Congkak persada usang damba
Terurai lugas terbenam lembah sesal
Bengis waktu menyimpan hikmah
Mengurai arti jejal langkah
Renung tangis usap memorabilia
Menghayati rahasia ilahi
Meraba pinta semesta
Begitu sempurna takdirNYA
Saya pribadi yang menyukai tantangan dan espektasi dengan standar yang tinggi (karir dan pencapaian), saya selalu berhasrat sampai pada puncak. Hal tersebut menjadi stimulan yang mendorong saya memiliki gairah membara dan motivasi yang tinggi dalam menjalani hidup. Hidup tanpa tantangan dan mimpi yang tinggi bagai seekor burung tanpa sayap. Satu hal lagi: Istri dan keluarga adalah segalanya dalam hidup saya.
Congkak persada usang damba
Terurai lugas terbenam lembah sesal
Bengis waktu menyimpan hikmah
Mengurai arti jejal langkah
Renung tangis usap memorabilia
Menghayati rahasia ilahi
Meraba pinta semesta
Begitu sempurna takdirNYA
Qasidah rindu membasuh palung hati
Cinta membumi sanubari
Relief bungah aliri deru nafas
Bersamamu menjalin kasih
Kuyup dengan bunga asmara
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Tidak ada wujud hambaNYA seindah dirimu
Kilau mu seperti la peregrina
Indah mu semahsyur alexandrite
Lekat luhur pesona
Menjamah gersang hati
Mengisi kosong jiwa
Menebas sakau gelisah
Perih hanyut bersama harapan
Simulakra semesta bernubuat
Bait-bait doa melayang bumantara
Kamulah surga ku
Camorra menebar gentar penjuru Naples
Baobab menyemai keindahan Madagaskar
Yerba matte membiat lidah latino
Fana dunia terselip romantika abadi
Meleburkan bias fatamorgana
Semantik kisah harum mewangi
Restu bumi mengikat jiwa kita
Memasung rasa
Menyatukan dua raga
Hingga lebur debu berkalang tanah
Langit jingga cerah membisu
Seraut wajah ayu menjerat jiwa
Sorot mata meluluhkan hati
Mendekap lamunan sunyi
Meresap denyut nadi
Mengakar relung sukma
Tertambat sudah raga ini
Resah telah sirna
Purnama menapak singgasana
Kelip bintang semakin redup
Gegas menuju peraduan
Semilir hening menyapa gundah
Kecup mesra daku dalam doa
Sebelum kau terlelap
Riak rindu menggelora
Seutas asa terendap lirih
Bayang mu terlukis nanar
Seteguk caipirinha meredam gelisah
Peluk hangat aku dalam picisan
Sebelum kau terlelap
Cinta tak selalu semanis gula demerara
Sesekali perlu segetir kopi robusta
Yang suci tidak pernah memudar
Terus mengalir seluas samudera
Yang suci tidak akan berkhianat
Menunggal terpatri melebur karsa
Yang suci tidak mungkin lapuk
Semakin mahal bak chateau lafite
Suci ku teruntuk yang mempesona
Sabda buana mengalun nirmala
Selamanya
Mukadimah perjumpaan memahat candu
Permadani rasa setinggi adiwarna
Abadi melekat bestari sukma
Laras hati menitih asmara
Bercumbu dalam desah harap
Gradasi perbedaan bukan penghalang
Ikatan sakral mengeja takdir kuasa
Dua jiwa membangun harmoni
Risalah hati
Getaran rasa menjamah relung jiwa
Paras ayu dalam balutan keanggunan
Pesona elok memikat maji
Bersemayam abadi
Bak bara api ateshgah
Risalah hati
Raga letih menggigil rindu
Angan bersandar lirih menanti waktu
Memadu kasih, menjalin kisah
Maut memisah, bukan epitaf
P: Pradikta Andi Alvat, apa kelebihan Anda sebagai sebuah pribadi?
S: orang yang memiliki mimpi yang tinggi pasti juga memiliki usaha yang tinggi, namun belum tentu dibarengi dengan mentalitas yang tinggi. Satu kegagalan besar bisa membuat dia down dan gagal selamanya.
Tetapi saya adalah orang yang memiliki mimpi yang tinggi, usaha yang tinggi, dan mentalitas yang tinggi pula. Tidak pernah ada kegagalan yang mampu membuat saya down dan tidak pernah ada pula keberhasilan yang membuat saya puas. Jika ditanya apa kelebihan saya, maka saya akan menjawab bahwa saya adalah individu yang memiliki mental juara sebagaimana klub favorit saya. PSM Makassar. #Ewako
Dalam negara demokrasi, infrastruktur baik secara formal maupun non-formal untuk menyampaikan aspirasi merupakan sebuah keharusan. Infrastruktur formal tentunya berkaitan dengan aspek regulasi dan birokrasi, sedangkan infrastruktur non-formal bermanifestasi sebagai ruang publik di mana masyarakat bisa mengutarakan wacana, aspirasi, hingga diskursus terhadap suatu fenomena dan problematika.
Menurut Jurgen Habermas, ruang publik adalah ruang yang terpisah dari state (imperatif negara) dan market (pasar). Ruang publik adalah ruang di mana setiap manusia memiliki kebebasan dan egaliterisme dalam mengusung gagasan dan opini publik yang pada akhirnya dapat mempengaruhi entitas negara dan pasar baik secara mikro maupun secara makro.
Jurgen Habermas meyakini bahwa proses demokratisasi dapat dilakukan dengan jalan membangun rasionalitas publik melalui medium dialog. Nah, medium dialog inilah yang memiliki relasi erat dengan entitas ruang publik. Konkretnya, ruang publik adalah tempat bagi tumbuhnya medium dialog guna membangun rasionalitas publik.
Sejalan dengan hal tersebut, maka ruang publik berfungsi sebagai ruang bagi tumbuhnya demokratisasi, soliditas, dan kohesifitas dalam relasi dan spirit kewargaan. Ruang publik merupakan ruang bagi tumbuh dan menguatnya civil society sebagai sebuah entitas penyeimbang agar demokrasi tidak mengalami distorsi ke arah tirani maupun otoritarianisme.
Dalam kontekstualisasi dinamika demokrasi modern, maka apa yang relevan untuk disebut sebagai ruang publik? Tidak ada jawaban tunggal terkait hal ini. Setiap orang berhak memiliki pendapat dan dapat menafsirkan sendiri apa yang di maksud sebagai ruang publik.
Menurut hemat saya, sepanjang ruang itu mampu mengakomodasi keterbukaan dan diskursus wacana, maka ruang tersebut layak untuk disebut sebagai ruang publik sebagaimana konsep Jurgen Habermas.
Warung Kopi Sebagai Ruang Publik
Secara sosiologis, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang menyukai pergaulan-kerumunan dan aktivitas killing the time untuk mempererat kohesi sosial sembari melepas penat. Salah satu tempat publik yang sering menjadi rujukan masyarakat Indonesia untuk melakukan hal tersebut adalah warung kopi.
Pernahkah Anda berkunjung ke sebuah warung kopi atau coffe shop? Jika pernah, Anda tentunya sudah memiliki gambaran bagaimana isi, atmosfer, dan fungsi dari warung kopi atau coffe shop. Istilah warung kopi dan coffe shop sendiri pada dasarnya hanyalah perihal gradasi kultural dan entitas bisnis saja. Warung kopi merupakan istilah yang lazim digunakan untuk menyebut sebuah tempat untuk minum kopi yang identik dengan kultur tradisional dan sasaran nilai ekonomi yang terjangkau. Sedangkan coffe shop identik dengan kapitalisasi kopi dengan berbagai modifikasi dan sasaran nilai ekonomi menegah ke atas.
Dalam wacana kultural, masyarakat Indonesia tentu lebih akrab dengan warung kopi dari pada coffe shop. Warung kopi tumbuh secara alamiah (to bottom) sedangkan coffe shop tumbuh sebagai implikasi globalisasi dan kapitalisme. Maka dari itu, meskipun di tengah gempuran menjamurnya coffe shop, eksistensi warung kopi tetap masih terjaga.
Di sisi lain, warung kopi merupakan pengejawantahan paling sederhana dari ruang publik sebagaimana Jurgen Habermas perkenalkan. Warung kopi adalah ruang egaliter dan demokratis, di mana setiap orang bebas mengutarakan pendapat, opini, wacana, dan gagasan.
Warung kopi tidak sekadar menjadi tempat killing the time, melainkan juga tempat menjalin konsolidasi dan tarung wacana terkait problematika-problematika sosial. Warung kopi mampu menjadi ruang egaliter, ruang yang tidak memberikan previlege dan kastanisasi bagi status sosial dan status materil. Dalam joke-joke seputar dunia perkopian lazim dikenal “dihadapan kopi semua manusia sama”.
Nah, dalam warung kopi inilah sebenarnya urat nadi demokrasi dirawat. Kebebasan berpendapat, keberanian bersikap, membangun konsolidasi, dan menggalang opini publik dibangun. Walaupun memang, diskursus yang terjadi dalam warung kopi terkadang mengejawantah sebagai debat kusir dan jauh dari obyektifitas. Namun, bagaimanapun itu, warung kopi merupakan entitas ruang yang harus dijaga eksistensinya sebagai ruang publik bagi tumbuhnya demokratisasi dan aktualisasi spirit kewargaan.
Ruang Publik dan Pandemi Corona
Salah satu dampak langsung akibat munculnya pandemi corona adalah terbatasnya ruang publik secara fisik. Hal ini sebenarnya memiliki implikasi yang tidak sederhana bagi eksistensi nilai-nilai demokrasi. Menyempitnya ruang publik dapat mengancam proses demokratisasi.
Maka dari itu, terbatasnya ruang publik di saat pandemi corona sendiri harus dimodifikasi sedemikian rupa agar eksistensi ruang publik dapat terjaga. Modifikasi ruang publik dengan daring saya kira adalah langkah paling rasional dan optimal di saat pandemi corona.
Saat ini pun masyarakat relatif mulai intens dengan ruang publik dalam entitas daring. Hal tersebut merupakan sebuah prinsip adaptif dan akomodatif yang baik dalam rangka menjaga eksistensi ruang publik. Dalam ruang sosial, pandemi corona pada dasarnya merupakan sebuah tantangan bagi eksistensi ruang publik dan eksistensi diseminasi nilai-nilai demokrasi.
Di saat pandemi corona seperti sekarang ini, menurut hemat penulis, ruang publik justru harus dibuka secara intens, agar wacana dan rasionalitas publik dapat terbangun. Rasionalitas publik inilah yang kemudian menjadi penuntun bagi hadirnya solusi dalam berbagai dimensi kehidupan.
Perdebatan dan tarung wacana merupakan khitah demokrasi. Maka dari itu, di saat normal maupun pandemi corona seperti sekarang ini, adresat-adresat demokrasi tidak boleh mati. Ia harus tumbuh berkelindan agar ruang sosial kuyup dengan nilai-nilai demokratis.
Christian Lenglolo merupakan salah satu dari sekian banyak pemain asing dari benua Afrika yang pernah merasakan kerasnya kompetisi liga Indonesia. Sebelum itu, ternyata ada kisah unik yang melatarbelakangi mengapa Lenglolo hijrah ke Indonesia. Sebelum hijrah ke Indonesia, Lenglolo membela klub asal negaranya Kamerun, Union Douala.
Di klub kompetisi kasta tertinggi liga Kamerun tersebut Lenglolo muda (usia 18 tahun) mampu menjadi sosok penting dan turut berkontribusi besar dalam mengantarkan klubnya Union Douala mentas di final piala Kamerun. Lenglolo selalu mengisi starting eleven dari babak penyisihan hingga semifinal, sayangnya di partai final, sang pelatih Union Doulala memarkir Lenglolo di bangku cadangan. Hal tersebut membuat Lenglolo kecewa berat dan akhirnya memutuskan pindah klub di musim selanjutnya. Gayung pun bersambut, sang agen menawarkan Lenglolo untuk bermain di liga Indonesia. Sebuah negara yang sangat asing bagi Lenglolo waktu itu.
Di Indonesia, karir pemain yang akrab di sapa “Lolo” ini dimulai dari klub raksasa asal Indonesia Timur, Persipura Jayapura pada musim 2005. Berduet dengan rising star Boaz Sollosa di lini depan dan disokong oleh gelandang kharismatik Eduard Ivakdalam di lini tengah, Lenglolo berhasil membawa Persipura merengkuh gelar juara liga Indonesia untuk pertama kalinya pada musim kompetisi liga Indonesia 2005/2006.
Setelah sukses di awal karirnya di Indonesia bersama Mutiara Hitam, Lenglolo kemudian berlabuh di klub Persikota Tangerang pada musim 2006/2007. Selanjutnya, Lenglolo berlabuh di klub Sriwijaya fc. Di klub inilah Lenglolo membentuk trio maut bersama Anaore Obiora dan Keith Kayamba Gumbs dan sukses mengantarkan Sriwijaya fc meraih double winners dengan menyandingkan trofi liga Indonesia dan copa Indonesia.
Sukses bersama Sriwijaya, karir Lenglolo kemudian mengalami kemerosotan, terutama disebabkan karena faktor cedera yang menghinggapinya. Tercatat, Lenglolo hanya membela klub semenjana macam Persema Malang dan PSBI Blitar. Di dua klub tersebut, Lenglolo tak banyak berkontribusi.
Akhirnya pada musim 2011/2012 Lenglolo berlabuh di klub kebanggaan wong Rembang, PSIR Rembang yang ketika itu berkompetisi di kasta kedua, tepatnya divisi utama liga prima Indonesia. Di klub berjuluk Laskar Dampo Awang inilah Lenglolo kembali menemukan peak performance.
Bahkan, di klub PSIR Rembang inilah prestasi personal terbaik berhasil diraih Lenglolo di sepanjang karirnya. Di PSIR Rembang, Lenglolo didapuk menjadi kapten tim, ujung tombak tim, top skor tim, dan pemain paling berpengaruh baik di luar maupun di dalam lapangan. Sebuah “previlege” yang tidak ia dapatkan ketika membela Persipura dan Sriwijaya.
Singkat cerita, Lenglolo berhasil membawa PSIR Rembang finis di posisi kedua grup 2 kompetisi divisi utama liga prima Indonesia musim 2011/2012 sekaligus promosi ke Indonesia Premier League (IPL), kompetisi kasta teratas yang resmi saat itu. PSIR sendiri tercatat finis dibawah Persepar Palangkaraya serta berhasil mengangkangi klub-klub sarat tradisi macam Persik Kediri, PSIS Semarang, Persis Solo, dan PSS Sleman. Sedangkan Lenglolo tercatat berhasil mencetak 11 gol dari 18 laga. Catatan yang sangat impresif.
Kompetisi divisi utama liga prima Indonesia musim 2011/2012 sendiri adalah salah dua musim terbaik sepanjang sejarah klub PSIR Rembang selain kompetisi perserikatan PSSI musim 1993/1994 dimana PSIR mampu lolos hingga babak 8 besar nasional. Di musim 2011/2012, PSIR Rembang dilatih oleh duet pelatih mantan legenda PSIR, Hariyanto dan Bambang Handoyo yang bermaterikan pemain lokal asli Rembang yang sarat potensi macam: Kusen “Dono” Riandi, Yoni Ustaf, Heru Wibowo, Efendi Bendot, Amirul “Dalbo” Fafa, Rapi’i, Edi Santoso, Koko Hartanto, Suyono, Heppi, serta diback-up pemain asing berpengalaman, seperti Eric Awoundja, Abunouw Lapula, dan tentunya il capitano Cristian Lenglolo.
Pada musim itu, PSIR dikenal sebagai klub yang tangguh, jago kandang, dan memiliki pertahanan yang sangat kuat. Rekor kandang PSIR adalah 8 kali menang dan 1 kali seri dengan hanya 2 kali kebobolan. Di akhir kompetisi, PSIR juga tercatat sebagai klub yang paling sedikit kebobolan, yakni 16 kali kebobolan dari 18 laga.
Di musim selanjutnya, Lenglolo masih setia membela PSIR mentas di kompetisi kasta tertinggi nasional, tepatnya kompetisi IPL musim 2012/2013. Sayangnya adanya konflik internal dan eksternal membuat Lenglolo memutuskan hijrah ke Persijap Jepara di akhir musim. Namun, ia hanya bertahan setengah musim di kota ukir. Setengah musim berikutnya Lenglolo memutuskan kembali ke PSIR Rembang yang ketika itu mentas di kompetisi divisi utama musim 2014 (kasta kedua). Lenglolo masuk di putaran kedua.
Kompetisi divisi utama musim 2014 inilah menjadi musim terakhir Lenglolo membela PSIR Rembang. Sanksi FIFA terhadap PSSI yang membuat tidak adanya kompetisi pada tahun 2015 dan adanya larangan partisipasi pemain asing bagi klub kasta kedua, membuat kisah romantika Lenglolo bersama PSIR harus terputus. Total 2,5 musim Lenglolo mampu menjadi magnet bagi pecinta sepakbola kota Rembang. Ketajaman, ketenangan, dan body balancenya yang sangat kuat akan selalu terngiang di kepala para pecinta sepak bola Rembang yang pernah melihat aksi-aksinya di Stadion Krida Rembang.
Pernah suatu ketika saya bertanya langsung kepada Lenglolo mengapa di bisa tokcer ketika bermain di PSIR. Lenglolo menjawab karena faktor kenyamanan. Rasa kekeluargaan yang hangat dari pemain lokal Rembang dan seluruh elemen klub membuat dia merasa nyaman di Rembang, walaupun pada musim 2013 ada beberapa konflik internal yang membuatnya memutuskan hijrah sebentar ke Jepara dan akhirnya kembali lagi.
Meksi tidak terlalu lama membela PSIR (2,5 musim) namun rasa cinta, memorabilia, dan kerinduan niscaya akan selalu terikat erat antara Lenglolo dan PSIR Rembang.
Konstitusi merupakan pondasi dasar dari sebuah negara yang berisikan prinsip-prinsip fundamental dalam aspek ketatanegaraan. Menurut Saldi Isra, bagaimana framework dan sistem sebuah negara dapat dilihat dari bagaimana konstitusinya. Konstitusi memberikan panduan bagaimana negara dijalankan dan apa saja variabel-variabel yang menjadi prioritas negara.
Menurut konstitusi UUD NRI Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pada kedaulatan rakyat (demokrasi). Hal ini secara tegas tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pasal 1 ayat (2) “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Sayangnya, tidak ada satu Pasal pun di dalam konstitusi yang berbunyi“Indonesia adalah negara sepakbola”, sekali lagi tidak ada. Jadi, kalau ada pengamat sepakbola yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara sepakbola maka dapat disinyalir kalau pengamat sepakbola tersebut tidak menyukai mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Bisa jadi saat pelajaran pendidikan kewarganegaraan sang pengamat malah bolos tidur di UKS.
Konsekuensi logisnya, karena sepakbola tidak tertuang dalam konstitusi, maka ya jangan kaget kalau sepakbola bukanlah prioritas di negara ini. Lha wong hukum dan demokrasi yang jelas-jelas tertuang dalam konstitusi saja sering diabaikan je. Hukum dan demokrasi malah sering hanya dijadikan obyek birahi kekuasaan. Jancukkkkkk ance.
Kembali soal konstitusi, mengingat sepakbola tidak tertuang dalam konstitusi dan otomatis bukan menjadi variabel prioritas, maka ya gak usah gumun kalau tetek-bengek mengenai sepakbola Indonesia seperti mindset, birokrasi, sarana, dan prestasi kita buobrok dan tertinggal dari negara-negara Asia Tenggara. Ibarat berkendara, Indonesia masih menggunakan Astrea 800 sedangkan Thailand, Vietnam, dan Malaysia sudah menggunakan PCX Hybrid. Bahkan Indonesia juga kalah dengan negara semenjana sekelas Filipina yang telah menggunakan kendaraan Vario. Ajurrrr ju.
Di tengah pandemi Covid-19, kompetisi resmi sepakbola Indonesia tidak berjalan. Polisi ora sudi memberikan izin keramaian. Namun tidak usah kaget. Kan sepakbola bukan prioritas di negara ini. Tapi anehnya, kompetisi antar kampung alias tarkam justru semakin bergeliat. Para pemain profesional turut serta ambil bagian sebagai pemain tarkam musiman yang dalam dinamikanya tidak menutup kemungkinan bisa juga menjadi pegawai tetap tarkam. Jadi statusnya berubah dari pemain profesional yang tarkam menjadi pemain tarkam yang profesional.
Perihal “dilarangnya” kompetisi sepakbola resmi dan fenomena bergeliatnya tarkam yang juga mengundang kerumunan masyarakat, jangan-jangan, masih jangan-jangan lho ya, ingat pesan guru ngaji kita dulu bahwa suudzon pada seseorang apalagi kepada negara itu gak baik dan dosa cuk. Beruntungnya, penulis dahulu adalah tergolong anak yang rajin mbolos ngaji dengan presentase 80 persen bolos dan 20 persen masuk. Sehingga, pada saat pak kiai membahas perihal suudzon ini, penulis tidak ada di tempat, dan otomatis tidak ada beban moral bagi penulis untuk suudzon pada negara.
Jadi, jangan-jangan negara memiliki visi out of the box untuk menjadikan sepakbola tarkam sebagai ujung tombak untuk memajukan prestasi sepakbola nasional. Konsep ini logis juga sih. Dari sisi ekonomi dan efisiensi, sepakbola profesional (resmi) terbukti gagal. Negara cukup banyak mengeluarkan uang namun prestasi sepakbola tak kunjung diraih. Jangankan level Asia atau bahkan dunia. Untuk sekelas Asia Tenggara, sekali lagi, sekelas Asia Tenggara saja kita belum pernah juara sejak Sea Games 1991.
Jadi, mungkin inilah cara berpikir yang sangat tidak populer yang mungkin sedang disiapkan oleh negara, dengan menjadikan tarkam sebagai ujung tombak untuk memajukan prestasi sepakbola kita yang telah lama terpuruk. Lagi pula sepakbola kan bukan variabel prioritas negara, ono yo karepmu, ora ono yo ora popo.
Teman saya bernama Deni Agus Prayikno, seorang makelar togel yang sudah tobat beberapa hari lalu mengungkapkan rasa herannya pada saya “Dik, Ketua PSSI itu kan mantan jenderal polisi bintang tiga (Komjen) bahkan pengurus-pengurus PSSI sekarang juga banyak dari petinggi Polri, lha kok bisa polisi tidak memberikan izin, kapolri dan jajaran petingginya kan pasti juniornya Pak Mochamad Iriawan di Akpol, apa tidak sungkan mereka pada sang senior karena tidak memberikan izin?”. Saya dengan berat hati menjawab dengan sedikit bumbu suudzon tentunya “mungkin Den, beliaunya dulu adalah senior yang galak “rese” sehingga kurang dihormati junior”. Ini kira-kira saya saja lho Pak Iwan Bule, pliss jangan dimasukkin hati ya kalau Anda membaca esai ini.
Dan akhir sekali, sekali lagi saya ingin kembali mengingatkan bahwa Indonesia itu bukan negara sepakbola. Sepakbola tidak ada dalam konstitusi. Jadi, udahlah gak usah berharap banyak pada sepakbola Indonesia. Berharap banyak pada sepakbola Indonesia ujung-ujungnya sakitnya tuh di sini ibarat fans Arsenal yang belasan tahun mengharapkan juara liga Inggris. Sudahlah wahai fans Arsenal hijrahlah menjadi fans MU, agar hidup tidak sakit-sakitan. GGMU.