Kamis, 18 Februari 2021

IDENTITAS LOKAL VS INDUSTRIALISASI SEPAKBOLA

 

Klub sepakbola profesional di Indonesia pada umumnya memiliki afiliasi erat dengan entitas kedaerahan. Khususnya bagi klub-klub eks perserikatan. Mengapa demikian? Karena ditilik dari perspektif historis, klub-klub sepak bola eks perserikatan pada umumnya lahir dan terbentuk dari gejolak spirit “daerahisme” untuk mengharumkan nama daerah di kancah nasional.

Ghiroh tersebut membuat orientasi prestasi menjadi adresat utama dalam kompetisi. Selain itu, karena menyangkut marwah daerah, maka para pejabat daerah dahulu baik Bupati, Gubernur, hingga anggota DPRD pada umumnya berkecimpung dalam pengelolaan klub entah sebagai Ketua Umum, Penanggung Jawab, atau Manajer. Klub diposisikan sebagai aset daerah yang dikelola di bawah badan hukum yayasan dengan kucuran dana APBD. Ekskalasi anggaran APBD yang ditetapkan oleh kepala daerah dan DPRD menjadi faktor penentu prestasi sebuah klub.

Dalam kajian semiotika, klub-klub eks perserikatan merefleksikan identitas, simbol, dan supremasi primordial yang kemudian menyulut fanatisme dan “daerahisme” yang tertanam kuat dalam psike masyarakat di mana klub tersebut berdomisili. Misalnya, Persebaya Surabaya yang mengejawantah sebagai identitas dan kebanggaan masyarakat Surabaya atau PSM Makassar yang telah menjadi ikon dan identitas masyarakat Makassar dan Sulawesi Selatan. Maka dari itu, ketika sepakbola Indonesia memasuki era industrialisasi, idealnya identitas lokal dengan spirit fanatisme bisa membangun relasi respirokal sebagai basis capital bagi aspek survival klub.

Industrialisasi Sepakbola dan Polemik PSM

Sejak dilarangnya penggunaan APBD dan kewajiban bagi setiap klub profesional untuk berbadan hukum PT (Persroan Terbatas), maka dapat dikatakan sepakbola Indonesia telah memasuki era industrialisasi. Industrialisasi sepakbola adalah ceruk di mana sepakbola bermanifestasi sebagai lahan bisnis.

Bagi klub, dengan berbadan hukum PT, maka aspek profit-ekonomis kini menjadi aspek penting karena klub telah bertransformasi sebagai entitas swasta, berbeda dengan era sebelumnya, di mana tujuan klub adalah semata-mata untuk meraih prestasi, sedangkan aspek ekonomi menjadi “tanggungjawab” pemerintah daerah melalui kucuran dana APBD.

Oleh karena itu, di era sebelum pelarangan penggunaan APBD, prestasi sebuah klub sepakbola akan sangat ditentukan oleh kepedulian pemerintah daerah khususnya terkait jumlah alokasi anggaran APBD. Sedangkan di era industrialisasi, klub sebagai entitas swasta harus mampu mem-branding dan memobilisasi segala sumberdayanya untuk bisa mendapatkan impact materil yang menjadi poin penting terkait aspek prestasi sekaligus eksistensi. Tujuan klub adalah prestasi sekaligus ekonomi.

Industrialisasi sepakbola juga merubah status kepemilikan sebuah klub, jika dahulu klub adalah milik para anggota klub, masyarakat, dan pemerintah daerah, maka di era industrialisasi, klub adalah milik pemegang saham dari PT yang mengelola klub tersebut. Pemegang saham inilah yang menjadi decision maker terkait kebijakan-kebijakan strategis dalam pengelolaan klub.

Hal inilah yang terkadang memunculkan relasi diametris. Secara hukum, pemilik klub adalah pemegang saham, sedangkan secara historis-sosiologis, pemilik klub adalah masyarakat daerah di mana klub tersebut berdomisili dan tumbuh sebagai identitas daerah. Narasi inilah yang akhir-akhir ini berkecamuk dalam tubuh PSM Makassar. Isu penjualan PSM dan pergantian identitas berhembus kencang. Konon PSM akan dibeli oleh konsorsium dan berganti identitas serta home base di Banyuwangi. Secara hukum, keputusan mengenai merger atau akuisisi klub adalah kewenangan PT, tidak ada yang salah. Namun terkait aspek historis-sosiologis tentunya hal ini menjadi isu sensitif karena menyangkut identitas dan supremasi daerah.

Analisis

PSM Makassar adalah klub tertua di Indonesia, berdiri sejak 1915. Klub yang telah mengakar kuat sebagai simbol supremasi masyarakat Makassar dan Sulawesi Selatan yang dikenal memiliki pendukung sangat fanatik. Nah, aspek historikal dan fanatisme ini adalah capital yang bisa menjadi basis simbiosis mutualisme dalam industrialisasi sepakbola. Aspek historikal dapat menjadi sarana branding. Sedangkan aspek fanatisme dapat menjadi komoditas sumber pendapatan baik melalui sponsor, penjualan tiket, marchendise, hingga enggagement medsos untuk mendukung eksistensi klub.

Jika kita cermati, klub-klub yang dijual, merger, dan akuisisi adalah klub-klub yang “tidak memiliki” basis capital berupa pendukung fanatik. Di era industrialisasi sepakbola, pendukung fanatik adalah capital yang sangat strategis untuk mendapatkan sumber pendapatan baik melalui sponsor (eksternal) maupun pendapatan internal. Maka tak heran banyak klub bergonta-ganti nama dan home base hanya sekadar untuk mendapatkan atensi dari masyarakat atau suporter.

Sedangkan PSM, secara previlege sudah memiliki capital yang tumbuh sebagai spirit sosio-kultural. Fanatisme begitu mengakar kuat. Nah, aspek fundamental dalam industri sepakbola ini tentunya tidak akan dikesampingkan begitu saja oleh konsorsium. Di masa depan, pembelian saham PSM mungkin saja terjadi, tetapi perubahan identitas dan home base definitif saya kira mustahil terjadi.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar