Menjelang hari H pemilu 2019 yang dilaksanakan 17 April mendatang, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan sebuah Fatwa kontroversial yang menimbulkan kontroversi ditengah masyarakat. Fatwa MUI tersebut menyebut bahwa golput atau sikap tidak menggunakan hak pilih pada pemilu hukumnya haram.
Sejujurnya, Fatwa mengharamkan golput sendiri sudah pernah
dikeluarkan oleh MUI pada tahun 2009 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Namun
naiknya ekskalasi suhu politik, membuat Fatwa MUI kali ini terasa heboh.
Masyarakat pun terbelah dalam menyikapi keluarnya Fatwa MUI
tersebut. Ada yang mengapresiasi, karena hal itu menunjukkan sikap dan
kepedulian MUI akan entitas ruang demokrasi, namun tidak sedikit pula yang
mencerca Fatwa MUI tersebut serta mengaitkannya dengan kepentingan politis
salah satu paslon capres-cawapres guna mendongkrak suara pada pemilu mendatang.
Menurut hemat saya, Fatwa MUI tentang haramnya golput tidak ada
kaitannya sama sekali dengan kepentingan politis praktis untuk mendongkrak
suara salah satu paslon capres-cawapres, ada 3 landasan argumentasi yang
menjadi dasar pendapat saya tersebut. Pertama, MUI adalah organisasi agama
independen yang tidak memiliki basis afiliasi dan tendensi politik dengan pihak
tertentu. Kedua, ada mekanisme prosedural yang rigid sebelum keluarnya sebuah Fatwa, sehingga sangat mustahil
sebuah Fatwa itu keluar karena “pesanan”
demi agenda politik praktis pihak tertentu. Ketiga, isi Fatwa tidak mengandung
anjuran untuk memilih salah satu paslon, sehingga dapat dikatakan bahwa Fatwa
tersebut bersifat netral dan tidak memiliki kecenderungan politis.
Jangan
Baper
Keluarnya Fatwa MUI yang mengharamkan golput seketika membuat
beberapa pihak yang (akan) golput pada pemilu 17 April nanti meradang, bahkan
ada yang mengatakan bahwa Fatwa MUI tersebut telah membinasakan dan membatasi
hak asasi manusia tentang kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang menurut
pasal 28 I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tergolong sebagai hak non-derogable right atau hak yang tidak
bisa dibatasi dan dikurangi dalam keadaan apapun.
Pendapat tersebut terkesan lucu, lha wong Fatwa MUI kan bukan hukum positif (formal) yang keberlakuannya
tidak bisa dipaksakan dengan menggunakan sanksi hukum serta alat-alat kekuasaan
negara. Lalu apa yang di binasakan dan di batasi ? kan setiap orang tetap
memiliki kebebasan bersikap tanpa melahirkan implikasi sanksi heteronom (sanksi negara). Kecuali kalau ada Undang-Undang yang mengatur bahwa golput dapat
dipidana nah itu baru dapat disebut sebagai pembinasaan dan pembatasan hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani.
Perlu dipahami bahwa Fatwa MUI itu pendapat hukum (legal opinion) bukan hukum dalam arti
formal sehingga boleh diikuti boleh juga tidak, bagi pihak yang merasa terikat
dengan Fatwa MUI tersebut, maka akan melahirkan sanksi otonom atau sanksi
pribadi misalnya merasa berdosa jika tidak melakukannya. Sebaliknya bagi pihak yang merasa tidak
terikat dengan Fatwa MUI tersebut ya tidak akan melahirkan sanksi apapun. Jadi
jangan baperlah.
Memandang
Pemilu
Menurut Franz Magnis Suseno, esensi hadirnya pemilu dalam ruang
demokrasi adalah untuk mencegah pemimpin yang buruk memimpin. Oleh karena itu,
jika perspektif kita dalam memandang pemilu sama seperti halnya Franz Magnis
Suseno tentu kita tidak akan golput, karena kita pasti akan memilah dan memilih
pemimpin yang kadar keburukannya lebih sedikit dari yang lain.
Sebaliknya, jika kita memandang pemilu sebagai sarana guna memilih
pemimpin terbaik, maka ada kecenderungan kita untuk menjadi golput, yakni
manakala kontestasi pemilu tidak mampu menghadirkan sosok pemimpin terbaik
sebagaimana yang kita harapkan. Menurut Varma (2001:295) dalam buku Teori Politik Modern, secara
kondisional, faktor yang menyebabkan lahirnya golput adalah rasa kekecewaaan
masyarakat terhadap proses demokratisasi yang tidak kunjung mampu
mensejahterakan masyarakat.
Pada akhirnya, terlepas dengan segala segmen dinamika yang ada, sesungguhnya golput
adalah wujud aktualisasi dari pada hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang
merupakan hak non-derogable right atau
hak yang tidak bisa di batasi dalam hal dan dalam keadaan apapun. Sehingga
dalam konteks hukum, orang yang golput tidak bisa di pidana, dalam konteks
sosial, orang yang golput hendaknya jangan di caci dan di cela. Sedangkan dalam
konteks politik, tidak memilih (golput) adalah bagian dari pada pilihan
politik itu sendiri. Meski golput tidak baik bagi kultur demokrasi namun golput adalah hak (pilihan sikap) yang wajib dihormati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar