Sabtu, 06 April 2019

MELETAKKAN PEMILU PADA KHITAHNYA




Pemilu 2019 akan digelar kurang dari satu bulan lagi, 17 April tepatnya, akan menjadi tanggal bersejarah bagi negeri ini, dimana untuk pertama kalinya akan diselenggarakan pemilu presiden dan pemilu legislatif secara bersamaan.

Pemilu atau yang biasa disebut pesta demokrasi, pada hakikatnya merupakan wujud aktualisasi dari pada prinsip kedaulatan rakyat, pemilu adalah sarana bagi rakyat untuk mencegah pemimpin yang buruk memimpin, demikian Franz Magnis Suseno memaknai hadirnya pemilu dalam ruang demokrasi.

Satu konsekuensi yang tidak bisa dikesampingkan, bahwa pemilu pasti menghadirkan perbedaan pilihan politik sebagai khitah dari pada kehidupan demokrasi, namun alangkah baiknya, perbedaan pilihan politik tersebut kita sikapi secara bijak dan konstruktif melalui adu argumentasi, adu gagasan, dan adu solusi untuk membahas beberapa problematika bangsa yang belum terselesaikan, bukan malah sebaliknya, kita gunakan untuk hal-hal mubadzir yang hanya menguras energi dan menciptakan bibit permusuhan.

Pada prinsipnya, perbedaan pilihan politik harus kita fungsikan sebagai contra balance dan ruang wacana untuk menguji visi, misi, dan program dari para kandidat. Melalui sanggahan, kritik, dan kontra kritik hal-hal yang tadinya dianggap sudah tepat dan benar akan mendapatkan bantahan dan perspektif lain dari pihak lawan. Jika hal itu dapat dilakukan, maka pemilu akan mawujud menjadi ruang demokrasi substansial yang kuyup dengan ide, gagasan, dan solusi guna membawa perubahan bagi kemajuan bangsa.

Namun dalam kenyataannya, hal tersebut jauh panggang dari api, dapat kita lihat selama masa kampanye menjelang pemilu 2019 ini ruang publik begitu miskin dan kering akan nilai-nilai substantif demokrasi. Caci maki, saling fitnah, drama kebohongan hingga narasai-narasi demagogis yang menyulut bibit permusuhan justru menjadi corak yang lekat mewarnai wajah negeri ini dalam menyambut datangnya pemilu.

Yudi Latif, melalui artikelnya berjudul “Sabuk Pengaman”  mengatakan bahwa ada dua masalah mendasar yang merongrong ketahanan politik kita dewasa ini. Pertama, kelemahan visi ideologis yang memberikan ketajaman penalaran untuk membidik rantai terlemah. Kedua, memudarnya persaudaraan kewargaan yang berimplikasi pada rendahnya rasa saling percaya serta hasrat untuk bersatu dan berbagi. Yudi menambahkan, tanpa nalar bernegara dan rasa berbangsa, jagat politik hanya akan menjadi ajang konflik kepentingan jangka pendek yang mengorbankan hal-hal fundamental jangka panjang.

Saya mengamini apa yang diutarakan oleh Yudi Latif, secara empiris, memang fenomena tersebutlah yang mawujud dalam ruang publik kita, panggung politik saat ini miskin akan visi ideologis untuk mengatasi problematika pokok bangsa, panggung politik justru riuh dengan hal-hal non-substantif yang memiliki efek buruk bagi perjalanan bangsa ini kedepan. Di sisi lain minimnya pendidikan politik dan suri tauladan dari para elite politik, membuat masyarakat terkungkung dalam labirin fanatisme politik sempit yang membuat mereka tidak mampu meletakkan pemilu pada khitahnya sebagai ajang katalis untuk mewujudkan kemaslahatan kolektif.

Fungsi Pemilu

Pemilu memiliki dua peran penting dalam kehidupan sebuah negara, yakni peran fungsional dan peran struktural. Secara fungsional, peran pemilu adalah sebagai ajang dan sarana untuk memilih pemimpin terbaik ( dari yang ada ) guna melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan dalam usaha mewujudkan tujuan negara dan cita-cita bangsa ( kemaslahatan kolektif ).

Sedangkan secara struktural, peran pemilu adalah guna memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dalam memahami dan memaknai demokrasi, menumbuhkan sikap kritis dan obyektif, meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik, serta mampu menjaga persatuan dan harmoni ditengah perbedaan politik yang ada. Secara struktural, hadirnya pemilu diharapkan dapat membuat masyarakat memiliki elemen-elemen tersebut dalam dirinya, sehingga dapat membawa perubahan struktural bagi kemajuan bangsa dengan terwujudnya masyarakat madani ( civil society ).

Sehingga, dapat dipahami disini bahwa fungsi pemilu adalah sarana untuk mewujudkan kemaslahatan kolektif dan juga wadah untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar tercipta masyarakat madani. Oleh karenanya, fungsi etis pemilu ini hendaknya kita sikapi secara konstruktif tanpa mengorbankan hal-hal fundamental jangka panjang khususnya perihal kerukunan dan persatuan.

Elite politik dan parpol harus mampu memaknai pemilu sebagai ajang kontestasi untuk mengabdikan diri kepada rakyat, bangsa, dan negara. Dengan memiliki paradigma demikian, elite politik dan parpol tentu akan mengerahkan segala energinya untuk hal-hal substansial yang dapat membawa perubahan signifikan bagi kemajuan bangsa. Dengan memaknai pemilu sebagai ajang kontestasi pengabdian diri juga akan membuat elite politik dan parpol memiliki nalar bernegara dan rasa berbangsa dalam berpolitik, sehingga membuat mereka mampu meletakkan persatuan dan kerukunan diatas kepentingan politik praktis jangka pendek.

Sedang bagi masyarakat, masyarakat harus mampu memahami bahwa pemilu adalah sarana etis untuk membawa kemaslahatan kolektif bukan kemaslahatan golongan, pemilu bukanlah ajang “perang” antar kubu yang harus disikapi dengan perasaan fanatik sempit. Sebaliknya, masyarakat harus menyikapi pemilu secara analitis dengan sikap kritis dan obyektif agar pemilu dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Keteladanan dari para elite politik dan peran dari tokoh-tokoh stabilitator sosial sepeti tokoh agama, akademisi, dan tokoh adat menjadi sangat penting guna mengarahkan masyarakat agar tidak terjebak dalam kesesatan fanatisme sempit politik tersebut.

Pada akhirnya, marilah kita bersama meletakkan pemilu pada khitahnya sebagai ajang katalis untuk membawa kemaslahatan kolektif serta wadah pendidikan politik bagi kedewasaan dan kesadaran demokrasi masyarakat. Elite politik, masyarakat, serta pihak-pihak lain yang memiliki peran dan pengaruh politik harus menjauhi narasi-narasi demagogis yang dapat menjadi kabut tebal bagi terciptanya demokrasi substansial.

Perlu diketahui, pemilu tahun ini menghabiskan anggaran sebesar 24, 7 triliun, sebuah angka fantastis yang terlalu mubadzir jika kita gunakan sebagai ajang untuk menyemai bibit kebencian dan permusuhan sesama anak bangsa. Oleh karenanya, mari kita gunakan pemilu secara substantif dan konstruktif untuk membangun peradaban dan kemajuan bangsa baik secara material, struktural, maupun kultural.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar