Partisipasi politik warga negara
adalah elemen penting bagi tumbuhnya budaya demokrasi dan proses internalisasi
nilai-nilai kedaulatan rakyat dalam konstruksi sebuah negara demokratis.
Partisipasi politik warga negara merupakan tolok untuk menilai kualitas
demokrasi sebuah negara, semakin tinggi tingkat partisipasi politik
mengindisikasikan bahwa warga negara memahami dan responsif melibatkan diri pada
proses demokratisasi demi tercapainya cita-cita dan tujuan negara. Dan hal itu
menandakan kualitas entitas dan kultur demokrasi yang baik.
Sebaliknya, jika tingkat partisipasi
politik warga negara rendah, hal ini menjadi penanda bahwa entitas dan kultur
demokrasi belum berada pada tataran yang semestinya atau sering disebut sebagai
demokrasi semu (pseudo democrazy).
Demokrasi semu adalah entitas demokrasi yang secara substantif maupun kultural
belum mencerminkan nilai-nilai fundamental dari pada prinsip demokrasi
khususnya dalam hal abstraksi partisipasi politik warga negara.
Dalam konteks demokrasi, sarana maupun
tolok ukur untuk menilai kualitas dari pada demokrasi adalah pemilu. Pemilu
adalah sarana bagi warga negara untuk menunaikan hak partisipasi politiknya.
Oleh karena itu, tingkat partisipasi politik warga negara dalam pemilu akan
menentukan bagaimana kualitas dari pada entitas dan kultur demokrasi.
Sebagaimana kita ketahui bersama,
negara kita tercinta, Indonesia, pada tahun ini akan menggelar pesta demokrasi
pemilu 2019, yang digelar 17 April mendatang. Sayangnya, pesta demokrasi tahun
ini dibayangi oleh nada minor berupa potensi ekskalasi golput yang tinggi.
Menurut beberapa survey dari lembaga survey kredibel seperti LIPI dan LSI Denny
JA merilis bahwa potensi golput pada pemilu 2019 nanti sekitar 20-30 %. Adjie
Al Farabi peneliti dari Lingkaran Survey Indonesia (LSI) memperkirakan
sekitar 30 % masyarakat akan golput pada pemilu 17 April nanti, dari catatannya
sekitar 10 % golput karena alasan ideologis-politis dan 20 % karena alasan
administratif.
Trend golput memang cenderung
meningkat dalam 3 penyelenggaraan pemilu terakhir, pada pemilu 2004 jumlah
golput sebesar 23,3 %, pemilu 2009 27,45 %, dan pemilu 2014 sebesar 30,42 %.
Fenomena ini tentunya menjadi alarm kemunduran proses demokratisasi kita
selepas era reformasi. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme
politik di saat proses demokratisasi dan keterbukaan politik terbuka lebar. Fenomena
ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Anthony Giddens (1999) dalam
bukunya Runaway World, How Globalitation
is Reshaping Our Lives. “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi
tersingkir dari titik dimana demokrasi sedang marak”.
Menurut Varma, S.P. (2001) dalam
bukunya Teori Politik Modern, secara
kondisonal faktor yang menyebabkan masyarakat golput atau tidak menggunakan hak
pilihnya dalam pemilu adalah karena kekecewaan masyarakat terhadap para partai
politik dan entitas pemilu yang belum mampu membawa kesejahteraan dan keadilan
bagi mereka. Selain itu juga disebabkan lantaran kontestan pemilu yang ada
tidak memenuhi kriteria atau kapasitas sebagaimana yang mereka idamkan.
Implikasi
Golput
Golput atau sikap tidak menggunakan
hak pilih dalam pemilu sejujurnya merupakan aktualisasi dari pada hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang menurut Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 digolongkan sebagai hak non-derogable
right yakni hak asasi yang tidak bisa dibatasi dalam keadaan apapun.
Maka, dalam perspektif hukum orang
yang golput tidak akan bisa dipidana atau dikenai sanksi hukum lainnya,
mengingat golput adalah implementasi dari pada hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani yang dijamin oleh konstitusi. Meski golput bukanlah perbuatan yang dapat
dikenai sanksi hukum, namun golput sejatinya merupakan tindakan atau pilihan
sikap yang dapat memberikan efek buruk bagi entitas demokrasi khususnya terkait
proses demokratisasi menuju terwujudnya masyarakat madani yakni masyarakat yang
menyadari peran pentingnya sebagai warga negara bagi pembangunan bangsa dan
negara.
Meningkatnya potensi golput pada
pemilu 2019 ini tentu dapat menghambat proses demokratisasi yang mulai dibangun
secara kompleks setelah reformasi. Ketika proses demokratisasi terhambat, maka
akan menimbulkan 3 implikasi negatif baik secara langsung maupun tidak langsung
bagi ruang demokrasi elektoral. Pertama,
menghambat terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang menyadari
peran pentingnya sebagai warga negara dalam ruang demokrasi. Kedua, mengikis kualitas demokrasi baik
secara substantif maupun kultural sehingga hanya tercipta demokrasi semu. Ketiga, menurunnya daya legitimasi
pemilu dimata masyarakat yang dapat menyebabkan distrust dalam jalannya roda kepemimpinan selepas pemilu.
Oleh karenanya, potensi golput pada
pemilu 2019 ini yang masih relatif tinggi hendaknya kita jadikan titik renungan
dan bahan kontemplasi bersama untuk lebih concern dalam meningkatkan kualitas
maupun intensitas peran guna mengikis seminimal mungkin potensi golput. Parpol
dan elite politik harus berpolitik secara lebih substantif serta menjauhi
narasi-narasi kotor, penyelenggara pemilu harus makin intens dalam mensosialiasikan
arti penting hak pilih bagi entitas demokrasi, kemudian akademisi, tokoh agama,
tokoh sosial, dan pers juga harus massif melaksanakan daya influencernya untuk mendorong masyarakat guna menggunakan hak
pilihnya dalam pemilu.
Pada prinsipnya semua pihak diatas
harus bersinergi dalam satu tarikan nafas guna mengikis potensi golput. Ketika
golput dapat ditekan seminimal mungkin yang secara contrario berarti meningkatnya tingkat partisipasi politik
masyarakat dalam pemilu, maka pemilu 2019 ini akan dapat mawujud menjadi
katalis fungsional bagi terwujudnya iklim demokrasi yang kaffah sehingga dapat menjadi motor penggerak bagi terwujudnya
masyarakat madani Indonesia dan tercapainya cita-cita dan tujuan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar