Kamis, 18 Februari 2021

VIABILITAS TRISAKTI DAN TRILOGI PEMBANGUNAN SOEKARNO

 

Apakah Indonesia sudah merdeka? Iya, Indonesia telah merdeka sejak tahun 1945. Secara fisik Indonesia memang telah merdeka sejak 75 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, saat Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dihadapan puluhan ribu rakyat Indonesia di Jl Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Momen tersebut menandai lahirnya negara Indonesia sekaligus menyudahi masa penjajahan Jepang.

75 tahun sudah Indonesia merdeka secara de facto maupun de jure, namun kemerdekaan yang hakiki atau sering disebut kemerdekaan substantif belum jua membumi di bumi pertiwi. Kemerdekaan substantif meliputi: kemerdekaan material (berdikari di bidang ekonomi), kemerdekaan struktural (berdaulat dalam sosio-politik), dan kemerdekaan kultural (berkepribadian dalam budaya). Kemerdekaan substantif inilah yang disebut Presiden pertama Indonesia, Soekarno sebagai Trisakti. Lalu bagaimana kondisi empirik entitas Trisakti dalam kenyataan sosial sekarang ini? Bagaimana viabilitas (daya hidup) konsep Trisakti dalam dinamika tertib negara dewasa ini?

Pertama, di bidang ekonomi, kemiskinan dan kesenjangan sosial masih menjadi masalah pelik. Menurut Bambang Widianto, Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (9/10/2019), Indonesia menempati peringkat keempat di dunia sebagai negara dengan tingkat kesenjangan sosial tertinggi. 1 persen warga negara Indonesia menguasai 50 persen aset nasional.

Berdasarkan data BPS pada September 2019 lalu, ratio gini Indonesia berada di angka 0,38. Data ini menunjukkan bahwa kesenjangan sosial di Indonesia menjadi problematika serius rezim pemerintahan Jokowi maupun rezim pemerintahan ke depan. Terlebih, saat ini pandemi Covid-19 sedang melanda dan resesi ekonomi global juga turut mengancam.

Selain kesenjangan sosial, kemiskinan juga masih menjadi problematika akut bangsa Indonesia. Menurut data BPS pada September 2019, presentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 9,22 persen atau setara 24,79 juta orang. Kemiskinan sendiri diukur dari kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Artinya, ketika harga komoditi kebutuhan dasar naik, dapat dipastikan angka kemiskinan juga akan turut meningkat. Apalagi saat ini pandemi Covid-19 tengah melanda. Banyak penduduk kehilangan pekerjaan, penurunan pemasukan, daya beli menurun, dan harga-harga kebutuhan pokok juga relatif meningkat. Secara eksternal, resesi ekonomi global juga mengancam. Maka, dibutuhkan konsolidasi dan kebijakan ekonomi yang kuat dan presisi agar kesenjangan sosial dan kemiskinan tidak melebar semakin parah menjadi sebuah krisis ekonomi berkepanjangan.

Selain dari sisi kesenjangan sosial dan kemiskinan, perihal utang luar negeri juga harus mendapatkan atensi. Bank Indonesia mencatat utang luar negeri pada akhir Mei 2020 sebesar 404,7 miliar dollar AS atau setara  Rp. 5.868 triliun (kurs Rp. 14.500). Utang tersebut terdiri dari utang sektor publik sebesar 194,9 miliar dollar AS dan utang sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 209,9 miliar dollar. Utang luar negeri diprediksi akan terus meningkat sejalan dengan efek derivasi dari upaya penanggulangan Covid-19. Utang luar negeri yang semakin meningkat membuat berdikari di bidang ekonomi semakin jauh panggang dari api.

Kemudian dari sisi sosio-politik, menguatnya oligarkhi politk dan kuasa uang membuat ruang demokrasi mengejawantah sebagai demokrasi semu (pseudo-democrazy) sehingga tidak mampu mewujudkan welfare state. Oligarkhi politik menyebabkan ruang politik dan demokrasi hanya dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki kekuasaan ekonomi dan politik.

Kondisi demikian membuat kebijakan-kebijakan publik yang lahir pun condong pada dimensi kapitalisme-oportunis. Di sisi lain, kuasa uang membuat independensi dan idealisme rakyat tergerus. Menurut Burhanudin Muhtadi dalam bukunya Kuasa Uang, fenomena kuasa uang menyebabkan rakyat terbelenggu karena memiliki “utang politik” kepada kontestan politik.

Dari sisi relasi sosial, masyarakat sendiri juga cukup permisif terhadap politik uang. Menurut survei Lembaga Ilmu Penghetahuan Indonesia pada pemilu 2019 lalu, 37 persen responden mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih. Realitas ini mendeskripsikan bahwa masyarakat masih memandang politik uang merupakan bagian dari pemilu. Lemahnya penegakan hukum dan nihilisme peran partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat membuat praktik politik uang tetap sustainable.

Selanjutnya dari sisi kemerdekaan kultural, bisa dipahami pada negara yang sedang dalam proses membangun, potensi represifitas negara terhadap dimensi-dimensi kultural akan meninggi khususnya terkait pemenuhan hak ulayat. Selain itu, efek globalisasi dan kelindan faktor sosio-ekonomi juga turut berkontribusi dalam menggerus nilai-nilai sosio-kultural.

Hal inilah yang menyebabkan rakyat Indonesia semakin jauh dari penghayatan terhadap kekayaan budaya yang dimilikinya. Karakter adiluhung dan toleransi kebhinekaan yang dahulu menjadi atribut dan trademark rakyat Indonesia semakin tergerus. Dalam ruang sosial semakin lazim kita jumpai tindakan-tindakan nir-kebhinekaan dan intoleransi yang mencederai ikatan kohesi sosial.

Membumikan Trisakti

Kunci untuk membangun visibilitas Trisakti (kemerdekaan material, kemerdekaan struktural, kemerdekaan kultural) menurut saya sangat ditentukan oleh relasi idealitas-integratif antara demokrasi, nomokrasi, dan pendidikan. Entitas demokrasi, nomokrasi, dan pendidikan harus berada pada tataran respirokal-fungsional. Itu pun butuh waktu yang panjang.

Demokrasi memegang peranan penting dalam tertib bernegara, tidak hanya perihal distribusi kekuasaan dan pengambilan kebijakan, tetapi juga soal konsolidasi baik dalam tataran vertikal maupun horizontal. Idealitas ruang demokrasi terwujud manakala faktor kompetensi-integritas lebih dominan dari pada faktor politis-material.

Namun kondisi ideal tersebut nampaknya hanya ada dalam teori ilmu politik tidak pada realitas. Meskipun demikian, penguatan demokrasi harus terus dilakukan, revitalisasi secara sinergis-integratif antara pilar-pilar demokrasi (eksekutif, yudikatif, legislatif, pers, parpol, dan civil society) harus terus dibangun secara kontinu.

Kemudian, nomokrasi berfungsi sebagai kanalisator agar ketertiban dan perubahan sosial dapat berjalan on the track sebagaimana nilai idealitas dan tertib bernegara. Entitas nomokrasi harus terus diperkuat baik dari sisi substansi, struktur, maupun kultur. Kelembagaan hukum juga harus terus diperkuat baik dari sisi anggaran, fasilitas, pengawasan, dan kualitas sumber daya manusia.

Sedangkan pendidikan berfungsi sebagai optimalisasi potensi sumber daya manusia. Pendidikan harus terus diperkuat agar dapat berperan fungsional untuk memaksimalkan bonus demografi Indonesia. Permasalahan laten dunia pendidikan adalah terkait kurikulum yang terlalu berat dan tidak efektif, kesenjangan fasilitas, kultur akademik formalistik, kualitas pendidik, dan belenggu administratif pendidikan.

Konkretnya, dibutuhkan sebuah restorasi konseptual dan praktikal dalam ranah pendidikan kita secara komprehensif. Selain itu penguatan dan masifisitas pendidikan Pancasila juga harus terus dilakukan secara kontinu.

Pada akhirnya, kunci untuk mewujudkan kemerdekaan substantif (Trisakti) yang meliputi kemerdekaan material, kemerdekaan struktural, dan kemerdekaan kultural adalah melalui fungsionalisasi entitas demokrasi, nomokrasi, dan pendidikan secara sinergis-respirokal. Maka dari itu, diperlukan restorasi-idealitas, sinergitas, responsibilitas, dan daya kolektifitas dari seluruh elemen bangsa sesuai dengan peran, posisi, dan porsinya masing-masing.

Di sisi lain, mewujudkan kemerdekaan substantif pada masa pandemi Covid-19 sendiri agaknya sangat berat, sektor-sektor strategis-fundamental negara lumpuh. Di tengah kondisi sulit inilah viabilitas Trisakti harus direvitalisasi dan direaktualisasi berdasarkan paradigma atau pemikiran kontemplatif sang empunya pencetus Trisakti, Soekarno.

Trilogi Pembangunan Nasional Soekarno

Menurut Trio Dharma Kristo R dalam tesisnya Konstruksi Sosial Pemikiran politik Soekarno tentang Nation and Character Building (2017), nation and character building adalah sebuah keniscayaan sebagai basis pondasi guna mencapai tujuan-tujuan negara. Menurut hemat penulis, konsep Trisakti Soekarno yang penulis maknai sebagai kemerdekaan substantif harus didukung oleh konsepsi trilogi pembangunan nasional yang diciptakan pula oleh Soekarno.

Secara praktis, Soekarno telah memberikan langkah-langkah teknis mengenai implementasi nation and character building yang dikenal sebagai trilogi pembangunan nasional. Pertama, pembangunan manusia. Kedua, pembangunan material. Ketiga, pembangunan mental. Ketiganya harus dilakukan secara integral. Ketiga konsep praktis inilah yang menjadi visi Soekarno guna membentuk nation and character building sebagai basis untuk menjaga tenun persatuan dan kesatuan demi kokohnya keutuhan bangsa dan ketahanan nasional serta untuk mencapai tujuan-tujuan fundamental negara. Oleh karena itu, dewasa ini diperlukan suatu pijakan kontemplasi untuk mereaktualisasi visi Soekarno mengenai trilogi pembangunan nasional. Menurut penulis, visi Soekarno tentang trilogi pembangunan adalah pemikiran besar yang harus selalu dirawat dan diaktualisasi sesuai dengan dinamika, kondisi, dan tantangan zaman sebagai basis pondasi untuk merawat kebhinekaan dan keutuhan bangsa serta untuk mewujudkan tujuan-tujuan fundamental negara atau kemerdekaan substantif. Berikut penulis jabarkan mengenai reaktualisasi visi Soekarno tentang konsep nation and character building atau trilogi pembangunan.

Pertama, pembangunan manusia. Membangun manusia seutuhnya secara sejahtera lahir dan batin adalah amanat konstitusi. Membangun manusia Indonesia adalah membangun entitas kemanusiaan secara menyeluruh. Membangun manusia Indonesia harus melingkupi pembangunan kognitif, pembangunan spiritual, pembangunan afektif-sosial, pembangunan psikomotorik, dan yang sangat penting adalah pembangunan nasionalisme. Untuk membangun manusia seutuhnya, maka instrumen pendidikan formal memegang peranan penting. Perbaikan sistem pendidikan niscaya mutlak diperlukan meliputi perbaikan substansi pendidikan (kurikulum), perbaikan kualitas dan kuantitas pendidik khususnya di luar Jawa, perbaikan dan pemerataan fasilitas pendidikan, serta perbaikan kultur dan paradigma pendidikan. Konkretnya, pendidikan harus mampu menjadi kawah candradimuka guna membangun dan membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas, religius, terampil, memiliki kepekaan sosial, dan memiliki nafas kebhinekaan dan nasionalisme.

Kedua, pembangunan material. Memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial adalah merupakan tujuan dari berdirinya negara ini. Pembangunan material menjadi sebuah kanalisator untuk meredam potensi gejolak kecemburuan sosial yang dapat berdampak pada timbulnya perpecahan dan fragmentasi sosial yang dapat merongrong ketahanan nasional. Kunci membangun aspek material bangsa, saya pikir adalah bagaimana para pemangku kebijakan negeri ini perlu memperkokoh prinsip berdikari secara ekonomi yang dahulu diperkenalkan oleh Soekarno dalam tri sakti. Secara praktis-implementatif, konsep berdikari secara ekonomi harus mengejawantahkan norma Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945. “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional”. Konkretnya, pemerintah dan pemangku kebijakan harus mengambil kebijakan-kebijakan ekonomi-sosial yang pro terhadap rakyat dan pembangunan nasional guna melawan imperialisme dan neo-kolonialisme. Pembukaan lapangan kerja, investasi, jaminan sosial, dan kerja sama internasional di bidang perekonomial harus relevan dengan semangat memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketiga, pembangunan mental. Pembangunan mental bangsa Indonesia adalah dengan melakukan revolusi mental secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan negara. Ada beberapa strategi integral yang dapat dilakukan guna merestorasi mental bangsa Indonesia yang mulai lekat dengan ceruk-ceruk negatif (korupsi, friksi primordial, politik identitas yang menjurus fragmentasi sosial). Pertama, keteladanan pemimpin. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang masih lekat dengan kultur paternalistik (tunduk pada patron). Oleh karena itu, para patron yang memiliki legitimasi dan peran untuk membentuk perilaku dan opini publik seperti tokoh politik, pemuka agama, dan tokoh masyarakat dalam segala lini hendaknya mampu memberikan suri tauladan bagaimana merefleksikan mental kebangsaan yang baik seperti menghargai perbedaan, semangat toleransi, bersatu dalam keberagaman, mengkonsepsikan aspirasi dan pilihan politik secara bijak, serta mendahulukan kepentingan kolektif dari pada kepentingan individu atau kelompok. Kedua, memperkokoh pemahaman dan implementasi empat pilar kebangsaan, yakni: NKRI, Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika baik secara formal (dalam institusi pendidikan ) maupun secara kultural dalam struktur dan ekosistem sosial. Ketiga, penegakan hukum secara tegas dan konsekuen. Penegakan hukum adalah social defence yang berfungsi menjaga harmonisitas sosial sekaligus sebagai guidance untuk mencegah timbulnya mental negatif (kriminalitas) dari masyarakat.

Oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas dan konsekuen mutlak diperlukan guna merestorasi pembangunan mental. Keempat, perbaikan sistem politik. Hal ini penting mengingat politik berkaitan dengan dua hal pokok, yaitu pemilihan pemimpin dan pembuatan kebijakan. Sistem politik harus mampu menjadi katalisator untuk memilih pemimpin terbaik dan lahirnya kebijakan-kebijakan politik yang pro terhadap rakyat dan kemajuan nasional. Oleh karena itu, perbaikan sistem politik adalah sebuah keniscayaan demi pembangunan mental bangsa yang lebih baik. Kelima, penguatan kembali nilai-nilai kearifan lokal. Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku, di mana suku-suku tersebut pada prinsipnya memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang dipegang teguh. Misalnya, falsafah siri’ pada masyarakat Bugis atau falsafah ain ni ain pada masyarakat Maluku. Nilai-nilai kearifan lokal sendiri adalah bagian dari kekayaan budaya nasional yang harus senantiasa dirawat dan dijaga sebagai basis sosio-kultural untuk membentuk karakter dan relasi kebangsaan yang kokoh.

Berdasarkan pemaparan di atas, viabilitas Trisakti (kemerdekaan substantif) akan bisa eksis jika didukung oleh adanya basis konseptual yang sejalan. Konsep trilogi pembangunan nasional yang diperkenalkan Soekarno menekankan pada pembangunan manusia, pembangunan material, dan pembangunan mental. Konsepsi ini menurut hemat penulis memiliki relevansi dengan values dari pada Trisakti yang berorientasi pada terwujudnya kemerdekaan ekonomi (berdikari secara ekonomi), kemerdekaan sosio-politik (berdaulat dalam politik), dan kemerdekaan kultural (berkepribadian dalam budaya)..

 

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar