Sabtu, 31 Oktober 2020

DETERMINASI HUKUM DAN REFLEKSI PENANGKAPAN DJOKO TJANDRA

Dalam bukunya yang berjudul Why The Haves Come Out Ahead: The Classic Essay and New Observations Marc Galanter mengatakan “the haves always come out ahead”. Yang artinya pihak yang memiliki kemampuan materil akan selalu keluar sebagai pemenang. Dalam dimensi apapun. Mengapa bisa demikian? Karena ruang sosial dan sistem formal negara amat rentan dengan gurat-gurat manipulatif dan transaksional. Selalu terbuka ruang bagi relasi supply and demand. Lemahnya penegakan hukum dan rendahnya integritas merupakan causa proxima yang membuat kondisi demikian dapat terjadi.

Kondisi demikian pula yang nampak dalam dunia hukum kita. Determinasi materil terhadap hukum seringkali nampak secara vulgar. Hukum terlihat begitu tajam ke bawah (poor) namun tumpul ke atas (heaves). Terhadap orang miskin, hukum menjelma sebagai entitas yang sangat represif, sedangkan terhadap orang kaya, hukum menjelma sebagai entitas yang akomodatif dan protektif.

Kasus Djoko Tjandra merupakan contoh paling relevan untuk merefleksikan bagaimana determinasi materil terhadap hukum terjadi. Dengan kapasitas materilnya, Djoko Tjandra mampu mendapatkan previlege dan back-up dari oknum penegak hukum sehingga bisa “bersembunyi” dengan nyaman selama 11 tahun ini. Di sini dapat kita lihat bagaimana hukum menjelma sebagai entitas yang akomodatif dan protektif bagi Djoko Tjandra yang notabene memiliki modal materil. Modal yang kemudian digunakan untuk mendapatkan previlege dan back-up dari oknum penegak hukum.

Secara konstitusional, benar bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi logis sebagai negara hukum, maka hukum harus supreme. Hukum harus memiliki supremasi dalam penyelenggaraan kehidupan negara. Tidak boleh ada kekuatan-kekuatan diluar hukum (ekonomi, politik, sosial) yang menginferiorkan hukum. Karena begitu hukum inferior, maka idealitas relasi dan struktur sosial maupun tujuan-tujuan esensial dari hukum tidak akan bisa tercapai.

Dalam konsep teori struktural fungsional sebagaimana dikemukakan oleh Tallcot Parsons, hukum (sub-sistem sosial) sendiri memiliki fungsi integrasi. Fungsi untuk me-manage agar ruang sosial yang penuh dengan kelindan kepentingan tidak terjadi chaos yang membuat goals individu maupun tujuan kolektif tidak tercapai. Nah, untuk mewujudkan idealitas relasi dan struktur sosial maupun mencapai tujuan-tujuan esensial dari hukum, maka hukum harus memiliki supremasi, tidak hanya secara formal-konstitusional (das sollen) namun juga secara empirik-sosiologis (das sein).

Sayangnya, secara emipirik-sosiologis, determinasi terhadap hukum seringkali nampak dengan telanjang tanpa malu-malu. Inilah yang membuat idealitas relasi dan struktur sosial maupun tujuan-tujuan esensial dari hukum (keadilan substantif) sulit mengejawantah dalam tertib penyelenggaraan kehidupan negara ini.

Determinasi Terhadap Hukum

Secara teoritis, potensi determinasi terhadap hukum memang sudah banyak dijelaskan. Ada banyak teori yang menjelaskan terkait hal tersebut. Misalnya teori bekerjanya hukum yang dikemukakan oleh Chambliss dan Robert B. Seidman. Menurut Chambliss dan Robert B. Seidman, dalam proses bekerjanya hukum tidak akan bisa lepas dari faktor-faktor sosial dan personal yang dapat menghambat terwujudnya idealitas dalam proses bekerjanya hukum.

Kemudian dalam disiplin politik hukum yang menjelaskan bingkai hubungan antara politik dan hukum. Banyak kajian-kajian ilmiah terkait bidang politik hukum mendiseminasikan bahwa secara empirik, politik merupakan entitas yang seringkali mendeterminasi hukum sehingga hukum tidak bisa berperan secara optimal. Dalam realitasnya, determinasi politik terhadap hukum merupakan sebuah hal yang lumrah mengingat hukum adalah produk politik yang tidak bisa terlepas dari tendensi-tendensi politik.

Determinasi terhadap hukum juga muncul dari dimensi ekonomi (materil). Praksis determinasi ekonomi terhadap hukum dapa mengejawantah dalam berbagai hal. Misalnya: pembelian Pasal ketika pembuatan Undang-Undang yang mengatur bidang tertentu, back-up aparat, kongkalikong dalam proses peradilan, hingga previlege-previlege sebagai narapidana.

Pada hakikatnya, determinasi dimensi non-hukum terhadap hukum, membuat hukum sendiri tidak bisa berperan secara optimal baik dalam kapasitasnya sebagai social order (sarana ketertiban sosial) maupun social enginering (sarana perubahan masyarakat).

Makna Penangkapan Djoko Tjandra

Setelah buron selama 11 tahun, terpidana kasus pengalihan utang (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra akhirnya berhasil ditangkap oleh penyidik Bareskrim Polri di Malaysia pada Kamis (30/7/2020) lalu. Tertangkapnya buron kelas kakap ini seakan memberikan angin segar bagi dimensi penegakan hukum kita.

Akhir drama 11 tahun buronnya Djoko Tjandra sendiri memiliki beberapa makna penting. Pertama, hal ini menunjukkan negara tidak kalah dengan para white collar crime. Negara menunjukkan kemauan dan keseriusannya untuk menangkap Djoko Tjandra yang telah buron 11 tahun lamanya.

Kedua, hal ini merupakan momentum untuk memperbaiki citra Polri di mata masyarakat. Sebelum tertangkapnya Djoko Tjandra, rasa trust masyarakat terhadap kinerja Polri dalam mengungkap dan menangkap Djoko Tjandra memang sempat rusak. Nah, momentum ini harusnya menjadi refleksi bagi Polri untuk memperbaiki citra dan menumbuhkan kembali rasa kepercayaan masyarakat.

Ketiga, tertangkapnya Djoko Tjandra adalah langkah kunci untuk membuka siapa-siapa saja yang terlibat dalam “pengamanan” Djoko Tjandra sehingga bisa “bersembunyi” dengan aman selama 11 tahun ini. Konkretnya, penegakan hukum terhadap oknum-oknum penegak hukum baik dari Kejaksaan, Kepolisian, institusi penegak hukum lain, maupun pihak lain yang terlibat dalam back-up Djoko Tjandra (sepanjang memenuhi unsur pidana) harus dilakukan secara transparan dan konsekuen.

Keempat, tertangkapnya Djoko Tjandra merupakan jembatan emas yang memantik motivasi dan keyakinan internal dalam tubuh Polri untuk menangkap 38 orang buron kasus korupsi yang belum tertangkap. Hal ini juga momentum untuk melakukan proses penegakan hukum terhadap Djoko Tjandra terkait potensi pidana baru. Pemalsuan surat dan penyuapan.

Kelima, hal ini merupakan momentum pematahan determinasi ekonomi (materil) terhadap hukum. Hukum harus kembali supreme sebagai garda untuk menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Penangkapan Djoko Tjandra yang berstatus terpidana buron harus bisa menjelma sebagai prevensi general maupun prevensi khusus agar tidak kembali terjadi kasus-kasus seperti demikian di kemudian hari.

           

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar