Sabtu, 06 April 2019

DAYA TAWAR POLITIK MASYARAKAT



Kontestasi pilpres tinggal menghitung hari, debat capres dan cawapres pun telah berlangsung 4 kali, namun hampir tak ada narasi substantif dari kedua paslon yang tersimpan erat di kepala. Debat yang sejatinya adalah ajang untuk saling “mengkuliti” visi, misi, program, gagasan dan solusi yang ditawarkan oleh pihak lawan justru tidak nampak pada 4 debat yang telah berlangsung. Debat pun terlihat hanya sebagai ajang formalitas belaka.

Di sisi lain, masa selama kampanye pilpres sendiri juga riuh dengan sampah-sampah demokrasi seperti caci maki, fitnah, hoax, dan narasi-narasi provokatif yang secara langsung maupun tidak langsung membuat nilai-nilai substantif dari pemilu menjadi tidak nampak secara utuh. Bahkan masyarakat akan lebih mengingat kata-kata satire seperti politik genderuwo, politik sontoloyo, jenderal kardus, partai setan dari pada visi, misi, program, gagasan, dan solusi yang ditawarkan oleh kedua paslon.

Melihat kenyataan ini, saya menduga bahwa dasar preferensi pemilih pada pilpres mendatang adalah karena faktor non teknis seperti fanatisme, loyalitas, faktor lingkungan keluarga, faktor lingkungan sosial, dan lain sebagainya, bukan karena faktor teknis yang berafiliasi dengan kapasitas paslon yang dapat terejawantahkan dalam dua hal, pertama, rekam jejak. Kedua, visi, misi, program, gagasan dan solusi yang mereka tawarkan.

Masyarakat kita juga secara umum relatif tergilas oleh arus politik praktis, sekarang ini masyarakat bermetamorfosa bak tim kampanye yang memiliki tingkat fanatisme dan loyalitas yang luar biasa. Sejujurnya fenomena ini dapat berdampak negatif, karena dapat berimbas pada menurunnya sikap kritis dan keroposnya obyektifitas nalar dari masyarakat. Ketika masyarakat telah kehilangan daya kritis dan obyektifitas nalar, maka ruang demokrasi akan menjadi ruang sengkarut pikir tanpa nalar dan akal sehat yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas dari pada demokrasi itu sendiri.

Oleh karenanya, masyarakat hendaknya tetap berdiri ditengah dalam artian tetap menjadi pihak yang kritis dan obyektif serta tidak ultra-fanatis, masyarakat harus menjadi pihak yang “jual mahal” kepada kedua paslon dengan kredo “tunjukkan kualitas mu dulu baru aku menentukan pilihan”. Masyarakat jangan malah terbawa arus politik dengan menjadi tukang kampanye amatir yang justru membuat masyarakat kehilangan daya tawar politik dimata kedua paslon.

Ketika masyarakat memiliki daya tawar yang tinggi dalam arti memiliki sikap “jual mahal” yang termanifestasi dalam sikap kritis, obyektif, dan non ultra-fanatis tentu keadaan ini akan memaksa dan mendorong kedua paslon berserta para elite pendukungnya untuk berlomba-lomba meningkatkan kualitas diri. Kedua paslon dan para elite pendukungnya akan berlomba-lomba berpolitik secara substantif guna memenangkan hati masyarakat.

Dahulu seorang penyair asal Jerman bernama Bertolt Brecht pernah mengatakan: “buta paling buruk adalah buta politik, ia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak sadar bahwa biaya hidup, harga komoditas, obat, dan makanan tergantung oleh keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya akan melahirkan pelacuran, kemiskinan, anak terlantar, politisi busuk serta rusaknya perusahaan nasional dan multinasional”.

Namun buta politik era saat ini bukanlah tergambar sebagaimana Bertolt Brecht ungkapkan diatas, buta politik yang tergambar saat ini adalah lahirnya sikap ultra-fanatis terhadap tokoh-tokoh politik dalam hal ini tentu kedua paslon yang berkontestasi pada pilpres 2019 ini, sikap ultra-fanatis membuat masyarakat buta akan kelemahan dan keburukan tokoh politik yang disukainya serta buta akan kelebihan dan kebaikan tokoh politik yang dibencinya, masyarakat menjadi tidak mampu mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, karena tolok ukur kebenaran adalah rasa cinta dan fanatisme bukan lagi fakta dan realita.

Sikap ultra-fanatis juga dapat membuat renggangnya kohesifitas sosial dalam kehidupan masyarakat, karena cenderung melahirkan sikap konfrontatif yang berimplikasi pada timbulnya friksi dalam berbagai skala yang jika dibiarkan secara terus menerus tentu akan berbahaya bagi masa depan persatuan dan kerukunan kita sebagai sebuah bangsa. Fanatisme sempit politik membuat masyarakat kurang memiliki kesadaran bahwa pemilu adalah siklus 5 tahunan, sedangkan persatuan, kesatuan, kerukunan, dan rasa persaudaran kita sebagai sebuah bangsa adalah seumur hidup.

Oleh karenanya, demi menjaga kohesifitas sosial dan juga menjaga ruang demokrasi agar mawujud sebagai ruang wacana bagi tumbuhnya gagasan-gagasan substantif, maka masyarakat harus meningkatkan daya tawar politiknya, masyarakat harus “jual mahal” dengan sikap kritis, obyektif, dan non ultra-fanatis agar kedua paslon beserta elite pendukungnya berlomba-lomba untuk meningkatkan kapasitas diri.

Jika ini terjadi, maka pemilu dipastikan akan melahirkan atmosfer konstruktif dimana tercipta adu gagasan, adu ide, adu solusi, dan adu program tentang bagaimana membawa dan mewujudkan kemaslahatan bersama. Hal inilah yang menjadi tujuan filosofis dari pada politik sebagaimana diungkapkan oleh Aristoteles.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar