Kontestasi pilpres tinggal menghitung hari, debat capres dan
cawapres pun telah berlangsung 4 kali, namun hampir tak ada narasi substantif
dari kedua paslon yang tersimpan erat di kepala. Debat yang sejatinya adalah
ajang untuk saling “mengkuliti” visi,
misi, program, gagasan dan solusi yang ditawarkan oleh pihak lawan justru tidak
nampak pada 4 debat yang telah berlangsung. Debat pun terlihat hanya sebagai
ajang formalitas belaka.
Di sisi lain, masa selama kampanye pilpres sendiri juga riuh
dengan sampah-sampah demokrasi seperti caci maki, fitnah, hoax, dan
narasi-narasi provokatif yang secara langsung maupun tidak langsung membuat
nilai-nilai substantif dari pemilu menjadi tidak nampak secara utuh. Bahkan
masyarakat akan lebih mengingat kata-kata satire
seperti politik genderuwo, politik sontoloyo, jenderal kardus, partai setan
dari pada visi, misi, program, gagasan, dan solusi yang ditawarkan oleh kedua
paslon.
Melihat kenyataan ini, saya menduga bahwa dasar preferensi
pemilih pada pilpres mendatang adalah karena faktor non teknis seperti fanatisme,
loyalitas, faktor lingkungan keluarga, faktor lingkungan sosial, dan lain
sebagainya, bukan karena faktor teknis yang berafiliasi dengan kapasitas paslon
yang dapat terejawantahkan dalam dua hal, pertama, rekam jejak. Kedua, visi,
misi, program, gagasan dan solusi yang mereka tawarkan.
Masyarakat kita juga secara umum relatif tergilas oleh arus
politik praktis, sekarang ini masyarakat bermetamorfosa bak tim kampanye yang
memiliki tingkat fanatisme dan loyalitas yang luar biasa. Sejujurnya fenomena
ini dapat berdampak negatif, karena dapat berimbas pada menurunnya sikap kritis
dan keroposnya obyektifitas nalar dari masyarakat. Ketika masyarakat telah
kehilangan daya kritis dan obyektifitas nalar, maka ruang demokrasi akan
menjadi ruang sengkarut pikir tanpa nalar dan akal sehat yang pada akhirnya
akan menurunkan kualitas dari pada demokrasi itu sendiri.
Oleh karenanya, masyarakat hendaknya tetap berdiri ditengah
dalam artian tetap menjadi pihak yang kritis dan obyektif serta tidak
ultra-fanatis, masyarakat harus menjadi pihak yang “jual mahal” kepada kedua
paslon dengan kredo “tunjukkan kualitas mu dulu baru aku menentukan pilihan”.
Masyarakat jangan malah terbawa arus politik dengan menjadi tukang kampanye
amatir yang justru membuat masyarakat kehilangan daya tawar politik dimata
kedua paslon.
Ketika masyarakat memiliki daya tawar yang tinggi dalam arti
memiliki sikap “jual mahal” yang termanifestasi dalam sikap kritis, obyektif,
dan non ultra-fanatis tentu keadaan ini akan memaksa dan mendorong kedua paslon
berserta para elite pendukungnya untuk berlomba-lomba meningkatkan kualitas
diri. Kedua paslon dan para elite pendukungnya akan berlomba-lomba berpolitik
secara substantif guna memenangkan hati masyarakat.
Dahulu seorang penyair asal Jerman bernama Bertolt Brecht
pernah mengatakan: “buta paling buruk adalah buta politik, ia tidak mendengar,
tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak
sadar bahwa biaya hidup, harga komoditas, obat, dan makanan tergantung oleh
keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan
dadanya bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan
politiknya akan melahirkan pelacuran, kemiskinan, anak terlantar, politisi
busuk serta rusaknya perusahaan nasional dan multinasional”.
Namun buta politik era saat ini bukanlah tergambar
sebagaimana Bertolt Brecht ungkapkan diatas, buta politik yang tergambar saat
ini adalah lahirnya sikap ultra-fanatis terhadap tokoh-tokoh politik dalam hal
ini tentu kedua paslon yang berkontestasi pada pilpres 2019 ini, sikap
ultra-fanatis membuat masyarakat buta akan kelemahan dan keburukan tokoh
politik yang disukainya serta buta akan kelebihan dan kebaikan tokoh politik
yang dibencinya, masyarakat menjadi tidak mampu mengetahui mana yang benar dan
mana yang salah, karena tolok ukur kebenaran adalah rasa cinta dan fanatisme bukan
lagi fakta dan realita.
Sikap ultra-fanatis juga dapat membuat renggangnya
kohesifitas sosial dalam kehidupan masyarakat, karena cenderung melahirkan sikap konfrontatif yang berimplikasi pada
timbulnya friksi dalam berbagai skala yang jika dibiarkan secara terus menerus
tentu akan berbahaya bagi masa depan persatuan dan kerukunan kita sebagai
sebuah bangsa. Fanatisme sempit politik membuat masyarakat kurang memiliki
kesadaran bahwa pemilu adalah siklus 5 tahunan, sedangkan persatuan, kesatuan,
kerukunan, dan rasa persaudaran kita sebagai sebuah bangsa adalah seumur hidup.
Oleh karenanya, demi menjaga kohesifitas sosial dan juga
menjaga ruang demokrasi agar mawujud sebagai ruang wacana bagi tumbuhnya
gagasan-gagasan substantif, maka masyarakat harus meningkatkan daya tawar
politiknya, masyarakat harus “jual mahal” dengan sikap kritis, obyektif, dan
non ultra-fanatis agar kedua paslon beserta elite pendukungnya berlomba-lomba untuk
meningkatkan kapasitas diri.
Jika ini terjadi, maka pemilu dipastikan akan melahirkan
atmosfer konstruktif dimana tercipta adu gagasan, adu ide, adu solusi, dan adu
program tentang bagaimana membawa dan mewujudkan kemaslahatan bersama. Hal
inilah yang menjadi tujuan filosofis dari pada politik sebagaimana diungkapkan
oleh Aristoteles.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar