamadiyah berada di pihak yang kontra terhadap pelaksanaan pilkada serentak Desember mendatang.

NU dan Muhamadiyah beralasan bahwa menggelar pilkada di tengah masifnya penyebaran Covid-19 menanggung resiko yang sangat besar terkait dengan keselamatan nyawa. Baik nyawa pemilih, panitia penyelenggara, hingga peserta. Oleh karena itu, NU dan Muhamadiyah bersikap tegas menyarankan agar pelaksanaan pilkada serentak Desember mendatang lebih baik ditunda terlebih dahulu.

Di sisi lain, pihak yang pro menganggap bahwa pilkada harus tetap digelar meskipun di tengah pandemi Covid-19, agar estafet kepemimpinan daerah tidak tersendat. Ditengah pandemi Covid-19, daerah memerlukan kepemimpinan yang kuat. Artinya, tidak boleh terjadi kekosongan kepemimpinan daerah.

Maka dari itu, pilkada harus tetap dilaksanakan meskipun bayang-bayang corona masih menghantui. Protokol kesehatan yang ketat pun diharapkan mampu menjadi cover agar penyelenggaraan pilkada serentak dapat terminimalisir dari Covid-19.

Berdasarkan dua diskursus tersebut. Menurut hemat saya, pilkada tidak perlu ditunda. Jika pilkada ditunda, maka kepemimpinan daerah akan kosong dan diisi oleh plt (pelaksana tugas) kepala daerah yang tentunya tidak bisa membuat kebijakan-kebijakan strategis. Di sisi lain, peran kepala daerah sendiri sangat vital, terlebih di saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini yang mengharuskan para pemimpin daerah membuat kebijakan-kebijakan strategis guna menanggulangi persebaran Covid-19.

Namun, jika pilkada serentak tetap dilaksanakan secara langsung Desember mendatang juga sangat berbahaya. Grafik persebaran Covid-19 di Indonesia sendiri masih melonjak tajam belum ada tanda penurunan. Oleh karena itu, menggelar pilkada serentak ditengah pandemi Covid-19 yang masih merajalela sangat beresiko terkait keselamatan nyawa rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, menurut saya pilkada harus tetap dilaksanakan, hanya saja mekanisme pemilihannya diganti melalui DPRD. Ini menurut saya adalah solusi paling rasional dan terbaik untuk mengakomodasi keinginan kedua pihak, baik yang pro maupun yang kontra terhadap penyelenggaraan pilkada serentak. Oleh karenanya, presiden harus segera mengambil sikap dengan mengeluarkan Perppu pilkada yang selanjutnya akan mengalami proses diskursus obyektif-politis di DPR untuk menjadi Undang-Undang.

Ada beberapa sisi positif dari mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Pertama, estafet kepemimpinan daerah tidak tersendat. Di tengah pandemi Covid-19, daerah tentunya memerlukan kepemimpinan daerah yang kuat dan legitimate untuk membuat kebijakan-kebijakan yang strategis. Dan hal tersebut tidak akan bisa terjadi seandainya pilkada ditunda. Terlebih, kita tidak bisa memprediksi kapan berakhirnya Covid-19 ini.

Kedua, biaya penyelenggaraan pilkada lebih murah. Menghemat anggaran adalah sebuah hal penting di tengah upaya penanggulangan pandemi Covid-19 yang tentunya memerlukan biaya besar. Nah, jika mekanisme pilkada diganti dari mekanisme langsung oleh rakyat menjadi mekanisme tidak langsung oleh DPRD tentunya akan mengehamat biaya penyelenggaraan pilkada.

Ketiga, resiko penularan Covid-19 lebih kecil. Di tengah ganasnya pandemi Covid-19, penyelenggaraan pilkada secara tidak langsung oleh DPRD tentunya lebih “aman” dari pada menggelar pilkada secara langsung di mana potensi kerumunan rakyat besar terjadi. Dengan merubah hak pilih dari rakyat ke anggota DPRD, maka potensi persebaran Covid-19 lebih bisa dimanage.

Keempat, tetap demokratis-konstitusional. Penyelenggaran pilkada secara tidak langsung oleh DPRD tidak bertentangan dengan nilai demokrasi dan konstitusi. Artinya, meskipun mekanisme pemilihan kepala daerah tidak dilakukan oleh rakyat secara langsung melainkan oleh anggota DPRD, pemilihan tersebut tetap demokratis dan konstitusional.

Kelima, asas solus populi suprema lex esto yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Penyelenggaraan pilkada secara tidak langsung di tengah pandemi Covid-19 menurut saya merupakan pilihan paling bijak, baik dari sisi keberlanjutan kepemimpinan daerah maupun dari sisi keselamatan rakyat. Nah, keselamatan rakyat sendiri merupakan asas yang tertinggi dari pada penyelenggaraan negara. Maka, tidak boleh ada hal-hal yang kontraproduktif dengan asas fundamental tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar