Sabtu, 13 April 2019

GOLPUT DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMILU 2019



Partisipasi politik warga negara adalah elemen penting bagi tumbuhnya budaya demokrasi dan proses internalisasi nilai-nilai kedaulatan rakyat dalam konstruksi sebuah negara demokratis. Partisipasi politik warga negara merupakan tolok untuk menilai kualitas demokrasi sebuah negara, semakin tinggi tingkat partisipasi politik mengindisikasikan bahwa warga negara memahami dan responsif melibatkan diri pada proses demokratisasi demi tercapainya cita-cita dan tujuan negara. Dan hal itu menandakan kualitas entitas dan kultur demokrasi yang baik.

Sebaliknya, jika tingkat partisipasi politik warga negara rendah, hal ini menjadi penanda bahwa entitas dan kultur demokrasi belum berada pada tataran yang semestinya atau sering disebut sebagai demokrasi semu (pseudo democrazy). Demokrasi semu adalah entitas demokrasi yang secara substantif maupun kultural belum mencerminkan nilai-nilai fundamental dari pada prinsip demokrasi khususnya dalam hal abstraksi partisipasi politik warga negara.

Dalam konteks demokrasi, sarana maupun tolok ukur untuk menilai kualitas dari pada demokrasi adalah pemilu. Pemilu adalah sarana bagi warga negara untuk menunaikan hak partisipasi politiknya. Oleh karena itu, tingkat partisipasi politik warga negara dalam pemilu akan menentukan bagaimana kualitas dari pada entitas dan kultur demokrasi.

Sebagaimana kita ketahui bersama, negara kita tercinta, Indonesia, pada tahun ini akan menggelar pesta demokrasi pemilu 2019, yang digelar 17 April mendatang. Sayangnya, pesta demokrasi tahun ini dibayangi oleh nada minor berupa potensi ekskalasi golput yang tinggi. Menurut beberapa survey dari lembaga survey kredibel seperti LIPI dan LSI Denny JA merilis bahwa potensi golput pada pemilu 2019 nanti sekitar 20-30 %. Adjie Al Farabi peneliti dari Lingkaran Survey Indonesia (LSI) memperkirakan sekitar 30 % masyarakat akan golput pada pemilu 17 April nanti, dari catatannya sekitar 10 % golput karena alasan ideologis-politis dan 20 % karena alasan administratif.

Trend golput memang cenderung meningkat dalam 3 penyelenggaraan pemilu terakhir, pada pemilu 2004 jumlah golput sebesar 23,3 %, pemilu 2009 27,45 %, dan pemilu 2014 sebesar 30,42 %. Fenomena ini tentunya menjadi alarm kemunduran proses demokratisasi kita selepas era reformasi. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme politik di saat proses demokratisasi dan keterbukaan politik terbuka lebar. Fenomena ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Anthony Giddens (1999) dalam bukunya Runaway World, How Globalitation is Reshaping Our Lives. “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik dimana demokrasi sedang marak”.

Menurut Varma, S.P. (2001) dalam bukunya Teori Politik Modern, secara kondisonal faktor yang menyebabkan masyarakat golput atau tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu adalah karena kekecewaan masyarakat terhadap para partai politik dan entitas pemilu yang belum mampu membawa kesejahteraan dan keadilan bagi mereka. Selain itu juga disebabkan lantaran kontestan pemilu yang ada tidak memenuhi kriteria atau kapasitas sebagaimana yang mereka idamkan.

Implikasi Golput

Golput atau sikap tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu sejujurnya merupakan aktualisasi dari pada hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang menurut Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 digolongkan sebagai hak non-derogable right yakni hak asasi yang tidak bisa dibatasi dalam keadaan apapun.

Maka, dalam perspektif hukum orang yang golput tidak akan bisa dipidana atau dikenai sanksi hukum lainnya, mengingat golput adalah implementasi dari pada hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang dijamin oleh konstitusi. Meski golput bukanlah perbuatan yang dapat dikenai sanksi hukum, namun golput sejatinya merupakan tindakan atau pilihan sikap yang dapat memberikan efek buruk bagi entitas demokrasi khususnya terkait proses demokratisasi menuju terwujudnya masyarakat madani yakni masyarakat yang menyadari peran pentingnya sebagai warga negara bagi pembangunan bangsa dan negara.

Meningkatnya potensi golput pada pemilu 2019 ini tentu dapat menghambat proses demokratisasi yang mulai dibangun secara kompleks setelah reformasi. Ketika proses demokratisasi terhambat, maka akan menimbulkan 3 implikasi negatif baik secara langsung maupun tidak langsung bagi ruang demokrasi elektoral. Pertama, menghambat terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang menyadari peran pentingnya sebagai warga negara dalam ruang demokrasi. Kedua, mengikis kualitas demokrasi baik secara substantif maupun kultural sehingga hanya tercipta demokrasi semu. Ketiga, menurunnya daya legitimasi pemilu dimata masyarakat yang dapat menyebabkan distrust dalam jalannya roda kepemimpinan selepas pemilu.

Oleh karenanya, potensi golput pada pemilu 2019 ini yang masih relatif tinggi hendaknya kita jadikan titik renungan dan bahan kontemplasi bersama untuk lebih concern dalam meningkatkan kualitas maupun intensitas peran guna mengikis seminimal mungkin potensi golput. Parpol dan elite politik harus berpolitik secara lebih substantif serta menjauhi narasi-narasi kotor, penyelenggara pemilu harus makin intens dalam mensosialiasikan arti penting hak pilih bagi entitas demokrasi, kemudian akademisi, tokoh agama, tokoh sosial, dan pers juga harus massif melaksanakan daya influencernya untuk mendorong masyarakat guna menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.

Pada prinsipnya semua pihak diatas harus bersinergi dalam satu tarikan nafas guna mengikis potensi golput. Ketika golput dapat ditekan seminimal mungkin yang secara contrario berarti meningkatnya tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilu, maka pemilu 2019 ini akan dapat mawujud menjadi katalis fungsional bagi terwujudnya iklim demokrasi yang kaffah sehingga dapat menjadi motor penggerak bagi terwujudnya masyarakat madani Indonesia dan tercapainya cita-cita dan tujuan negara.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar