Saya pribadi yang menyukai tantangan dan espektasi dengan standar yang tinggi (karir dan pencapaian), saya selalu berhasrat sampai pada puncak. Hal tersebut menjadi stimulan yang mendorong saya memiliki gairah membara dan motivasi yang tinggi dalam menjalani hidup. Hidup tanpa tantangan dan mimpi yang tinggi bagai seekor burung tanpa sayap. Satu hal lagi: Istri dan keluarga adalah segalanya dalam hidup saya.
Senin, 24 Desember 2018
PUISI : CANDU
Tentang mu adalah candu, takjub ini mengendap erat dalam gurat nyawa ku.
Merindukan mu adalah candu, mengikis getir sendu dalam gelimang rindu.
Mendoakan mu adalah candu, doa suci terucap khidmat sepanjang hela nafas ku.
Memikirkan mu adalah candu, terpahat kekal dalam maji eloknya paras ayu mu.
Jeda pahit penantian ini tak terasa jemu. Terpatri asa menyala dalam empat aorta raga.
Menanti takdir kuasa menyatukan jiwa.
Candu lebur manunggal dalam sukma.
PUISI : PEREMPUAN PRODUK ZAMAN
Perempuan produk zaman.
Perangainya terbentuk oleh zaman.
Jauh dari alas taqwa dan iman.
Hidupnya berpacu mengejar gemerlap fana.
Hingga lupa mencari bekal untuk hidup nan kekal.
Perempuan produk zaman.
Bebal dan fakir akan ilmu agama.
Hidup semu dalam belenggu gengsi dan eksistensi diri.
Rajin memoles kecantikan fisik.
Lalai mempercantik ahlak dan nurani.
Perempuan produk zaman.
Aurat adalah kebanggaan. Di umbar tanpa rasa malu.
Hijab sekedar fashion tuntutan zaman.
Bibir penuh gincu. Namun lidah kelu membaca ayat-ayat suci.
Perempuan produk zaman.
Kesucian tak lagi menjadi martabat.
Menghela nafas hanya untuk menumpuk maksiat.
Sabtu, 22 Desember 2018
KESEJAHTERAAN SOSIAL DAN PERAN OPOSISI
Dalam struktur hubungan antara negara dan rakyat, negara Indonesia menganut prinsip negara kesejahteraan (Welfare State), yang mengandung makna
bahwa negara tidak hanya sekedar sebagai pelindung kepentingan rakyat, tetapi
juga memiliki tugas dan kewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
rakyatnya. Hal ini secara laterlijk tertuang
dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Alinea IV serta dalam pasal 33 dan 34 UUD
NRI Tahun 1945.
Secara singkat negara kesejahteraan didefinisikan sebagai
sebuah negara dimana pemerintahan negara bertanggungjawab untuk menjamin
terpenuhinya standar kesejahteraan hidup minimum bagi setiap warga negaranya
(Husodo, 2006). Pengertian tersebut mengandung makna bahwa negara harus
berperan aktif dan responsif untuk dapat memenuhi terwujudnya kesejahteraan
sosial bagi segenap rakyat atau warga negaranya melalui peran nyata dan kebijakan strategis yang dimilikinya.
Lalu apa itu kesejahteraan sosial ?, menurut Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, kesejahteraan sosial di
definisikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan
sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri
sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Dan agar kesejahteraan sosial
tersebut dapat terpenuhi, tentunya penyelenggara negara dalam hal ini
organ-organ yang memiliki cabang kekuasaan utama negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) beserta organ pembantu harus dapat berfungsi secara optimal dan menghindari terjadinya Abuse of Powers.
Dalam mekanisme penyelenggaraan negara kita menganut sistem Checks and Balances, dimana organ eksekutif,
legislatif, dan yudikatif (termasuk auxilliary
organ) saling mengontrol dan menyeimbangkan pelaksanaan kekuasaannya masing-masing,
sehingga berjalannya negara diharapkan bisa stabil, seimbang, akuntabel dan dapat meminimalisir
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Berbicara mengenai penyelenggaraan negara, maka dalam arti
sempit, pemerintah (eksekutif) adalah pihak yang memiliki peran penting dan strategis dalam
penyelenggaraan negara khususnya dalam rangka memenuhi dan mewujudkan
terwujudnya kesejahteraan sosial bagi rakyat. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis yang dapat berdampak luas bagi
kehidupan rakyat dan berjalannya negara ini secara keseluruhan. Maka dari itu, kekuasaan pemerintah harus di kontrol sedemikian rupa agar tidak keluar jalur dari peran khitahnya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi segenap rakyat. Selain di kontrol melalui sistem penyelenggaraan negara oleh cabang-cabang
kekuasaan negara, di sisi lain juga perlu di kontrol oleh organ-organ di luar sistem
yaitu pers, masyarakat, dan oposisi.
Mekanisme kontrol dari pers, masyarakat, dan pihak oposisi
inilah yang disebut sebagai mekanisme kontrol sosial, mekanisme kontrol sosial
mengandung makna serangkaian tindakan yang dilakukan oleh organ-organ di luar
sistem penyelenggaraan negara untuk mengontrol dan mengawasi kinerja
organ-organ sistem penyelenggaraan negara (dalam hal ini eksekutif) agar selalu
berpijak dan berpihak pada kepentingan rakyat dan negara serta tidak menyalahgunakan
kekuasaan yang dimilikinya.
Sejalan dengan hal tersebut maka pers, masyarakat, dan
oposisi dalam melaksanakan fungsi kontrol sosial memiliki dua peran penting yaitu,
mengkritik dan memberi masukan terkait dengan kebijakan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Pers, masyarakat, dan oposisi harus selalu menjadi pihak yang
kritis dan idealis dalam menyikapi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, jika pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan yang dinilai tidak
berpihak pada kepentingan rakyat dan negara, maka pemerintah wajib di kritik atau diberikan saran masukan agar tidak lepas kendali, sedangkan saat pemerintah mampu membuat suatu kebijakan
progresif yang dapat memberikan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi rakyat,
maka kinerja pemerintah seyogyanya juga patut untuk di apresiasi.
Secara normal, Pers dan masyarakat adalah pihak yang netral
dari kepentingan politis, karena pers dan masyarakat memang bukanlah pihak
pengejar kekuasaan, sehingga setiap kritik yang dilancarkan oleh mereka kepada
pemerintah dapatlah kita dianggap mewakili kepentingan rakyat dan negara tanpa tendensi apapun, namun
dalam kenyataannya justru pers dan masyarakat seringkali di tunggangi oleh kepentingan
politis pihak-pihak pengejar kekuasaan.
Pers sering digunakan sebagai Influencer politik untuk kepentingan politik jangka pendek
sebaliknya emosi masyarakat juga di kapitalisasi untuk kepentingan politik
praktis semata. Dengan kondisi demikian, keberpihakan kedua pihak tersebut terhadap kepentingan
rakyat dan negara (melalui kritik kepada pemerintah) terkadang hanyalah sekedar keberpihakan semu. Yakni
keberpihakan yang mengandung kepentingan politis praktis tertentu didalamnya.
Sedangkan oposisi, yakni pihak-pihak diluar pemerintahan,
atau bisa dikatakan juga pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan dari petahana
(merebut dalam arti secara formal-konstitusional) secara normal tentu tidak
pernah bisa dilepaskan dari keinginan untuk meraih kekuasaan, untuk meraih kekuasaan
maka dia harus mampu memenangkan suara rakyat, sehingga disinilah pihak oposisi
akan menjadi pihak yang paling kritis dan vokal terhadap pemerintah, dengan dua
tujuan yakni menarik simpati rakyat dengan menjadi pembela kepentingan rakyat
yang tentu bermuatan kepentingan politis praktis dibelakangnya (agar nanti dia dipilih), dan yang
kedua memang secara tulus pihak oposisi tersebut ingin membela kepentingan bangsa dan
negara ketika pemerintah melenceng dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Dua tujuan tersebut dapat menyatu dalam satu tarikan nafas, maupun juga berdiri
sendiri.
Dengan demikian menjadi pihak oposisi juga dituntut untuk
cerdas dan obyektif, dalam arti saat mengkritik kebijakan pemerintah harus mangkus dan wajib dilandasi dengan fakta dan data yang valid, tidak sekedar hantam sana-sini
namun tanpa dilandasi dengan fakta dan data. Di era berlimpah informasi seperti
sekarang ini fakta dan data akan sangat mudah didapatkan, sehingga kebohongan-kebohongan
publik pun akan sangat mudah pula untuk di deteksi. Oleh karena itu, pihak oposisi
juga harus cerdas dengan jalan melontarkan kritik yang tepat sasaran serta dilandasi dengan fakta dan
data yang valid bukan sekedar fitnah dan opini sesat.
Kritik yang tepat sasaran serta dilandasi dengan fakta dan data yang valid akan
memiliki dua manfaat, pertama kritik tersebut fungsional secara teknis
sehingga dapat menjadi bahan koreksi bagi pemerintah, dan yang kedua kritik
tersebut mampu menggugah simpati dan afeksi rakyat terhadap oposisi, mengingat
kritik tersebut sesuai dengan permasalahan dan kondisi real yang membelenggu kehidupan rakyat.
Sehingga dapat dipahami disini bahwa dalam mewujudkan
kesejahteraan sosial bagi rakyat, kita tidak hanya butuh peran optimal dari
pemerintah, tetapi juga butuh peran yang optimal dari organ-organ negara
lainnya (yudikatif, legislatif, auxilliary
organ) dalam kaitan dengan fungsi mekanisme kontrol Checks and Balances serta tak kalah penting peran optimal dari organ-organ di luar sistem (kontrol sosial)
baik dari masyarakat, pers dan juga pihak oposisi.
Khususnya pihak oposisi sebagai pihak yang ingin “Merebut” kekuasaan dari petahana harus dapat menampilkan kualitas diri secara lebih empirik melalui kritik yang bernas dan tepat sasaran maupun juga melalui gagasan-gagasan progresif yang sekiranya belum dilakukan oleh pemerintah.
Oposisi harus bisa menjadi mitra saing yang berkualitas bagi pemerintah, sehingga membuat pemerintah selalu terdorong dan terpacu untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanan dan keberpihakan pada kepentingan rakyat dan negara.
Khususnya pihak oposisi sebagai pihak yang ingin “Merebut” kekuasaan dari petahana harus dapat menampilkan kualitas diri secara lebih empirik melalui kritik yang bernas dan tepat sasaran maupun juga melalui gagasan-gagasan progresif yang sekiranya belum dilakukan oleh pemerintah.
Oposisi harus bisa menjadi mitra saing yang berkualitas bagi pemerintah, sehingga membuat pemerintah selalu terdorong dan terpacu untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanan dan keberpihakan pada kepentingan rakyat dan negara.
Dengan demikian, kesejahteraan sosial akan mudah terwujud ketika pemerintah dan
oposisi terlibat kompetisi secara konstruktif melalui adu gagasan, adu ide, adu
solusi, adu program dan kritik-mengkritik yang dilandasi dengan semangat untuk memberikan
kesejahteraan sosial bagi rakyat, tidak hanya sekedar untuk meraih atau
mempertahankan kekuasaan semata.
Selesai ....
Kamis, 20 Desember 2018
POLITIK SEBAGAI SENI, KRIMINALISASI ULAMA DAN PATERNALISTIK POLITIK
Politik memiliki berbagai konsepsi dan perspektif yang
menarik untuk di kaji, secara ideal-filosofis politik adalah sarana pengabdian
untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, kemudian secara normatif –pragmatis
politik adalah sarana untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan, dan secara
sosiologis, politik adalah sarana untuk mengakomodir aspirasi-aspirasi rakyat
demi terwujudnya keadilan dan
kesejahteraan sosial.
Dalam perspektif
normatif-pragmatis politik dapat dipahami sebagai sebuah seni untuk meraih atau
mempertahankan kekuasaan, seni dalam arti cara untuk mendapatkan simpati dan afeksi
dari rakyat (pemilih) dengan berbagai bentuknya baik positif, negatif maupun
netral seperti retorika, pencitraan, janji, populisme, program, gagasan,
dramaturgi, kampanye hitam, kampanye negatif dll, yang tujuannya agar rakyat
memilihnya untuk menjadi wakil pemegang kedaulatan rakyat baik di bidang
legislatif maupun eksekutif. Sederhananya politik adalah seni untuk memenangkan
hati rakyat.
Sehingga dapat dipahami disini bahwa
“Seni” untuk memenangkan hati rakyat itu dapat berbentuk positif (program,
gagasan dll) dapat juga berbentuk negatif (retorika, kampanye hitam, kampanye
negatif, populisme dll), dan juga dapat berbentuk netral (pencitraan, janji
dll). Positif disini dalam arti mengandung makna konstruktif bagi kehidupan
sosial, negatif disini dalam arti mengandung bibit dan potensi bagi timbulnya
hal-hal negatif seperti permusuhan, friksi hingga perpecahan, dan netral disini
dalam arti tidak mengandung makna yang tendensius dan menjurus baik ke arah
positif maupun ke arah negatif.
Memasuki tahun politik dan
terlebih sudah memasuki masa kampanye, bentuk-bentuk seni politik untuk meraih
simpati dan afeksi masyarakat mulai menyesaki ruang-ruang kehidupan kita baik
dalam dunia nyata maupun dunia maya. Khususnya terkait hajat demokrasi paling
akbar yakni pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 mendatang. Pilpres 2019 sendiri
mampu mempolarisasi masyarakat menjadi dua golongan yakni kaum cebong (pro
Jokowi) dan kaum kampret (pro Prabowo).
Kedua “Kaum” ini baik yang berada
dalam struktural maupun simpatisan non struktural begitu masif berebut simpati
dan afeksi dari masyarakat dengan berbagai cara dan bentuk yang sayangnya cara
dan bentuk-bentuk untuk meraih simpati dan afeksi dari masyarakat tersebut
cenderung menjurus ke arah yang negatif seperti kampanye negatif dan kampanye
hitam (black campaign).
Kampanye negatif adalah kampanye
yang sah secara hukum namun memiliki potensi besar untuk menimbulkan bibit
permusuhan serta tidak memberikan pendidikan politik yang mencerdaskan bagi publik jika dilakukan secara berlebihan. Kampanye negatif dapat di ejawantahkan dengan memperlihatkan
kelemahan-kelemahan faktual dari lawan politik baik secara pribadi maupun
secara kinerja (rekam jejak) untuk membangun persepsi bahwa dialah yang lebih
pantas dari pada sang lawan. Mengapa kampanye negatif saya katakan memiliki
potensi besar untuk menimbulkan bibit permusuhan ? karena secara logis lawan
politik yang di “Serang” dengan kampanye negatif tersebut tentu akan melawan
balik, baik dengan sesama kampanye negatif maupun juga dengan kampanye hitam.
Dan jika ini terus berulang (saling serang), maka nuansa politik yang
konstruktif dan kondusif akan sulit mewujud dalam kontestasi politik yang ada,
karena yang timbul kemudian hanyalah sikap saling membenci dan saling bermusuhan
khususnya para akar rumput atau pendukung kedua calon, yang pada akhirnya tidak dapat
memberikan nuansa pendidikan dan pendewasaan politik bagi masyarakat.
Lalu apa tidak boleh sama sekali
melakukan kampanye negatif ? menurut saya boleh saja dan perlu namun dalam
batas dan frekuensi yang proporsional serta di landasi dengan iktikad baik,
kampanye negatif haruslah digunakan sekedar untuk mengkritik calon lawan
politik, yang harus di bungkus dengan solusi dan ide progresif tentang
bagaimana menghadirkan solusi bagi permasalahan sosial masyarakat yang
sekiranya tidak mampu dihadirkan oleh pihak lawan. Dengan demikian, nuansa
kontruktif dan penuh gagasan akan dapat terbangun dalam iklim kontestasi
politik yang ada.
Sedangkan kampanye hitam sendiri adalah
kampanye kotor atau kampanye jahat untuk membunuh karakter dan reputasi lawan
politik dengan hal-hal yang tidak sesuai kenyataan, kampanye hitam disini
meliputi perbuatan-perbuatan yang dapat di hukum oleh hukum positif negara
seperti fitnah, pencemaran nama baik, agitasi, hoax dll. Kampanye hitam memiliki
potensi sangat besar bahkan pada level “Pasti” untuk menghadirkan friksi dalam
kehidupan bermasyarakat, sehingga harus di jauhi
sejauh-jauhnya.
Kampanye hitam sangat berbahaya bagi
keutuhan tenun persatuan, kesatuan dan kebhinekaan yang telah lama kita bangun,
kampanye hitam tidak hanya membunuh esensi demokrasi tetapi juga berimplikasi
negatif bagi kehidupan kita sebagai sebuah bangsa, tidak hanya saat ini tetapi
juga di masa depan. Karena warisan dari pada kampanye hitam hanyalah kebencian
dan rasa dendam.
KRIMINALISASI ULAMA
Dalam berbagai wujud kampanye
hitam yang ada dan menyeruak dalam relung sosial kehidupan kita, sejujurnya
saya agak risih dengan adanya pembangunan persepsi publik tentang Kriminalisasi Ulama yang dibangun oleh
kubu Prabowo terhadap sosok Jokowi yang menurut saya telah cacat dalam 2 hal
yakni teoritis dan faktual bahkan bisa menjadi tiga hal namun untuk satu hal
tambahan ini saya kira bukan domain saya untuk menilainya hehehe.
Pertama, dari sudut teoritis,
kriminalisasi adalah konsep dalam disiplin ilmu kriminologi (ilmu
bantu bagi ilmu hukum pidana) yang membahas mengenai proses memformulasikan
suatu tindakan atau perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi sebuah
tindak pidana dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu khususnya faktor
sosiologis. Kebalikan dari kriminalisasi adalah dekriminalisasi yakni proses
memformulasikan suatu tindakan atau perbuatan yang semula termasuk tindak
pidana menjadi bukan tindak pidana.
Di sini dapat kita pahami bahwa
sejatinya telah terjadi kesalahan laten oleh masyarakat dalam memahami dan
mengkonsepsikan arti dari pada kriminalisasi itu sendiri, kriminalisasi sering
diartikan sebagai tindakan mengkriminalkan dan merekayasa seseorang atau
sekelompok orang agar dapat di pidana. Atau secara sederhananya membuat
seseorang yang tidak layak untuk di pidana menjadi dapat di pidana baik dengan
rekayasa ataupun penggunaan tekanan otoritas kekuasaan. Oleh karenanya, dipandang
dari sudut teoritis sejatinya arti kriminalisasi ulama itu sendiri telah cacat
dan gugur.
Kemudian yang kedua, dari sisi
faktual, dalam hal ini okelah kita mencoba menggunakan arti yang umum dipahami
publik dalam mengartikan kriminalisasi yaitu upaya untuk memidanakan seseorang
atau sekelompok orang yang sebenarnya tidak layak di pidana menjadi dapat di
pidana dengan rekayasa atau penggunaan tekanan otoritas kekuasaan. Lalu apa
benar ada kriminalisasi ulama yang dilakukan oleh Jokowi sebagaimana opini yang
dibangun oleh pihak Prabowo? hmmm menurut hemat saya hal itu jauh dari
kenyataan dan merupakan opini yang menyesatkan.
Negara kita adalah negara hukum
yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dimana seseorang tidak
bisa begitu saja di tangkap, di tahan, di tetapkan menjadi tersangka, menjadi
terdakwa hingga menjadi terpidana tanpa di dasari landasan hukum formal
sebagaimana diatur secara limitatif dalam KUHAP maupun Undang-Undang terkait
lainnya, selain itu, bagi tersangka, terdakwa, hingga terpidana pun diberikan hak
dan berbagai upaya hukum untuk mendapatkan keadilan serta untuk menguji
keabsahan dari penetapan maupun putusan pengadilan terhadap perkara hukum yang
membelitnya, baik itu bantuan hukum, praperadilan, banding, kasasi, peninjauan
kembali hingga grasi. Jadi mustahil rasanya ada upaya mengkriminalisasi (dengan
rekayasa dan tekanan otoritas) terhadap seseorang atau sekelompok orang dewasa
ini.
Kasus yang membelit Habib Rizieq
(dahulu) dan baru-baru ini Habib Bahar bin Smith yang ditetapkan sebagai
tersangka pun masif di jadikan contoh faktual dan landasan legitimasi untuk
mengatakan bahwa Jokowi telah mengkriminalisasi
ulama, marilah kita berpikir jernih disini, pertama, jika merasa penetapan
tersangka tersebut tidak sah secara hukum, maka tinggal di ajukan saja upaya
praperadilan sebagai mekanisme untuk menguji keabsahan penetapan tersangka
tersebut, dalam negara hukum demokratis negara memberikan berbagai sarana dan
mekanisme hukum bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan.
Kedua, jika memproses hukum
seorang ulama yang (diduga) melanggar hukum positif itu diartikan sebagai
kriminalisasi ulama, maka sejatinya kejernihan akal sehat dan pikiran kita
sudah tercemar teruk, hukum positif itu tidak melihat siapa yang melakukan
tetapi apa yang dilakukan, tidak ada manusia yang kebal terhadap hukum, siapapun
itu baik Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, anggota DPR, ulama hingga rakyat
biasa jika melanggar hukum ya harus di proses sesuai hukum yang berlaku demi
tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan prinsip equality before the law.
Melihat realitas yang ada, bisa
dikatakan pembangunan opini Jokowi mengkriminalisasi ulama adalah sekadar
komodifikasi politik untuk membunuh karakter dan reputasi Jokowi di mata
publik, dan sayangnya kubu oposisi seringkali menggunakan cara-cara ini untuk
meraih simpati masyarakat bukan dengan adu gagasan, adu program, dan adu solusi
untuk menyelesaikan permasalahan bangsa. Di satu sisi, Jokowi dan kubunya juga
terlihat sibuk untuk melawan balik tuduhan dan pembangunan opini tersebut yang
di selingi dengan “pamer-pamer” prestasi kinerja serta kampanye negatif
terhadap sosok Prabowo yang juga bertujuan untuk membunuh karakter dan
reputasi Prabowo di mata publik.
Maka dari itu, iklim politik yang
konstruktif dimana penuh dengan adu gagasan, adu solusi, dan ide-ide progresif
untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang belum terselesaikan atau belum
optimal selama masa pemerintahan Jokowi masih belum terlihat secara nyata dalam
dinamika politik yang ada saat ini.
Saya sepaham dengan pendapat
peneliti senior LIPI Prof. Syamsuddin Haris bahwa dalam kontestasi politik
pilpres 2019 ini, hendaknya kedua kubu bertarung untuk memenangkan hati rakyat
dengan sarana-sarana konstuktif seperti adu gagasan, adu ide, adu solusi dan
adu program yang dapat membawa kemaslahatan bagi rakyat bukan justru dengan
kampanye negatif bahkan kampanye hitam yang mengancam dan berbahaya bagi tenun
persatuan, kesatuan, dan kebhinekaan yang telah lama kita bangun.
Menurut teori struktural fungsional Talcot Parson, politik
dalam kerangka sistem sosial adalah sebagai sub-sistem sosial yang berfungsi
untuk meng-agregasi kepentingan-kepentingan masyarakat guna pencapaian tujuan.
Sehingga dapat dipahami bahwa politik dalam hal ini kontestasi politik (pilpres
2019) adalah sebuah sarana bagi masyarakat Indonesia untuk mencapai tujuan
negara (social and state goals) sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Maka dari itu, di tengah
perbedaan pilihan dan persaingan politik yang ada, persatuan dan kesatuan
sebagai sebuah bangsa harus diletakkan diatas segalanya.
Prabowo dan Jokowi beserta para elite pendukung adalah patron politik bagi para akar rumput dan simpatisan, dimana pandangan dan sikap yang mereka pilih akan berpengaruh kuat dalam menentukan bagaimana akar rumput dan simpatisan berpandangan dan bersikap, hal ini merupakan wujud dari budaya paternalistik yang telah lama mengakar kuat dalam tradisi kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Dalam budaya paternalistik, kaum akar rumput atau klien akan meletakkan dirinya dalam posisi inferior yang patuh dan tunduk terhadap kewibawaan, sikap dan pandangan sang elite atau patron.
Maka dari itu, Prabowo dan Jokowi sebagai patron utama dalam kontestasi Pilpres 2019 ini harus mampu memberikan contoh dan suri tauladan bagaimana berkompetisi politik secara sehat dan bijak dimana meletakkan persatuan dan kesatuan sebagai prinsip fundamental yang bisa dikatakan lebih penting dari pada kontestasi politik itu sendiri.
Prabowo dan Jokowi beserta para elite kubunya harus mampu memberikan contoh nyata bagaimana berkompetisi politik secara sehat dan bijak dengan menjauhi penggunaan kampanye negatif (secara berlebihan), kampanye hitam, dan narasi-narasi agitasi yang bisa memecah belah kerukunan dan keharmonisan rakyat.
Selama Prabowo dan Jokowi beserta para elite kubunya tidak bisa mengimplementasikan cara berpolitik secara bijak dan sehat, maka selama itu pula iklim kontestasi politik dalam hal ini kontestasi Pilpres 2019 akan selalu dipenuhi dengan tensi panas, friksi, persaingan kotor dan cara-cara berpolitik yang non konstuktif, yang pada akhirnya tidak bisa memberikan pendewasaan dan pendidikan politik bagi masyarakat sekaligus mengancam dan berbahaya bagi iklim kerukunan dan keharmonisan kita sebagai sebuah bangsa.
“Politik
adalah sarana untuk mencapai tujuan dan kemaslahatan bersama bukan justru
sarana untuk menghancurkan ikatan kerukunan dan keharmonisan sebagai sebuah
bangsa”
Selesai
....
Selasa, 11 Desember 2018
PUISI : (BUKAN) POTRET NEGERI KU
Denyut malam menyisir tabir.
Kesenangan semu menggeliat riuh penuh kebebasan.
Pemuda-pemudi larut dalam persetan dunia menumpuk dosa.
Beradu syahwat melampiaskan nafsu birahi.
Bercumbu dalam ganasnya aroma whisky dan candu ekstasi.
Terbuai lemah saat mentari meninggi di sudut pagi.
Pengemban amanat rakyat pandai berkhianat.
Bergantian masuk bui terjerat korupsi.
Berdramaturgi seolah pengayom rakyat padahal lintah keji.
Menyengsarakan kaum jelata dalam ketimpangan sosial.
Membunuh harapan anak-anak beraroma keringat tuk mendapat martabat.
Secangkir kopi nan pekat terasa makin getir melekat.
Melihat penyemai rohani tak lagi menyejukkan umat.
Perangai demagogi dan agitasi menyesaki ruang publik.
Terpapar kepentingan politik praktis pengejar singgasana rakyat.
Bagaimana masa depan negeri ku jika kondisinya teruk seperti itu ?
Adakah secercah harapan akan khidmatnya hidup di negeri ini ?
Tetapi aku dapat tersenyum simpul penuh kelegaan.
Karena kondisi diatas ternyata (bukan) potret negeri ku.
Hehehee.
Rabu, 05 Desember 2018
PENGATURAN SKOR KEJAHATAN LUAR BIASA DALAM SEPAK BOLA
Apa kata yang tepat untuk melukiskan kondisi persepakbolaan
nasional kita ?. Bobrok, kusut, hancur, miskin prestasi, rusuh, tidak
profesional dan kata berkonotasi negatif lainnya pasti adalah kata-kata yang
akan keluar dan terucap dari para insan pecinta sepak bola nasional.
Tidak bisa di tampik bahwa kondisi persepakbolaan nasional
kita memang selalu erat dengan hal-hal yang sifatnya negatif khususnya dalam
kurun waktu dua-tiga dekade terakhir. Timnas miskin prestasi, penyelenggaraan
liga jauh dari kata profesional, penunggakan
gaji pemain, tawuran antar supporter maupun kerusuhan yang lazim terjadi. Dan
yang terhangat terungkapnya fakta (walau bukan hal baru) tentang adanya pengaturan skor atau “Match fixing” dalam kompetisi
persepakbolaan nasional yang semakin mencoreng dan memperburuk wajah
persepakbolaan nasional kita yang sejatinya sudah teramat buruk.
Pengaturan skor bisa dibilang adalah “Kejahatan luar biasa”
dalam dunia sepak bola, mengapa saya mengatakannya sebagai sebuah “kejahatan luar biasa” ? karena
pengaturan skor adalah sebuah perbuatan nir moral yang dilakukan secara
terencana dan sistematik, melibatkan pihak-pihak atau subyek dari sepak bola
yang menghancurkan esensi dan nilai-nilai fundamental yang terbangun dalam
sepak bola seperti kejujuran, sportifitas, fair
play, kerja keras dan prestasi.
Pengaturan skor membuat sepak bola keluar dari khitahnya
sebagai sebuah cabang olah raga yang memiliki berbagai sudut pandang nilai baik
nilai filosofis, normatif, maupun sosiologis. Secara filosofis sepak bola adalah olah
raga yang dibangun untuk menjalin persaudaraan, persatuan serta menanamkan nilai-nilai moral, namun pengaturan skor merusak itu semua, persaudaraan,
persatuan dan nilai-nilai moral tidak diperhatikan, karena pengaturan skor
hanya memiliki satu tujuan pragmatis yakni uang.
Kemudian secara normatif, sepak bola diadakan oleh sebuah
negara adalah untuk meraih prestasi, baik prestasi bagi pemain, prestasi bagi pelatih, maupun prestasi bagi klub yang kemudian bermuara kepada prestasi tim nasional untuk
mengharumkan nama bangsa dan negara dikancah internasional, namun dengan adanya
pengaturan skor semua itu menjadi rusak, prestasi bukan lagi menjadi tujuan
normatif.
Selanjutnya secara sosiologis, sepak bola adalah sarana yang
memiliki berbagai fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat, misalnya alat
pemersatu, integrasi sosial, fungsi ekonomis hinggga fungsi hiburan. Namun
adanya pengaturan skor telah merusak fungsi-fungsi sosial dari sepak bola
tersebut, sepak bola hanya menjadi ruang transaksional yang di manipulasi oleh
segelintir pihak untuk keuntungan pragmatis dengan mengabaikan nilai-nilai
sosial dalam masyarakat.
Dalam sebuah wawancara di metro tv antara Aiman Wicaksono
dan seorang runner (perantara
pengaturan skor) yang disamarkan identitasnya pada 2014 silam, terungkap
pengakuan yang mengejutkan, sang runner mengatakan
bahwa sekitar 75 % klub di indonesia terlibat pengaturan skor, sang runner juga mengatakan bahwa Indonesia
adalah ladang subur bagi pengaturan skor, karena subyek-subyek dalam sepak bola
Indonesia seperti klub, pemain, wasit bahkan oknum federasi terlalu uang oriented dan kurang memiliki integritas.
Sejatinya ada beberapa faktor kunci yang membuat pengaturan skor
di Indonesia tumbuh subur, pertama adalah karena lunaknya penegakan hukum dalam
hal ini adalah hukum pidana, yang kedua rendahnya komitmen federasi untuk memberantas
pengaturan skor, dan terakhir kondisi ekonomis klub-klub di Indonesia yang relatif lemah
yang dapat “memaksa” atau menggerus sisi idealisme dan integritas baik klub maupun pemain.
Klub-klub yang memiliki kondisi ekonomis lemah adalah obyek
dan sasaran empuk bagi para bandar judi untuk masuk. Klub yang memiliki kondisi
ekonomi lemah pasti erat dengan masalah penunggakan gaji pemain dan kondusifitas
internal yang kurang baik, dan hal itu menjadi faktor yang menyenangkan bagi
para bandar judi untuk menancapkan doktrin kotornya (memberikan sejumlah uang haram dengan nominal yang mengiurkan)
Jika sepak bola telah menjadi ajang perjudian (pengaturan
skor) maka sepak bola tak ubahnya permainan dadu, qiu-qiu, capsa dan
permainan-permainan judi lainnya yang melenceng jauh dari esensi dan
nilai-nilai fundamental yang terbangun dalam sepak bola. Sepak bola adalah olah
raga yang seharusnya dibangun dengan spirit-spirit sportivitas, kejujuran, fair play dan berorientasi pada prestasi
bukan justru menjadi ajang judi yang penuh dengan nilai-nilai kotor seperti suap, manipulatif,
ketidakjujuran dan berorientasi pragamatis semata-mata untuk meraup uang
sebanyak-banyaknya.
Untuk memberantas pengaturan skor sejatinya tidak sulit jika ada komitmen dan kesadaran kolektif untuk meletakkan sepak bola
sesuai khitahnya dari para subyek-subyek sepak bola seperti federasi,
pemerintah, klub, wasit, pelatih, dan tentunya pemain. Stake holders sepak bola tersebut harus memiliki komitmen kolektif,
bersinergi, satu visi dan bekerja sama untuk membangun suasana yang kondusif bagi
terciptanya iklim persepakbolaan yang ideal sehingga bandar-bandar judi susah
untuk masuk.
Ada dua upaya krusial untuk memberantas praktik pengaturan
skor, yakni upaya jangka pendek atau upaya represif dan juga upaya jangka
panjang atau upaya preventif. Dimana kedua upaya tersebut harus dipenuhi secara integral dan beriringan.
Upaya jangka pendek untuk memberantas pengaturan skor tak
lain dan tak bukan adalah penegakan hukum oleh otoritas negara dalam hal ini
pihak kepolisian, pihak kepolisian dapat masuk untuk menjerat para pelaku khususnya
para pelaku mind of idea dari praktik
pengaturan skor yakni bandar dan runner dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap, sedangkan untuk klub, pemain atau
pelatih cukup digunakan sanksi administratif dalam lingkup domain sepak bola (lex sportiva) yakni melalui komisi
disiplin. Sehingga dalam hal ini hukum pidana berfungsi sebagai ultimum remedium (obat terakhir).
Sedangkan upaya jangka panjang untuk memberantas pengaturan
skor adalah dengan membangun kondisi yang kondusif bagi terciptanya iklim
persepakbolaan yang berorientasi pada prestasi yakni melalui komitmen,
sinergitas, dan visi bersama dari para subyek-subyek sepak bola untuk membangun
iklim persepakbolaan nasional yang ideal dan kondusif. Federasi disini memegang
peranan penting karena federasi adalah penentu dan pembuat kebijakan serta regulasi
kompetisi persepakbolaan kita. Federasi (PSSI) harus mampu bersinergi dengan para stake holders sepak bola lainnya untuk meramu (merumuskan) kebijakan dan regulasi yang mendukung terciptanya kondisi yang kondusif dan ideal bagi iklim kompetisi persepakbolaan nasional kita.
Jika iklim persepakbolaan nasional belum
kondusif bagi terciptanya orientasi prestasi seperti masih banyak penunggakan
gaji pemain dan kondisi keuangan klub yang kembang kempis, maka dapat
dipastikan akan sangat sulit untuk memberantas praktik pengaturan skor.
Itu artinya faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya praktik
pengaturan skor harus ditekan seminimal mungkin yakni melalui penegakan hukum
yang tegas baik hukum pidana maupun lex
sportiva, dan juga komitmen bersama dari para stake holders sepak bola untuk membangun kondisi yang kondusif bagi iklim kompetisi persepakbolaan kita
khususnya mengenai kesehatan finansial klub guna memerangi praktik pengaturan
skor.
Dalam praktik pengaturan skor pemain adalah subyek kunci, karena mereka adalah aktor yang memainkan permainan sepak bola, pengaturan skor tidak akan pernah terjadi jika pemain tidak
mau melakukannya. Oleh karena itu, pemain diharapkan mampu menjaga dan meletakkan integritas, martabat dan etika profesi
diatas segalanya, namun faktor-faktor yang dapat menggerus idealisme dan
integritas para pemain seperti permasalahan penunggakan gaji hendaknya juga harus ditekan
seminimal mungkin.
Di sisi lain, media, masyarakat dan supporter juga harus
responsif dan berperan aktif untuk menekan praktik pengaturan skor, jika ada
indikasi pertandingan yang bernuansa pengaturan skor maka media, masyarakat dan
supporter dapat melalukan pelaporan kepada pihak yang berwenang atau setidaknya
memviralkan kejadian itu agar diketahui luas oleh masyarakat guna dapat
dilakukan tindakan lebih lanjut oleh pihak-pihak terkait
Pada akhirnya kita harus sepakat bahwa pengaturan skor
adalah “Kejahatan luar biasa” dalam sepak bola, perbuatan yang dilakukan secara
terencana dan sistematik yang memberangus esensi dan nilai-nilai fundamental
dalam sepak bola. Pengaturan skor adalah benalu yang menghambat prestasi persepakbolaan
kita, ia adalah musuh bersama yang harus kita lawan secara bersama-sama pula.
Sabtu, 01 Desember 2018
#EWAKOPSM
Ketika kita mencintai sesuatu, maka pasti ada alasan atau
argumentasi dibalik rasa cinta kita pada sesuatu tersebut. Alasan atau
argumentasi tersebut bisa mengenai hal-hal yang bersifat prinsipil atau juga bisa hanya karena hal-hal yang sifatnya sederhana.
Terkait dengan raca cinta, bisa dikatakan saya adalah
termasuk orang yang perfeksionis, dalam artian setiap melabuhkan hati pada
sesuatu pasti dilandasi dengan alasan dan juga dasar argumentasi yang kuat,
mengapa pada akhirnya saya melabuhkan hati pada sesuatu tersebut. Begitu juga
ketika saya melabuhkan hati untuk “Mencintai” klub sepak bola kebanggaan masyarakat
Sulawesi Selatan khususnya kota Makassar, bernama PSM Makassar, yang tentu juga
dilandasi dengan alasan dan dasar argumentasi yang kuat (saya jelaskan dibawah).
Klub sepak bola favorit saya di Indonesia adalah PSM
Makassar, mengapa PSM Makassar ? padahal saya berasal dari Jawa Tengah yang
seharusnya lebih “Wajar” kalau memfavoritkan klub-klub ikonik di Jawa Tengah
seperti PSIS Semarang atau Persis Solo. Mengingat pada umumnya faktor seseorang
memfavoritkan sebuah klub itu dipengaruhi oleh latar belakang wilayah, tradisi,
dan budaya dimana dia lahir dan tumbuh.
Misalnya orang yang lahir atau besar di Jakarta, maka
berpotensi besar akan menjadikan klub Persija Jakarta sebagai klub favoritnya,
mengingat wilayah, tradisi, dan budaya sepak bola masyarakat Jakarta adalah
tentang Persija Jakarta, misalnya lagi orang yang lahir atau besar di Surabaya,
maka berpotensi besar akan menjadikan klub Persebaya Surabaya sebagai klub
favoritnya.
Yang sedikit aneh adalah ketika ada seseorang memfavoritkan
sebuah klub yang jauh dari tradisi, budaya, dan wilayah dimana dia berada,
seperti halnya diri saya, lahir di Rembang, kemudian beranjak dewasa (kuliah)
di Semarang, namun justru memfavoritkan sebuah klub sepak bola asal Sulawesi
Selatan, sebuah tempat yang jauh dari lingkungan dan budaya sepak bola dimana
saya lahir dan berranjak dewasa.
Ada sebuah alasan dan argumentasi kuat mengapa saya
menjadikan PSM Makassar sebagai klub favorit saya di Indonesia, alasan dan
argumentasi tersebut adalah karena PSM Makassar adalah sebuah klub yang
memiliki tradisi dan karakter bermain. Tradisi dan karakter bermain yang merupakan manifestasi dari falsafah
dan nilai-nilai sosio kultural masyarakat setempat yakni masyarakat Sulawesi
Selatan dan kota Makassar secara khususnya.
Falsafah dan nilai-nilai sosio kultural masyarakat setempat
seperti Sirri Na Pacce, Paentingi Siri’nu
dan Ewako menjelma dan dijiwai
sebagai sebuah karakter dan gaya bermain klub PSM Makassar yang kemudian di
ejawantahkan dengan karakter dan gaya bermain gigih, pantang menyerah, lugas,
keras, tanpa kompromi, berjuang habis-habisan serta bertanding bukan hanya untuk
menang (profesionalitas) tetapi juga untuk harga diri serta martabat masyarakat
Sulawesi Selatan dan Makassar secara khususnya. Pemain, supporter dan segenap
elemen klub memiliki nilai filosofis perjuangan seperti itu yang telah mengakar turun
temurun dari generasi ke generasi.
Menurut hemat saya, PSM Makassar adalah klub di Indonesia yang
memiliki values, values yang berakar dari falsafah dan nilai-nilai sosio kultural
masyarakat setempat, dengan demikian PSM Makassar menjelma bukan hanya sekedar klub sepak bola,
tetapi juga pranata sosial yang menjadi identitas, kebanggaan, pengejawantahan
emosi, dan sarana integrasi sosial yang menyatukan sekat-sekat kemajemukan
masyarakat Sulawesi Selatan dan Makassar secara khususnya.
PSM Makassar merupakan klub tertua di Indonesia yang kini
telah berusia 103 tahun, PSM memiliki sejarah panjang akan sebuah dedikasi dan
kontribusi kepada bangsa dan negara ini khususnya dalam dunia sepak bola, dalam
setiap era, PSM hampir tak pernah berhenti menyetor pemain-pemain berkualitas
untuk tim nasional baik senior hingga kelompok umur sebut saja Ramang, Rony
Patinasarani, Ansar Razak, Syamsul Bachri Chaerudin, Rasyid Bakri hingga Asnawi
Mangkualam.
PSM Makassar juga merupakan klub sarat prestasi, di era
perserikatan PSM berhasil mengoleksi 5 gelar juara dan 4 kali runner-up, sedangkan di era liga
Indonesia PSM berhasil menggondol satu gelar juara dan 4 kali runner-up. PSM juga merupakan klub yang
belum pernah ter-degradasi dari kompetisi kasta tertinggi persepakbolaan
nasional. Di tingkat regional Asia PSM juga pernah mencatatkan prestasi gemilang
dengan mampu mencapai babak perempat final liga champions Asia pada musim
2000-2001.
Satu-satunya gelar yang berhasil diraih PSM di era liga Indonesia
adalah pada tahun 2000 silam saat mengkandaskan perlawanan PKT Bontang di
partai final yang di helat di Stadion Gelora Bung Karno, sudah sangat lama klub
sebesar PSM tidak lagi mengecap manisnya gelar juara, tahun ini PSM Makassar
memiliki peluang emas untuk menghapus dahaga dan kerinduan akan gelar juara
liga kasta tertinggi di Indonesia yang terakhir mereka raih 18 tahun silam,
menyisakan dua pertandingan lagi PSM bersaing ketat dengan klub ibu kota
Persija Jakarta yang juga sama-sama rindu akan gelar juara yang terakhir mereka
raih 17 tahun lalu, PSM sementara mengoleksi 57 poin dan Persija 56 poin, sebagai pendukung PSM Makassar tentu saya berharap PSM lah
yang akan keluar menjadi sang juara.
Akhir sekali pesan saya untuk PSM Makassar :
Akhir sekali pesan saya untuk PSM Makassar :
PSM Makassar berjuanglah sekuat tenaga seperti cerminan falsafah dan nilai-nilai budaya dimana kau berasal, percayalah pada
kemampuan diri sendiri tanpa meremehkan lawan, doa dari orang-orang yang
mencintaimu dan perjuangan maksimal dari seluruh elemen klub insyaallah mampu menghapus dahaga dan rindu akan gelar juara yang telah tersemat 18 tahun lamanya di hati, pikiran, jiwa dan emosi kami.
#EWAKOPSM !!!
Langganan:
Postingan (Atom)