Minggu, 28 April 2019

MENJAGA HARMONI PASCA PEMILU




SEBUAH BANGSA YANG TERPECAH DARI DALAM NISCAYA TIDAK AKAN MAMPU TEGAK BERDIRI”


Pemilu 2019 telah selesai digelar. 17 April lalu tepatnya, pemilu serentak pilpres dan pileg untuk pertama kalinya dilaksanakan. Pemilu 2019 sendiri tercatat sebagai pemilu terbesar di dunia lantaran melibatkan 5 pemilihan secara bersamaan yakni pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR RI, pemilihan anggota DPRD provinsi, pemilihan anggota DPRD kab/kota, dan pemilihan anggota DPD.

Pada sisi lain, pemilu terbesar ini juga menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Ratusan korban berjatuhan. Hal yang tentu harus menjadi bahan evaluasi demi penyelenggaraan pemilu yang lebih baik kedepannya.

Harus diakui meskipun masih terdapat beberapa kekurangan elementer seperti keterlambatan logistik pemilu, kekurangan surat suara, dan permasalahan administratif lainnya namun secara umum pemilu tahun ini relatif dapat berjalan dengan baik.

Ada tiga dasar argumentasi mengapa saya mengatakan pemilu tahun ini berjalan dengan baik. Pertama, partisipasi politik masyarakat relatif baik, hal ini ditandai dengan meningkatnya presentase partisipasi pemilih dari pemilu 2014 lalu. Menurut data KPU partisipasi pemilih pada pemilu tahun ini mencapai 80,90% sedangkan pada pemilu 2014 lalu partisipasi pemilih pada pilpres sebesar 69,58 sedangkan pada pileg sebesar 75,11 yang jika di rata-rata menghasilkan partisipasi pemilih sekitar 72 %. Partisipasi pemilih yang mencapai angka 80,90 % sendiri juga melampaui target KPU yang menargetkan partisipasi pemilih pada pemilu 2019 ini sebesar 77,5 %.

Kedua, pemilu 2019 kali ini minim kecurangan khususnya kecurangan yang dilakukan oleh pihak penyelenggara pemilu sedangkan untuk kecurangan yang dilakukan oleh peserta pemilu memang masih menjadi problematika tersendiri yang masih melekat kuat khususnya terkait money politic. Dari berita dan informasi yang saya lihat dan saya baca baik di televisi maupun melalui surat kabar pasca pemilu kuat mengindikasikan bahwa tidak ada kecurangan yang masif, sistematis, dan terstruktur yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Oleh karenanya, nyaris tidak ada friksi serius yang terjadi pasca pemilu yang dilatarbelakangi oleh kecurangan penyelenggara pemilu. Sedangkan secara legal tentu saja seberapa besar kuantitas kecurangan yang terjadi pada pemilu tahun ini akan dapat dilihat dari seberapa banyak gugatan dan hasil putusan pengadilan yang menyatakan telah terjadi kecurangan pemilu. Dan hal ini tentunya dapat kita lihat bersama nanti.

Ketiga, Pemilu 2019 kali ini relatif berjalan aman dan damai. Meskipun para simpatisan kontestan pemilu (khususnya pilpres) selama masa kampanye sering terlibat friksi sengit secara kontinu baik di dunia nyata maupun dunia maya namun nyatanya pemilu tahun ini dapat berjalan dengan aman dan damai tanpa gesekan yang berarti.

Namun ada satu hal yang menjadi concern kita bersama, yakni bagaimana mengembalikan kondusifitas dan harmoni kebangsaan selepas pemilu ini. Karena nampaknya narasi-narasi provokatif dan demagogis yang mengarah kepada bibit permusuhan dan delegitimasi pemilu seperti desain kecurangan masih nyaring terdengar khususnya dilontarkan oleh pihak yang berpotensi kalah pada pemilu, hal ini tentunya dapat dipahami sebagai sekadar ekspresi sikap tidak siap kalah dalam kontestasi. Meskipun demikian, kondisi ini hendaknya harus segera direduksi dan dinetrallisir demi kondusifitas dan harmoni kebangsaan kita kedepan.

Perlu dipahami khususnya bagi para kontestan pemilu bahwa pemilu adalah sarana, alat, upaya, dan wujud implementasi kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin dan wakilnya guna membawa kesejahteraan dan kemaslahatan bersama. Pemilu adalah sarana untuk mendapatkan mandat dari rakyat bukan hanya sekadar sarana meraih prestise kekuasaan semata. Jika memang dalam proses pemilu ada kecurangan dan ketidakadilan tentu ada mekanisme tersendiri yang dapat ditempuh. 

Sebagai negara hukum yang demokratis negara selalu menyediakan sarana dan tempat untuk menguji segala sesuatu secara terbuka dan imparsial. Oleh karenanya, jika para kontestan pemilu merasa dicurangi dan diperlakukan secara tidak adil tentu mereka harus menempuh mekanisme legal-konstitusional yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan justru malah sebaliknya sibuk membangun narasi-narasi perpecahan dan delegitimasi pemilu yang berbahaya bagi persatuan dan kesatuan kita sebagai sebuah bangsa.

Sikap kedewasaan dan sportifitas dalam berdemokrasi hendaknya dapat di cerminkan oleh para kontestan maupun elite politik dalam menyikapi hasil pemilu. Karena sikap itulah yang akan menjadi panduan rakyat dalam menyikapi hasil pemilu.

Kontestan pemilu jangan membenturkan rakyat dengan rakyat di akar rumput hanya demi syahwat kekuasaan. Karena modal sosial-politik kita untuk berdiri sebagai sebuah negara besar dan beradab adalah persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa yang majemuk. Ketika modal sosial-politik kita yakni persatuan dan kesatuan telah hilang maka kehancuran negara ini hanyalah tinggal menunggu waktu. Oleh karenanya, janganlah korbankan hal-hal fundamental bernegara jangka panjang hanya demi hal-hal pragmatis yang bermuara pada kepentingan kekuasaan semata. 

Kedepan, demi menjaga harmoni dan kondusifitas pasca pemilu hendaknya rekonsiliasi politik harus segera dilakukan khususnya oleh para kontestan pilpres (Prabowo-Sandiaga dan Jokowi-Ma’ruf Amin) mengingat suhu panas politik pasca pemilu ini dilatarbelakangi oleh “klaim” hasil pilpres. Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma’ruf beserta elite pendukungnya harus bertemu dan membangun narasi perdamaian dan kesejukan yang dapat menjadi suluh bagi terwujudnya harmoni dan kondusifitas pada akar rumput (rakyat).

Selain itu, tokoh-tokoh yang memiliki peran sebagai stabilitator sosial seperti pemuka agama, tokoh sosial hingga akademisi hendaknya juga mampu memainkan peran sebagai peredam suhu panas politik. Mengingat tokoh-tokoh tersebut adalah pembentuk opini publik yang memiliki pengaruh kuat dalam menentukan suasana kebatinan dan emosi masyarakat.

Pada prinsipnya, Prabowo-Sandi, Jokowi-Ma’ruf beserta elite politiknya harus dapat mengirimkan pesan kuat kepada para simpatisan dan akar rumput bahwa persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa adalah sebuah hal fundamental yang jauh lebih penting dari sekadar kontestasi politik untuk memperebutkan tahta kekuasaan. Pilpres hendaknya diibaratkan seperti pertandingan sepak bola, dimana setelah pertandingan berakhir kedua kubu akan saling bersalaman dengan suasana cair penuh kehangatan. Nuansa seperti itulah yang seharusnya dicerminkan oleh Prabowo-Sandi, Jokowi-Ma’ruf beserta elite pendukungnya. Tidak hanya sekadar narasi dan retorika namun harus mengejawantah secara sadar dan nyata dalam sikap dan perilaku baik di dunia nyata maupun dalam dunia maya (medsos).

Kedua kubu harus memahami bahwa tidak ada hal yang lebih penting dalam bernegara selain menjaga persatuan dan kesatuan. Negara ini dapat merdeka dan bertahan dengan kemerdekaan adalah karena persatuan dan kesatuan. Kekuasaan adalah otoritas guna menjaga persatuan dan kesatuan bukan justru menjadi biang keladi yang merenggut entitas persatuan dan kesatuan kita sebagai sebuah bangsa. Maka, marilah kita semai semangat persatuan dan kesatuan, kita jaga harmoni dan kondusifitas bernegara agar negara ini selalu dapat menjadi rumah yang nyaman bagi seluruh anak bangsa. Selamanya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar