Politik memiliki berbagai konsepsi dan perspektif yang
menarik untuk di kaji, secara ideal-filosofis politik adalah sarana pengabdian
untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, kemudian secara normatif –pragmatis
politik adalah sarana untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan, dan secara
sosiologis, politik adalah sarana untuk mengakomodir aspirasi-aspirasi rakyat
demi terwujudnya keadilan dan
kesejahteraan sosial.
Dalam perspektif
normatif-pragmatis politik dapat dipahami sebagai sebuah seni untuk meraih atau
mempertahankan kekuasaan, seni dalam arti cara untuk mendapatkan simpati dan afeksi
dari rakyat (pemilih) dengan berbagai bentuknya baik positif, negatif maupun
netral seperti retorika, pencitraan, janji, populisme, program, gagasan,
dramaturgi, kampanye hitam, kampanye negatif dll, yang tujuannya agar rakyat
memilihnya untuk menjadi wakil pemegang kedaulatan rakyat baik di bidang
legislatif maupun eksekutif. Sederhananya politik adalah seni untuk memenangkan
hati rakyat.
Sehingga dapat dipahami disini bahwa
“Seni” untuk memenangkan hati rakyat itu dapat berbentuk positif (program,
gagasan dll) dapat juga berbentuk negatif (retorika, kampanye hitam, kampanye
negatif, populisme dll), dan juga dapat berbentuk netral (pencitraan, janji
dll). Positif disini dalam arti mengandung makna konstruktif bagi kehidupan
sosial, negatif disini dalam arti mengandung bibit dan potensi bagi timbulnya
hal-hal negatif seperti permusuhan, friksi hingga perpecahan, dan netral disini
dalam arti tidak mengandung makna yang tendensius dan menjurus baik ke arah
positif maupun ke arah negatif.
Memasuki tahun politik dan
terlebih sudah memasuki masa kampanye, bentuk-bentuk seni politik untuk meraih
simpati dan afeksi masyarakat mulai menyesaki ruang-ruang kehidupan kita baik
dalam dunia nyata maupun dunia maya. Khususnya terkait hajat demokrasi paling
akbar yakni pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 mendatang. Pilpres 2019 sendiri
mampu mempolarisasi masyarakat menjadi dua golongan yakni kaum cebong (pro
Jokowi) dan kaum kampret (pro Prabowo).
Kedua “Kaum” ini baik yang berada
dalam struktural maupun simpatisan non struktural begitu masif berebut simpati
dan afeksi dari masyarakat dengan berbagai cara dan bentuk yang sayangnya cara
dan bentuk-bentuk untuk meraih simpati dan afeksi dari masyarakat tersebut
cenderung menjurus ke arah yang negatif seperti kampanye negatif dan kampanye
hitam (black campaign).
Kampanye negatif adalah kampanye
yang sah secara hukum namun memiliki potensi besar untuk menimbulkan bibit
permusuhan serta tidak memberikan pendidikan politik yang mencerdaskan bagi publik jika dilakukan secara berlebihan. Kampanye negatif dapat di ejawantahkan dengan memperlihatkan
kelemahan-kelemahan faktual dari lawan politik baik secara pribadi maupun
secara kinerja (rekam jejak) untuk membangun persepsi bahwa dialah yang lebih
pantas dari pada sang lawan. Mengapa kampanye negatif saya katakan memiliki
potensi besar untuk menimbulkan bibit permusuhan ? karena secara logis lawan
politik yang di “Serang” dengan kampanye negatif tersebut tentu akan melawan
balik, baik dengan sesama kampanye negatif maupun juga dengan kampanye hitam.
Dan jika ini terus berulang (saling serang), maka nuansa politik yang
konstruktif dan kondusif akan sulit mewujud dalam kontestasi politik yang ada,
karena yang timbul kemudian hanyalah sikap saling membenci dan saling bermusuhan
khususnya para akar rumput atau pendukung kedua calon, yang pada akhirnya tidak dapat
memberikan nuansa pendidikan dan pendewasaan politik bagi masyarakat.
Lalu apa tidak boleh sama sekali
melakukan kampanye negatif ? menurut saya boleh saja dan perlu namun dalam
batas dan frekuensi yang proporsional serta di landasi dengan iktikad baik,
kampanye negatif haruslah digunakan sekedar untuk mengkritik calon lawan
politik, yang harus di bungkus dengan solusi dan ide progresif tentang
bagaimana menghadirkan solusi bagi permasalahan sosial masyarakat yang
sekiranya tidak mampu dihadirkan oleh pihak lawan. Dengan demikian, nuansa
kontruktif dan penuh gagasan akan dapat terbangun dalam iklim kontestasi
politik yang ada.
Sedangkan kampanye hitam sendiri adalah
kampanye kotor atau kampanye jahat untuk membunuh karakter dan reputasi lawan
politik dengan hal-hal yang tidak sesuai kenyataan, kampanye hitam disini
meliputi perbuatan-perbuatan yang dapat di hukum oleh hukum positif negara
seperti fitnah, pencemaran nama baik, agitasi, hoax dll. Kampanye hitam memiliki
potensi sangat besar bahkan pada level “Pasti” untuk menghadirkan friksi dalam
kehidupan bermasyarakat, sehingga harus di jauhi
sejauh-jauhnya.
Kampanye hitam sangat berbahaya bagi
keutuhan tenun persatuan, kesatuan dan kebhinekaan yang telah lama kita bangun,
kampanye hitam tidak hanya membunuh esensi demokrasi tetapi juga berimplikasi
negatif bagi kehidupan kita sebagai sebuah bangsa, tidak hanya saat ini tetapi
juga di masa depan. Karena warisan dari pada kampanye hitam hanyalah kebencian
dan rasa dendam.
KRIMINALISASI ULAMA
Dalam berbagai wujud kampanye
hitam yang ada dan menyeruak dalam relung sosial kehidupan kita, sejujurnya
saya agak risih dengan adanya pembangunan persepsi publik tentang Kriminalisasi Ulama yang dibangun oleh
kubu Prabowo terhadap sosok Jokowi yang menurut saya telah cacat dalam 2 hal
yakni teoritis dan faktual bahkan bisa menjadi tiga hal namun untuk satu hal
tambahan ini saya kira bukan domain saya untuk menilainya hehehe.
Pertama, dari sudut teoritis,
kriminalisasi adalah konsep dalam disiplin ilmu kriminologi (ilmu
bantu bagi ilmu hukum pidana) yang membahas mengenai proses memformulasikan
suatu tindakan atau perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi sebuah
tindak pidana dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu khususnya faktor
sosiologis. Kebalikan dari kriminalisasi adalah dekriminalisasi yakni proses
memformulasikan suatu tindakan atau perbuatan yang semula termasuk tindak
pidana menjadi bukan tindak pidana.
Di sini dapat kita pahami bahwa
sejatinya telah terjadi kesalahan laten oleh masyarakat dalam memahami dan
mengkonsepsikan arti dari pada kriminalisasi itu sendiri, kriminalisasi sering
diartikan sebagai tindakan mengkriminalkan dan merekayasa seseorang atau
sekelompok orang agar dapat di pidana. Atau secara sederhananya membuat
seseorang yang tidak layak untuk di pidana menjadi dapat di pidana baik dengan
rekayasa ataupun penggunaan tekanan otoritas kekuasaan. Oleh karenanya, dipandang
dari sudut teoritis sejatinya arti kriminalisasi ulama itu sendiri telah cacat
dan gugur.
Kemudian yang kedua, dari sisi
faktual, dalam hal ini okelah kita mencoba menggunakan arti yang umum dipahami
publik dalam mengartikan kriminalisasi yaitu upaya untuk memidanakan seseorang
atau sekelompok orang yang sebenarnya tidak layak di pidana menjadi dapat di
pidana dengan rekayasa atau penggunaan tekanan otoritas kekuasaan. Lalu apa
benar ada kriminalisasi ulama yang dilakukan oleh Jokowi sebagaimana opini yang
dibangun oleh pihak Prabowo? hmmm menurut hemat saya hal itu jauh dari
kenyataan dan merupakan opini yang menyesatkan.
Negara kita adalah negara hukum
yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dimana seseorang tidak
bisa begitu saja di tangkap, di tahan, di tetapkan menjadi tersangka, menjadi
terdakwa hingga menjadi terpidana tanpa di dasari landasan hukum formal
sebagaimana diatur secara limitatif dalam KUHAP maupun Undang-Undang terkait
lainnya, selain itu, bagi tersangka, terdakwa, hingga terpidana pun diberikan hak
dan berbagai upaya hukum untuk mendapatkan keadilan serta untuk menguji
keabsahan dari penetapan maupun putusan pengadilan terhadap perkara hukum yang
membelitnya, baik itu bantuan hukum, praperadilan, banding, kasasi, peninjauan
kembali hingga grasi. Jadi mustahil rasanya ada upaya mengkriminalisasi (dengan
rekayasa dan tekanan otoritas) terhadap seseorang atau sekelompok orang dewasa
ini.
Kasus yang membelit Habib Rizieq
(dahulu) dan baru-baru ini Habib Bahar bin Smith yang ditetapkan sebagai
tersangka pun masif di jadikan contoh faktual dan landasan legitimasi untuk
mengatakan bahwa Jokowi telah mengkriminalisasi
ulama, marilah kita berpikir jernih disini, pertama, jika merasa penetapan
tersangka tersebut tidak sah secara hukum, maka tinggal di ajukan saja upaya
praperadilan sebagai mekanisme untuk menguji keabsahan penetapan tersangka
tersebut, dalam negara hukum demokratis negara memberikan berbagai sarana dan
mekanisme hukum bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan.
Kedua, jika memproses hukum
seorang ulama yang (diduga) melanggar hukum positif itu diartikan sebagai
kriminalisasi ulama, maka sejatinya kejernihan akal sehat dan pikiran kita
sudah tercemar teruk, hukum positif itu tidak melihat siapa yang melakukan
tetapi apa yang dilakukan, tidak ada manusia yang kebal terhadap hukum, siapapun
itu baik Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, anggota DPR, ulama hingga rakyat
biasa jika melanggar hukum ya harus di proses sesuai hukum yang berlaku demi
tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan prinsip equality before the law.
Melihat realitas yang ada, bisa
dikatakan pembangunan opini Jokowi mengkriminalisasi ulama adalah sekadar
komodifikasi politik untuk membunuh karakter dan reputasi Jokowi di mata
publik, dan sayangnya kubu oposisi seringkali menggunakan cara-cara ini untuk
meraih simpati masyarakat bukan dengan adu gagasan, adu program, dan adu solusi
untuk menyelesaikan permasalahan bangsa. Di satu sisi, Jokowi dan kubunya juga
terlihat sibuk untuk melawan balik tuduhan dan pembangunan opini tersebut yang
di selingi dengan “pamer-pamer” prestasi kinerja serta kampanye negatif
terhadap sosok Prabowo yang juga bertujuan untuk membunuh karakter dan
reputasi Prabowo di mata publik.
Maka dari itu, iklim politik yang
konstruktif dimana penuh dengan adu gagasan, adu solusi, dan ide-ide progresif
untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang belum terselesaikan atau belum
optimal selama masa pemerintahan Jokowi masih belum terlihat secara nyata dalam
dinamika politik yang ada saat ini.
Saya sepaham dengan pendapat
peneliti senior LIPI Prof. Syamsuddin Haris bahwa dalam kontestasi politik
pilpres 2019 ini, hendaknya kedua kubu bertarung untuk memenangkan hati rakyat
dengan sarana-sarana konstuktif seperti adu gagasan, adu ide, adu solusi dan
adu program yang dapat membawa kemaslahatan bagi rakyat bukan justru dengan
kampanye negatif bahkan kampanye hitam yang mengancam dan berbahaya bagi tenun
persatuan, kesatuan, dan kebhinekaan yang telah lama kita bangun.
Menurut teori struktural fungsional Talcot Parson, politik
dalam kerangka sistem sosial adalah sebagai sub-sistem sosial yang berfungsi
untuk meng-agregasi kepentingan-kepentingan masyarakat guna pencapaian tujuan.
Sehingga dapat dipahami bahwa politik dalam hal ini kontestasi politik (pilpres
2019) adalah sebuah sarana bagi masyarakat Indonesia untuk mencapai tujuan
negara (social and state goals) sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Maka dari itu, di tengah
perbedaan pilihan dan persaingan politik yang ada, persatuan dan kesatuan
sebagai sebuah bangsa harus diletakkan diatas segalanya.
Prabowo dan Jokowi beserta para elite pendukung adalah patron politik bagi para akar rumput dan simpatisan, dimana pandangan dan sikap yang mereka pilih akan berpengaruh kuat dalam menentukan bagaimana akar rumput dan simpatisan berpandangan dan bersikap, hal ini merupakan wujud dari budaya paternalistik yang telah lama mengakar kuat dalam tradisi kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Dalam budaya paternalistik, kaum akar rumput atau klien akan meletakkan dirinya dalam posisi inferior yang patuh dan tunduk terhadap kewibawaan, sikap dan pandangan sang elite atau patron.
Maka dari itu, Prabowo dan Jokowi sebagai patron utama dalam kontestasi Pilpres 2019 ini harus mampu memberikan contoh dan suri tauladan bagaimana berkompetisi politik secara sehat dan bijak dimana meletakkan persatuan dan kesatuan sebagai prinsip fundamental yang bisa dikatakan lebih penting dari pada kontestasi politik itu sendiri.
Prabowo dan Jokowi beserta para elite kubunya harus mampu memberikan contoh nyata bagaimana berkompetisi politik secara sehat dan bijak dengan menjauhi penggunaan kampanye negatif (secara berlebihan), kampanye hitam, dan narasi-narasi agitasi yang bisa memecah belah kerukunan dan keharmonisan rakyat.
Selama Prabowo dan Jokowi beserta para elite kubunya tidak bisa mengimplementasikan cara berpolitik secara bijak dan sehat, maka selama itu pula iklim kontestasi politik dalam hal ini kontestasi Pilpres 2019 akan selalu dipenuhi dengan tensi panas, friksi, persaingan kotor dan cara-cara berpolitik yang non konstuktif, yang pada akhirnya tidak bisa memberikan pendewasaan dan pendidikan politik bagi masyarakat sekaligus mengancam dan berbahaya bagi iklim kerukunan dan keharmonisan kita sebagai sebuah bangsa.
“Politik
adalah sarana untuk mencapai tujuan dan kemaslahatan bersama bukan justru
sarana untuk menghancurkan ikatan kerukunan dan keharmonisan sebagai sebuah
bangsa”
Selesai
....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar