Sabtu, 06 April 2019

FATWA MUI DAN POLEMIK GOLPUT


Menjelang hari H pemilu 2019 yang dilaksanakan 17 April mendatang, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan sebuah Fatwa kontroversial yang menimbulkan kontroversi ditengah masyarakat. Fatwa MUI tersebut menyebut bahwa golput atau sikap tidak menggunakan hak pilih pada pemilu hukumnya haram.
 
Sejujurnya, Fatwa mengharamkan golput sendiri sudah pernah dikeluarkan oleh MUI pada tahun 2009 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Namun naiknya ekskalasi suhu politik, membuat Fatwa MUI kali ini terasa heboh.

Masyarakat pun terbelah dalam menyikapi keluarnya Fatwa MUI tersebut. Ada yang mengapresiasi, karena hal itu menunjukkan sikap dan kepedulian MUI akan entitas ruang demokrasi, namun tidak sedikit pula yang mencerca Fatwa MUI tersebut serta mengaitkannya dengan kepentingan politis salah satu paslon capres-cawapres guna mendongkrak suara pada pemilu mendatang.

Menurut hemat saya, Fatwa MUI tentang haramnya golput tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepentingan politis praktis untuk mendongkrak suara salah satu paslon capres-cawapres, ada 3 landasan argumentasi yang menjadi dasar pendapat saya tersebut. Pertama, MUI adalah organisasi agama independen yang tidak memiliki basis afiliasi dan tendensi politik dengan pihak tertentu. Kedua, ada mekanisme prosedural yang rigid sebelum keluarnya sebuah Fatwa, sehingga sangat mustahil sebuah Fatwa itu keluar karena “pesanan” demi agenda politik praktis pihak tertentu. Ketiga, isi Fatwa tidak mengandung anjuran untuk memilih salah satu paslon, sehingga dapat dikatakan bahwa Fatwa tersebut bersifat netral dan tidak memiliki kecenderungan politis.

Jangan Baper

Keluarnya Fatwa MUI yang mengharamkan golput seketika membuat beberapa pihak yang (akan) golput pada pemilu 17 April nanti meradang, bahkan ada yang mengatakan bahwa Fatwa MUI tersebut telah membinasakan dan membatasi hak asasi manusia tentang kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang menurut pasal 28 I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tergolong sebagai hak non-derogable right atau hak yang tidak bisa dibatasi dan dikurangi dalam keadaan apapun.

Pendapat tersebut terkesan lucu, lha wong Fatwa MUI kan bukan hukum positif (formal) yang keberlakuannya tidak bisa dipaksakan dengan menggunakan sanksi hukum serta alat-alat kekuasaan negara. Lalu apa yang di binasakan dan di batasi ? kan setiap orang tetap memiliki kebebasan bersikap tanpa melahirkan implikasi sanksi heteronom (sanksi negara). Kecuali kalau ada Undang-Undang yang mengatur bahwa golput dapat dipidana nah itu baru dapat disebut sebagai pembinasaan dan pembatasan hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani.

Perlu dipahami bahwa Fatwa MUI itu pendapat hukum (legal opinion) bukan hukum dalam arti formal sehingga boleh diikuti boleh juga tidak, bagi pihak yang merasa terikat dengan Fatwa MUI tersebut, maka akan melahirkan sanksi otonom atau sanksi pribadi misalnya merasa berdosa jika tidak melakukannya. Sebaliknya bagi pihak yang merasa tidak terikat dengan Fatwa MUI tersebut ya tidak akan melahirkan sanksi apapun. Jadi jangan baperlah.

Memandang Pemilu

Menurut Franz Magnis Suseno, esensi hadirnya pemilu dalam ruang demokrasi adalah untuk mencegah pemimpin yang buruk memimpin. Oleh karena itu, jika perspektif kita dalam memandang pemilu sama seperti halnya Franz Magnis Suseno tentu kita tidak akan golput, karena kita pasti akan memilah dan memilih pemimpin yang kadar keburukannya lebih sedikit dari yang lain.

Sebaliknya, jika kita memandang pemilu sebagai sarana guna memilih pemimpin terbaik, maka ada kecenderungan kita untuk menjadi golput, yakni manakala kontestasi pemilu tidak mampu menghadirkan sosok pemimpin terbaik sebagaimana yang kita harapkan. Menurut Varma (2001:295) dalam buku Teori Politik Modern, secara kondisional, faktor yang menyebabkan lahirnya golput adalah rasa kekecewaaan masyarakat terhadap proses demokratisasi yang tidak kunjung mampu mensejahterakan masyarakat.

Pada akhirnya, terlepas dengan segala segmen dinamika yang ada, sesungguhnya golput adalah wujud aktualisasi dari pada hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang merupakan hak non-derogable right atau hak yang tidak bisa di batasi dalam hal dan dalam keadaan apapun. Sehingga dalam konteks hukum, orang yang golput tidak bisa di pidana, dalam konteks sosial, orang yang golput hendaknya jangan di caci dan di cela. Sedangkan dalam konteks politik, tidak memilih (golput) adalah bagian dari pada pilihan politik itu sendiri. Meski golput tidak baik bagi kultur demokrasi namun golput adalah hak (pilihan sikap) yang wajib dihormati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar