Kamis, 18 Februari 2021

RUANG PUBLIK DAN PANDEMI COVID-19

 

Dalam negara demokrasi, infrastruktur baik secara formal maupun non-formal untuk menyampaikan aspirasi merupakan sebuah keharusan. Infrastruktur formal tentunya berkaitan dengan aspek regulasi dan birokrasi, sedangkan infrastruktur non-formal bermanifestasi sebagai ruang publik di mana masyarakat bisa mengutarakan wacana, aspirasi, hingga diskursus terhadap suatu fenomena dan problematika.      

Menurut Jurgen Habermas, ruang publik adalah ruang yang terpisah dari state (imperatif negara) dan market (pasar). Ruang publik adalah ruang di mana setiap manusia memiliki kebebasan dan egaliterisme dalam mengusung gagasan dan opini publik yang pada akhirnya dapat mempengaruhi entitas negara dan pasar baik secara mikro maupun secara makro.

Jurgen Habermas meyakini bahwa proses demokratisasi dapat dilakukan dengan jalan membangun rasionalitas publik melalui medium dialog. Nah, medium dialog inilah yang memiliki relasi erat dengan entitas ruang publik. Konkretnya, ruang publik adalah tempat bagi tumbuhnya medium dialog guna membangun rasionalitas publik.

Sejalan dengan hal tersebut, maka ruang publik berfungsi sebagai ruang bagi tumbuhnya demokratisasi, soliditas, dan kohesifitas dalam relasi dan spirit kewargaan. Ruang publik merupakan ruang bagi tumbuh dan menguatnya civil society sebagai sebuah entitas penyeimbang agar demokrasi tidak mengalami distorsi ke arah tirani maupun otoritarianisme.

Dalam kontekstualisasi dinamika demokrasi modern, maka apa yang relevan untuk disebut sebagai ruang publik? Tidak ada jawaban tunggal terkait hal ini. Setiap orang berhak memiliki pendapat dan dapat menafsirkan sendiri apa yang di maksud sebagai ruang publik.

Menurut hemat saya, sepanjang ruang itu mampu mengakomodasi keterbukaan dan diskursus wacana, maka ruang tersebut layak untuk disebut sebagai ruang publik sebagaimana konsep Jurgen Habermas.

Warung Kopi Sebagai Ruang Publik

Secara sosiologis, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang menyukai pergaulan-kerumunan dan aktivitas killing the time untuk mempererat kohesi sosial sembari melepas penat. Salah satu tempat publik yang sering menjadi rujukan masyarakat Indonesia untuk melakukan hal tersebut adalah warung kopi.

Pernahkah Anda berkunjung ke sebuah warung kopi atau coffe shop? Jika pernah, Anda tentunya sudah memiliki gambaran bagaimana isi, atmosfer, dan fungsi dari warung kopi atau coffe shop. Istilah warung kopi dan coffe shop sendiri pada dasarnya hanyalah perihal gradasi kultural dan entitas bisnis saja. Warung kopi merupakan istilah yang lazim digunakan untuk menyebut sebuah tempat untuk minum kopi yang identik dengan kultur tradisional dan sasaran nilai ekonomi yang terjangkau. Sedangkan coffe shop identik dengan kapitalisasi kopi dengan berbagai modifikasi dan sasaran nilai ekonomi menegah ke atas.

Dalam wacana kultural, masyarakat Indonesia tentu lebih akrab dengan warung kopi dari pada coffe shop. Warung kopi tumbuh secara alamiah (to bottom) sedangkan coffe shop tumbuh sebagai implikasi globalisasi dan kapitalisme. Maka dari itu, meskipun di tengah gempuran menjamurnya coffe shop, eksistensi warung kopi tetap masih terjaga.

Di sisi lain, warung kopi merupakan pengejawantahan paling sederhana dari ruang publik sebagaimana Jurgen Habermas perkenalkan. Warung kopi adalah ruang egaliter dan demokratis, di mana setiap orang bebas mengutarakan pendapat, opini, wacana, dan gagasan.

Warung kopi tidak sekadar menjadi tempat killing the time, melainkan juga tempat menjalin konsolidasi dan tarung wacana terkait problematika-problematika sosial. Warung kopi mampu menjadi ruang egaliter, ruang yang tidak memberikan previlege dan kastanisasi bagi status sosial dan status materil. Dalam joke-joke seputar dunia perkopian lazim dikenal “dihadapan kopi semua manusia sama”.

Nah, dalam warung kopi inilah sebenarnya urat nadi demokrasi dirawat. Kebebasan berpendapat, keberanian bersikap, membangun konsolidasi, dan menggalang opini publik dibangun. Walaupun memang, diskursus yang terjadi dalam warung kopi terkadang mengejawantah sebagai debat kusir dan jauh dari obyektifitas. Namun, bagaimanapun itu, warung kopi merupakan entitas ruang yang harus dijaga eksistensinya sebagai ruang publik bagi tumbuhnya demokratisasi dan aktualisasi spirit kewargaan.

Ruang Publik dan Pandemi Corona

Salah satu dampak langsung akibat munculnya pandemi corona adalah terbatasnya ruang publik secara fisik. Hal ini sebenarnya memiliki implikasi yang tidak sederhana bagi eksistensi nilai-nilai demokrasi. Menyempitnya ruang publik dapat mengancam proses demokratisasi.

Maka dari itu, terbatasnya ruang publik di saat pandemi corona sendiri harus dimodifikasi sedemikian rupa agar eksistensi ruang publik dapat terjaga. Modifikasi ruang publik dengan daring saya kira adalah langkah paling rasional dan optimal di saat pandemi corona.

Saat ini pun masyarakat relatif mulai intens dengan ruang publik dalam entitas daring. Hal tersebut merupakan sebuah prinsip adaptif dan akomodatif yang baik dalam rangka menjaga eksistensi ruang publik. Dalam ruang sosial, pandemi corona pada dasarnya merupakan sebuah tantangan bagi eksistensi ruang publik dan eksistensi diseminasi nilai-nilai demokrasi.

Di saat pandemi corona seperti sekarang ini, menurut hemat penulis, ruang publik justru harus dibuka secara intens, agar wacana dan rasionalitas publik dapat terbangun. Rasionalitas publik inilah yang kemudian menjadi penuntun bagi hadirnya solusi dalam berbagai dimensi kehidupan.

Perdebatan dan tarung wacana merupakan khitah demokrasi. Maka dari itu, di saat normal maupun pandemi corona seperti sekarang ini, adresat-adresat demokrasi tidak boleh mati. Ia harus tumbuh berkelindan agar ruang sosial kuyup dengan nilai-nilai demokratis.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar