“SEBUAH BANGSA YANG
TERPECAH DARI DALAM NISCAYA TIDAK AKAN MAMPU TEGAK BERDIRI”
Pemilu 2019 telah selesai digelar. 17 April lalu tepatnya,
pemilu serentak pilpres dan pileg untuk pertama kalinya dilaksanakan. Pemilu
2019 sendiri tercatat sebagai pemilu
terbesar di dunia lantaran melibatkan 5 pemilihan secara bersamaan yakni
pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR RI, pemilihan
anggota DPRD provinsi, pemilihan anggota DPRD kab/kota, dan pemilihan anggota
DPD.
Pada sisi lain, pemilu terbesar ini juga menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Ratusan korban berjatuhan. Hal yang tentu harus menjadi bahan evaluasi demi penyelenggaraan pemilu yang lebih baik kedepannya.
Pada sisi lain, pemilu terbesar ini juga menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Ratusan korban berjatuhan. Hal yang tentu harus menjadi bahan evaluasi demi penyelenggaraan pemilu yang lebih baik kedepannya.
Harus diakui meskipun masih terdapat beberapa kekurangan elementer seperti
keterlambatan logistik pemilu, kekurangan surat suara, dan permasalahan
administratif lainnya namun secara umum pemilu tahun ini relatif dapat berjalan
dengan baik.
Ada tiga dasar argumentasi mengapa saya mengatakan pemilu
tahun ini berjalan dengan baik. Pertama, partisipasi politik masyarakat relatif
baik, hal ini ditandai dengan meningkatnya presentase partisipasi pemilih dari
pemilu 2014 lalu. Menurut data KPU partisipasi pemilih pada pemilu tahun ini
mencapai 80,90% sedangkan pada pemilu 2014 lalu partisipasi pemilih pada
pilpres sebesar 69,58 sedangkan pada pileg sebesar 75,11 yang jika di rata-rata
menghasilkan partisipasi pemilih sekitar 72 %. Partisipasi pemilih yang
mencapai angka 80,90 % sendiri juga melampaui target KPU yang menargetkan
partisipasi pemilih pada pemilu 2019 ini sebesar 77,5 %.
Kedua, pemilu 2019 kali ini minim kecurangan khususnya
kecurangan yang dilakukan oleh pihak penyelenggara pemilu sedangkan untuk
kecurangan yang dilakukan oleh peserta pemilu memang masih menjadi problematika
tersendiri yang masih melekat kuat khususnya terkait money politic. Dari berita dan informasi yang saya lihat dan saya
baca baik di televisi maupun melalui surat kabar pasca pemilu kuat mengindikasikan
bahwa tidak ada kecurangan yang masif, sistematis, dan terstruktur yang
dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Oleh karenanya, nyaris tidak ada friksi serius yang terjadi pasca
pemilu yang dilatarbelakangi oleh kecurangan penyelenggara pemilu. Sedangkan secara legal tentu
saja seberapa besar kuantitas kecurangan yang terjadi pada pemilu tahun ini
akan dapat dilihat dari seberapa banyak gugatan dan hasil putusan pengadilan
yang menyatakan telah terjadi kecurangan pemilu. Dan hal ini tentunya dapat
kita lihat bersama nanti.
Ketiga, Pemilu 2019 kali ini relatif berjalan aman dan
damai. Meskipun para simpatisan kontestan pemilu (khususnya pilpres) selama
masa kampanye sering terlibat friksi sengit secara kontinu baik di dunia nyata
maupun dunia maya namun nyatanya pemilu tahun ini dapat berjalan dengan aman
dan damai tanpa gesekan yang berarti.
Namun ada satu hal yang menjadi concern kita bersama, yakni bagaimana mengembalikan kondusifitas
dan harmoni kebangsaan selepas pemilu ini. Karena nampaknya narasi-narasi
provokatif dan demagogis yang mengarah kepada bibit permusuhan dan delegitimasi
pemilu seperti desain kecurangan masih nyaring terdengar khususnya dilontarkan oleh pihak yang berpotensi
kalah pada pemilu, hal ini tentunya dapat dipahami sebagai sekadar ekspresi sikap tidak siap kalah dalam kontestasi. Meskipun demikian, kondisi ini hendaknya harus segera direduksi dan dinetrallisir demi kondusifitas
dan harmoni kebangsaan kita kedepan.
Perlu dipahami khususnya bagi para kontestan pemilu bahwa
pemilu adalah sarana, alat, upaya, dan wujud implementasi kedaulatan rakyat
untuk memilih pemimpin dan wakilnya guna membawa kesejahteraan dan kemaslahatan
bersama. Pemilu adalah sarana untuk mendapatkan mandat dari rakyat bukan hanya sekadar sarana
meraih prestise kekuasaan semata. Jika
memang dalam proses pemilu ada kecurangan dan ketidakadilan tentu ada mekanisme
tersendiri yang dapat ditempuh.
Sebagai negara hukum yang demokratis negara selalu
menyediakan sarana dan tempat untuk menguji segala sesuatu secara terbuka dan
imparsial. Oleh karenanya, jika para kontestan pemilu merasa dicurangi dan
diperlakukan secara tidak adil tentu mereka harus menempuh mekanisme
legal-konstitusional yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku, bukan justru malah sebaliknya sibuk membangun narasi-narasi perpecahan
dan delegitimasi pemilu yang berbahaya bagi persatuan dan kesatuan kita sebagai
sebuah bangsa.
Sikap kedewasaan dan
sportifitas dalam berdemokrasi hendaknya dapat di cerminkan oleh para kontestan
maupun elite politik dalam menyikapi hasil pemilu. Karena sikap itulah yang
akan menjadi panduan rakyat dalam menyikapi hasil pemilu.
Kontestan pemilu jangan membenturkan rakyat dengan rakyat di
akar rumput hanya demi syahwat kekuasaan. Karena modal sosial-politik kita untuk
berdiri sebagai sebuah negara besar dan beradab adalah persatuan dan kesatuan
sebagai sebuah bangsa yang majemuk. Ketika modal sosial-politik kita yakni
persatuan dan kesatuan telah hilang maka kehancuran negara ini hanyalah tinggal
menunggu waktu. Oleh karenanya, janganlah korbankan hal-hal fundamental bernegara
jangka panjang hanya demi hal-hal pragmatis yang bermuara pada kepentingan
kekuasaan semata.
Kedepan, demi menjaga harmoni dan kondusifitas pasca pemilu hendaknya
rekonsiliasi politik harus segera dilakukan khususnya oleh para kontestan pilpres (Prabowo-Sandiaga dan Jokowi-Ma’ruf Amin) mengingat suhu panas politik pasca
pemilu ini dilatarbelakangi oleh “klaim” hasil pilpres. Prabowo-Sandi dan
Jokowi-Ma’ruf beserta elite pendukungnya harus bertemu dan membangun narasi
perdamaian dan kesejukan yang dapat menjadi suluh bagi terwujudnya harmoni dan kondusifitas
pada akar rumput (rakyat).
Selain itu, tokoh-tokoh yang memiliki peran sebagai stabilitator sosial seperti pemuka agama, tokoh sosial hingga akademisi hendaknya juga mampu memainkan peran sebagai peredam suhu panas politik. Mengingat tokoh-tokoh tersebut adalah pembentuk opini publik yang memiliki pengaruh kuat dalam menentukan suasana kebatinan dan emosi masyarakat.
Selain itu, tokoh-tokoh yang memiliki peran sebagai stabilitator sosial seperti pemuka agama, tokoh sosial hingga akademisi hendaknya juga mampu memainkan peran sebagai peredam suhu panas politik. Mengingat tokoh-tokoh tersebut adalah pembentuk opini publik yang memiliki pengaruh kuat dalam menentukan suasana kebatinan dan emosi masyarakat.
Pada prinsipnya, Prabowo-Sandi, Jokowi-Ma’ruf beserta elite politiknya harus
dapat mengirimkan pesan kuat kepada para simpatisan dan akar rumput bahwa
persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa adalah sebuah hal fundamental yang
jauh lebih penting dari sekadar kontestasi politik untuk memperebutkan tahta
kekuasaan. Pilpres hendaknya diibaratkan seperti pertandingan sepak bola,
dimana setelah pertandingan berakhir kedua kubu akan saling bersalaman dengan
suasana cair penuh kehangatan. Nuansa seperti itulah yang seharusnya dicerminkan
oleh Prabowo-Sandi, Jokowi-Ma’ruf beserta elite pendukungnya. Tidak hanya sekadar narasi dan retorika namun harus mengejawantah secara sadar dan nyata dalam sikap dan perilaku baik di dunia nyata maupun dalam dunia maya (medsos).
Kedua kubu harus memahami bahwa tidak ada hal yang lebih penting
dalam bernegara selain menjaga persatuan dan kesatuan. Negara ini dapat merdeka
dan bertahan dengan kemerdekaan adalah karena persatuan dan kesatuan. Kekuasaan
adalah otoritas guna menjaga persatuan dan kesatuan bukan justru menjadi biang
keladi yang merenggut entitas persatuan dan kesatuan kita sebagai sebuah
bangsa. Maka, marilah kita semai semangat persatuan dan kesatuan, kita jaga harmoni dan kondusifitas bernegara agar negara ini selalu
dapat menjadi rumah yang nyaman bagi seluruh anak bangsa. Selamanya.