Kamis, 20 Desember 2018

POLITIK SEBAGAI SENI, KRIMINALISASI ULAMA DAN PATERNALISTIK POLITIK




Politik memiliki berbagai konsepsi dan perspektif yang menarik untuk di kaji, secara ideal-filosofis politik adalah sarana pengabdian untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, kemudian secara normatif –pragmatis politik adalah sarana untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan, dan secara sosiologis, politik adalah sarana untuk mengakomodir aspirasi-aspirasi rakyat demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial.

Dalam perspektif normatif-pragmatis politik dapat dipahami sebagai sebuah seni untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan, seni dalam arti cara untuk mendapatkan simpati dan afeksi dari rakyat (pemilih) dengan berbagai bentuknya baik positif, negatif maupun netral seperti retorika, pencitraan, janji, populisme, program, gagasan, dramaturgi, kampanye hitam, kampanye negatif dll, yang tujuannya agar rakyat memilihnya untuk menjadi wakil pemegang kedaulatan rakyat baik di bidang legislatif maupun eksekutif. Sederhananya politik adalah seni untuk memenangkan hati rakyat.

Sehingga dapat dipahami disini bahwa “Seni” untuk memenangkan hati rakyat itu dapat berbentuk positif (program, gagasan dll) dapat juga berbentuk negatif (retorika, kampanye hitam, kampanye negatif, populisme dll), dan juga dapat berbentuk netral (pencitraan, janji dll). Positif disini dalam arti mengandung makna konstruktif bagi kehidupan sosial, negatif disini dalam arti mengandung bibit dan potensi bagi timbulnya hal-hal negatif seperti permusuhan, friksi hingga perpecahan, dan netral disini dalam arti tidak mengandung makna yang tendensius dan menjurus baik ke arah positif maupun ke arah negatif.

Memasuki tahun politik dan terlebih sudah memasuki masa kampanye, bentuk-bentuk seni politik untuk meraih simpati dan afeksi masyarakat mulai menyesaki ruang-ruang kehidupan kita baik dalam dunia nyata maupun dunia maya. Khususnya terkait hajat demokrasi paling akbar yakni pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 mendatang. Pilpres 2019 sendiri mampu mempolarisasi masyarakat menjadi dua golongan yakni kaum cebong (pro Jokowi) dan kaum kampret (pro Prabowo).

Kedua “Kaum” ini baik yang berada dalam struktural maupun simpatisan non struktural begitu masif berebut simpati dan afeksi dari masyarakat dengan berbagai cara dan bentuk yang sayangnya cara dan bentuk-bentuk untuk meraih simpati dan afeksi dari masyarakat tersebut cenderung menjurus ke arah yang negatif seperti kampanye negatif dan kampanye hitam (black campaign).

Kampanye negatif adalah kampanye yang sah secara hukum namun memiliki potensi besar untuk menimbulkan bibit permusuhan serta tidak memberikan pendidikan politik yang mencerdaskan bagi publik jika dilakukan secara berlebihan. Kampanye negatif dapat di ejawantahkan dengan memperlihatkan kelemahan-kelemahan faktual dari lawan politik baik secara pribadi maupun secara kinerja (rekam jejak) untuk membangun persepsi bahwa dialah yang lebih pantas dari pada sang lawan. Mengapa kampanye negatif saya katakan memiliki potensi besar untuk menimbulkan bibit permusuhan ? karena secara logis lawan politik yang di “Serang” dengan kampanye negatif tersebut tentu akan melawan balik, baik dengan sesama kampanye negatif maupun juga dengan kampanye hitam. Dan jika ini terus berulang (saling serang), maka nuansa politik yang konstruktif dan kondusif akan sulit mewujud dalam kontestasi politik yang ada, karena yang timbul kemudian hanyalah sikap saling membenci dan saling bermusuhan khususnya para akar rumput atau pendukung kedua calon, yang pada akhirnya tidak dapat memberikan nuansa pendidikan dan pendewasaan politik bagi masyarakat.

Lalu apa tidak boleh sama sekali melakukan kampanye negatif ? menurut saya boleh saja dan perlu namun dalam batas dan frekuensi yang proporsional serta di landasi dengan iktikad baik, kampanye negatif haruslah digunakan sekedar untuk mengkritik calon lawan politik, yang harus di bungkus dengan solusi dan ide progresif tentang bagaimana menghadirkan solusi bagi permasalahan sosial masyarakat yang sekiranya tidak mampu dihadirkan oleh pihak lawan. Dengan demikian, nuansa kontruktif dan penuh gagasan akan dapat terbangun dalam iklim kontestasi politik yang ada.

Sedangkan kampanye hitam sendiri adalah kampanye kotor atau kampanye jahat untuk membunuh karakter dan reputasi lawan politik dengan hal-hal yang tidak sesuai kenyataan, kampanye hitam disini meliputi perbuatan-perbuatan yang dapat di hukum oleh hukum positif negara seperti fitnah, pencemaran nama baik, agitasi, hoax dll. Kampanye hitam memiliki potensi sangat besar bahkan pada level “Pasti” untuk menghadirkan friksi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga harus di jauhi sejauh-jauhnya.

Kampanye hitam sangat berbahaya bagi keutuhan tenun persatuan, kesatuan dan kebhinekaan yang telah lama kita bangun, kampanye hitam tidak hanya membunuh esensi demokrasi tetapi juga berimplikasi negatif bagi kehidupan kita sebagai sebuah bangsa, tidak hanya saat ini tetapi juga di masa depan. Karena warisan dari pada kampanye hitam hanyalah kebencian dan rasa dendam.

KRIMINALISASI ULAMA

Dalam berbagai wujud kampanye hitam yang ada dan menyeruak dalam relung sosial kehidupan kita, sejujurnya saya agak risih dengan adanya pembangunan persepsi publik tentang Kriminalisasi Ulama yang dibangun oleh kubu Prabowo terhadap sosok Jokowi yang menurut saya telah cacat dalam 2 hal yakni teoritis dan faktual bahkan bisa menjadi tiga hal namun untuk satu hal tambahan ini saya kira bukan domain saya untuk menilainya hehehe.

Pertama, dari sudut teoritis, kriminalisasi adalah konsep dalam disiplin ilmu kriminologi (ilmu bantu bagi ilmu hukum pidana) yang membahas mengenai proses memformulasikan suatu tindakan atau perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi sebuah tindak pidana dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu khususnya faktor sosiologis. Kebalikan dari kriminalisasi adalah dekriminalisasi yakni proses memformulasikan suatu tindakan atau perbuatan yang semula termasuk tindak pidana menjadi bukan tindak pidana.

Di sini dapat kita pahami bahwa sejatinya telah terjadi kesalahan laten oleh masyarakat dalam memahami dan mengkonsepsikan arti dari pada kriminalisasi itu sendiri, kriminalisasi sering diartikan sebagai tindakan mengkriminalkan dan merekayasa seseorang atau sekelompok orang agar dapat di pidana. Atau secara sederhananya membuat seseorang yang tidak layak untuk di pidana menjadi dapat di pidana baik dengan rekayasa ataupun penggunaan tekanan otoritas kekuasaan. Oleh karenanya, dipandang dari sudut teoritis sejatinya arti kriminalisasi ulama itu sendiri telah cacat dan gugur.

Kemudian yang kedua, dari sisi faktual, dalam hal ini okelah kita mencoba menggunakan arti yang umum dipahami publik dalam mengartikan kriminalisasi yaitu upaya untuk memidanakan seseorang atau sekelompok orang yang sebenarnya tidak layak di pidana menjadi dapat di pidana dengan rekayasa atau penggunaan tekanan otoritas kekuasaan. Lalu apa benar ada kriminalisasi ulama yang dilakukan oleh Jokowi sebagaimana opini yang dibangun oleh pihak Prabowo? hmmm menurut hemat saya hal itu jauh dari kenyataan dan merupakan opini yang menyesatkan.

Negara kita adalah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dimana seseorang tidak bisa begitu saja di tangkap, di tahan, di tetapkan menjadi tersangka, menjadi terdakwa hingga menjadi terpidana tanpa di dasari landasan hukum formal sebagaimana diatur secara limitatif dalam KUHAP maupun Undang-Undang terkait lainnya, selain itu, bagi tersangka, terdakwa, hingga terpidana pun diberikan hak dan berbagai upaya hukum untuk mendapatkan keadilan serta untuk menguji keabsahan dari penetapan maupun putusan pengadilan terhadap perkara hukum yang membelitnya, baik itu bantuan hukum, praperadilan, banding, kasasi, peninjauan kembali hingga grasi. Jadi mustahil rasanya ada upaya mengkriminalisasi (dengan rekayasa dan tekanan otoritas) terhadap seseorang atau sekelompok orang dewasa ini.

Kasus yang membelit Habib Rizieq (dahulu) dan baru-baru ini Habib Bahar bin Smith yang ditetapkan sebagai tersangka pun masif di jadikan contoh faktual dan landasan legitimasi untuk mengatakan bahwa Jokowi telah mengkriminalisasi ulama, marilah kita berpikir jernih disini, pertama, jika merasa penetapan tersangka tersebut tidak sah secara hukum, maka tinggal di ajukan saja upaya praperadilan sebagai mekanisme untuk menguji keabsahan penetapan tersangka tersebut, dalam negara hukum demokratis negara memberikan berbagai sarana dan mekanisme hukum bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan.

Kedua, jika memproses hukum seorang ulama yang (diduga) melanggar hukum positif itu diartikan sebagai kriminalisasi ulama, maka sejatinya kejernihan akal sehat dan pikiran kita sudah tercemar teruk, hukum positif itu tidak melihat siapa yang melakukan tetapi apa yang dilakukan, tidak ada manusia yang kebal terhadap hukum, siapapun itu baik Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, anggota DPR, ulama hingga rakyat biasa jika melanggar hukum ya harus di proses sesuai hukum yang berlaku demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan prinsip equality before the law.

Melihat realitas yang ada, bisa dikatakan pembangunan opini Jokowi mengkriminalisasi ulama adalah sekadar komodifikasi politik untuk membunuh karakter dan reputasi Jokowi di mata publik, dan sayangnya kubu oposisi seringkali menggunakan cara-cara ini untuk meraih simpati masyarakat bukan dengan adu gagasan, adu program, dan adu solusi untuk menyelesaikan permasalahan bangsa. Di satu sisi, Jokowi dan kubunya juga terlihat sibuk untuk melawan balik tuduhan dan pembangunan opini tersebut yang di selingi dengan “pamer-pamer” prestasi kinerja serta kampanye negatif terhadap sosok Prabowo yang juga bertujuan untuk membunuh karakter dan reputasi Prabowo di mata publik.

Maka dari itu, iklim politik yang konstruktif dimana penuh dengan adu gagasan, adu solusi, dan ide-ide progresif untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang belum terselesaikan atau belum optimal selama masa pemerintahan Jokowi masih belum terlihat secara nyata dalam dinamika politik yang ada saat ini.

Saya sepaham dengan pendapat peneliti senior LIPI Prof. Syamsuddin Haris bahwa dalam kontestasi politik pilpres 2019 ini, hendaknya kedua kubu bertarung untuk memenangkan hati rakyat dengan sarana-sarana konstuktif seperti adu gagasan, adu ide, adu solusi dan adu program yang dapat membawa kemaslahatan bagi rakyat bukan justru dengan kampanye negatif bahkan kampanye hitam yang mengancam dan berbahaya bagi tenun persatuan, kesatuan, dan kebhinekaan yang telah lama kita bangun.

Menurut teori struktural fungsional Talcot Parson, politik dalam kerangka sistem sosial adalah sebagai sub-sistem sosial yang berfungsi untuk meng-agregasi kepentingan-kepentingan masyarakat guna pencapaian tujuan. Sehingga dapat dipahami bahwa politik dalam hal ini kontestasi politik (pilpres 2019) adalah sebuah sarana bagi masyarakat Indonesia untuk mencapai tujuan negara (social and state goals) sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Maka dari itu, di tengah perbedaan pilihan dan persaingan politik yang ada, persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa harus diletakkan diatas segalanya.

Prabowo dan Jokowi beserta para elite pendukung adalah patron politik bagi para akar rumput dan simpatisan, dimana pandangan dan sikap yang mereka pilih akan berpengaruh kuat dalam menentukan bagaimana akar rumput dan simpatisan berpandangan dan bersikap, hal ini merupakan wujud dari budaya paternalistik yang telah lama mengakar kuat dalam tradisi kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Dalam budaya paternalistik, kaum akar rumput atau klien akan meletakkan dirinya dalam posisi inferior yang patuh dan tunduk terhadap kewibawaan, sikap dan pandangan sang elite atau patron.

Maka dari itu, Prabowo dan Jokowi sebagai patron utama dalam kontestasi Pilpres 2019 ini harus mampu memberikan contoh dan suri tauladan bagaimana berkompetisi politik secara sehat dan bijak dimana meletakkan persatuan dan kesatuan sebagai prinsip fundamental yang bisa dikatakan lebih penting dari pada kontestasi politik itu sendiri.

Prabowo dan Jokowi beserta para elite kubunya harus mampu memberikan contoh nyata bagaimana berkompetisi politik secara sehat dan bijak dengan menjauhi penggunaan kampanye negatif (secara berlebihan), kampanye hitam, dan narasi-narasi agitasi yang bisa memecah belah kerukunan dan keharmonisan rakyat.

Selama Prabowo dan Jokowi beserta para elite kubunya tidak bisa mengimplementasikan cara berpolitik secara bijak dan sehat, maka selama itu pula iklim kontestasi politik dalam hal ini kontestasi Pilpres 2019 akan selalu dipenuhi dengan tensi panas, friksi, persaingan kotor dan cara-cara berpolitik yang non konstuktif, yang pada akhirnya tidak bisa memberikan pendewasaan dan pendidikan politik bagi masyarakat sekaligus mengancam dan berbahaya bagi iklim kerukunan dan keharmonisan kita sebagai sebuah bangsa.


“Politik adalah sarana untuk mencapai tujuan dan kemaslahatan bersama bukan justru sarana untuk menghancurkan ikatan kerukunan dan keharmonisan sebagai sebuah bangsa”



Selesai ....





Tidak ada komentar:

Posting Komentar