Kamis, 08 Oktober 2020

PILKADA DAN NETRALITAS ASN

 

Di tengah pandemi corona yang saban hari terus menunjukkan tren grafik yang meningkat. Bulan Desember nanti akan digelar pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah. Dengan rincian, 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikota. Pelaksanaan pilkada serentak ditengah pandemi corona tentunya memiliki efek implikasi yang berbeda dengan kondisi normal, baik dalam konteks rules teknis pelaksanaannya maupun dalam konteks potensi kondisional (bahaya) terciptanya klaster baru persebaran Covid-19.

Dalam pelaksanaan pilkada serentak mendatang, ada dua hal krusial yang musti diperhatikan oleh stakeholders pilkada. Pertama, soal pemenuhan hak pilih. Kedua, soal keselamatan jiwa pemilih. Dua hal ini merupakan unsur penting yang harus mendapatkan atensi khusus agar pilkada serentak mendatang tetap dapat berjalan demokratis dan kondusif di tengah pandemi corona yang sedang melanda.

Selain ancaman bahaya Covid-19, pelaksanaan pilkada serentak Desember mendatang juga dibayangi oleh problematika laten terkait netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Sudah menjadi rahasia umum, bahwa setiap pelaksanaan pilkada selalu dibayangi dengan situasi nir-netralitas para ASN. Banyak ASN di daerah yang terlibat dalam politik partisan dengan jalan mendukung dan memihak kepada salah satu paslon kontestan pilkada.

Menurut peraturan perundang-undangan, ASN sebagai bagian dari eksekutif-birokratis dilarang terlibat dalam aktivitas politik praktis. Hal ini tegas tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan surat edaran kementrian terkait seperti, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, PP Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, Perbawaslu Nomor 14 Tahun 2017, SE Komisi ASN Nomor B-2900/KASN/11/2017, dan Surat Menpan-RB Nomor B/71/m.sm.00.00/2017.

Implikasi Nir-netralitas ASN

Menurut data dari Komisi ASN per 31 Juli 2020 tercatat ada 456 laporan terkait dugaan pelanggaran netralitas ASN dalam pilkada 2020. Dari 456 laporan tersebut, 27,6 % adalah Jabatan Pimpinan Tinggi, 25,4 % Jabatan Fungsional, 14,3 % Administrator, 12,7 % Pelaksana, dan 9 % Camat dan Lurah. Hingga 31 Juli 2020, 456 ASN terlapor terkait dugaan pelanggaran netralitas pilkada 2020, 344 di antaranya telah mendapat rekomendasi Komisi ASN dan sebanyak 189 ASN telah ditindaklanjuti oleh PPK dengan penjatuhan sanksi.

Realitas demikian menunjukkan bahwa netralitas ASN dalam pilkada adalah sebuah problematika laten bagi iklim demokrasi dan entitas birokrasi kita sejauh ini. Lemahnya pengawasan, sanksi yang rendah, dan kultur politik partisan yang mengakar kuat merupakan tiga penyakit akut yang menyebabkan keberpihakan ASN dalam pilkada selalu terjadi.

Fenomena nir-netralitas ASN dalam pilkada juga dapat dijelaskan dalam bingkai relasi simbiosis mutualisme antara ASN dengan calon kontestan pilkada. ASN membutuhkan previlege untuk mendapatkan kenaikan jabatan (jika kontestan pilkada yang didukung terpilih), sedangkan calon kontestan pilkada membutuhkan ASN sebagai mesin politik untuk mendulang suara.

ASN sendiri memiliki posisi yang cukup strategis guna berperan sebagai mesin politik dalam pemenangan pilkada. ASN memiliki jaringan struktural, kewenangan birokratis, dan alokasi sumber daya yang sangat potensial untuk dialokasikan guna mendulang suara.

Nir-netralitas ASN dalam pilkada sendiri memiliki beberapa implikasi negatif. Pertama, membangun ruang demokrasi yang tidak kondusif dan tidak produktif. Demokrasi mengejawantah sebagai ruang transaksional dan oportunis. Sekadar sarana mendapatkan kekuasan semata. Baik bagi ASN (naik jabatan) maupun bagi kontestan pilkada (terpilih).

Kedua, berpotensi mengganggu kondusifitas pemerintahan daerah. Ketidaknetralan para ASN dalam pilkada berpotensi membuat terjadinya friksi politis antar ASN yang berbeda pilihan. Segregasi relasi antar ASN yang berbeda pilihan cukup potensial membuat nir-kondusifitas dalam berjalannya roda pemerintahan daerah.

Ketiga, mengurangi kualitas birokrasi dan pelayanan publik. Ketidaknetralan ASN berpotensi membuat penempatan jabatan-jabatan strategis ASN daerah selepas pilkada sarat akan kepentingan klientisme bukan meritokrasi (kompetensi). Hal ini akan berimplikasi pada berkurangnya kualitas birokrasi dan pelayanan publik serta rendahnya penerapan prinsip good governance dalam jalannya roda pemerintahan daerah.

Keempat, berpotensi menyebabkan terjadinya korupsi. Keberpihakan ASN kepada paslon kontestan pilkada berpotensi membuka celah terjadinya korupsi melalui penggunaan uang maupun fasilitas negara untuk kepentingan politik praktis.

Solusi

Mengingat urgensi dari netralitas ASN dalam pilkada yang sangat penting, maka ketidaknetralan ASN dalam kontestasi politik daerah harus dikanalisasi atau diminimalisir dengan pendekatan-pendekatan sinergis dan efektif.

Pertama, memperkuat pengawasan terhadap ASN terkait netralitas dalam pilkada. Hal ini saya kira menjadi tanggung jawab melekat dari atasan masing-masing institusi ASN. Selain itu, para ASN juga harus responsif dan protektif terhadap atasannya apabila atasannya diduga kuat melakukan tindakan ketidaknetralan dalam pilkada. Artinya, harus terbangun relasi check and balance yang respirokatif dalam kultur ASN dalam dimensi vertikal antara atasan dan bawahan.

Kedua, membangun daya sensitifitas dan responsibilitas masyarakat untuk mengawal netralitas ASN dalam pilkada. Konkretnya, jika masyarakat menemui ASN yang tidak netral dalam pilkada, maka masyarakat dapat melapor kepada pihak yang berwenang. 

Ketiga, memperkuat dan mempertegas sanksi terhadap ASN yang terbukti tidak netral dalam pilkada. Hal ini penting sebagai sarana preventif untuk membangun common sense dan tanggung jawab moral para ASN agar profesional dan menghindari politik partisan.

Keempat, solusi terakhir yang menurut saya efektif dalam rangka membatasi dan meminimalisir terkait ketidaknetralan ASN dalam pilkada adalah dengan mencabut hak pilih ASN dalam pilkada. Terkait hal ini tentunya dibutuhkan revisi terhadap beberapa Undang-Undang terkait, misalnya UU ASN dan UU Pilkada.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar