Minggu, 12 Mei 2019

DEMOKRASI DAN NOMOKRASI


Indonesia adalah negara yang menganut sistem politik demokrasi. Meskipun kata "demokrasi" sendiri tidak pernah tertulis secara eksplisit dalam konstitusi. Entitas sebagai negara demokrasi dapat dilihat melalui ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi: "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD". Selain Pasal 1 ayat (2), substansi sebagai negara demokrasi juga terpenuhi dalam konstitusi melalui adanya pemilu berkala yang diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang independen dan imparsial (Pasal 22 E), kemudian yang paling krusial adalah adanya jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dalam rangka kebebasan berserikat dan mengemukakan pendapat (Pasal 28 E).

Dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 juga dapat kita lihat bahwa sistem demokrasi negara kita dipandu berdasarkan UUD yang merupakan hukum dasar dalam bernegara. Selanjutnya menurut Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa "negara Indonesia adalah negara hukum". Berdasarkan konstruksi dua Pasal tersebut dapat kita ejawantahkan bahwa sistem demokrasi negara Indonesia dilaksanakan dan dipandu berdasarkan kedaulatan hukum atau nomokrasi.

Itu mengandung makna bahwa negara demokrasi kita bukanlah negara demokrasi liberal yang berdasarkan kebebasan absolut rakyat melainkan negara demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan hukum, dimana hukum tampil sebagai landasan fundamental dalam mekanisme pelaksanaan demokrasi. Artinya rakyat dalam melaksanakan aktivitas demokrasi harus mengikuti aturan main dan mekanisme sesuai yang ditetapkan oleh hukum.

Misalnya, kebebasan mengemukakan pendapat kita ketahui merupakan hak esensial dari pada entitas demokrasi. Namun pelaksanaan dari pada hak kebebasan mengemukakan pendapat itu sendiri dipandu berdasarkan aturan main hukum. Contohnya, saat rakyat ingin menyalurkan aspirasi melalui demo tentu harus memberikan surat pemberitahuan kepada pihak keamanan, kemudian dalam mengemukakan pendapat pun rakyat tidak boleh mengandung ujaran yang mengandung pencemaran, fitnah, dan penistaaan. Karena perbuatan tersebut tergolong sebagai tindak pidana yang diatur dalam hukum positif (KUHP). Dari ketentuan tersebut dapat kita lihat bahwa implementasi demokrasi dibatasi sedemikian rupa oleh prinsip nomokrasi yang tujuan utamanya agar terjaga stabilitas bernegara.

Ruang dan entitas demokrasi harus dikawal berdasarkan kedaulatan hukum atau nomokrasi, sebaliknya kedaulatan hukum harus dinafasi oleh semangat dan prinsip demokrasi. Hal ini penting karena jika ruang dan entitas demokrasi tidak dikawal berdasarkan nomokrasi, maka yang timbul kemudian adalah chaos dan instabilitas sosial. Di sisi lain jika kedaulatan hukum tidak dinafasi oleh semangat dan prinsip demokrasi, maka akan timbul sebuah kondisi yang dinamakan oleh Bryan Z Tamanaha sebagai "the thinnner rule of law". Bryan Z Tamanaha dalam bukunya "On The Rule of Law" memaknai "the thinner rule of law" sebagai sebuah kondisi dimana hukum hanya menjadi alat legitimasi kekuasan penguasa.

Dalam kondisi demikian, hukum hanya akan menjadi tameng untuk membenarkan semua tindakan penguasa. Penguasa akan selalu berlindung pada hukum. Penguasa merasa telah absah bertindak asalkan ada landasan peraturannya tidak perduli apakah perbuatan tersebut patut maupun tidak patut. Cara penguasa yang melegitimasi kekuasaan berdasarkan peraturan hukum yang tidak dilandasi oleh prinsip dan semangat demokrasi (hukum dibuat sesuai keinginan penguasa) pada akhirnya akan mengejawantah sebagai negara hukum otoriter.

Oleh karenanya, demokrasi dan nomokrasi harus berjalan beriringan. Demokrasi harus dipandu berdasarkan nomokrasi sebaliknya nomokrasi harus dinafasi oleh prinsip dan semangat demokrasi. Agar chaos, instabilitas sosial, dan otoritarianisme bertameng hukum tidak mengejawantah dalam tertib kehidupan bernegara.

FRIKSI PASCA PEMILU

Suhu panas politik terus berlangsung baik sebelum pemilu hingga pasca terselenggaranya pemilu. Sebuah kondisi yang membuat ikatan kohesi sosial masyarakat kita secara umum agak renggang. Masih panasnya tensi politik pasca penyelenggaraan pemilu menurut hemat saya disebabkan lantaran para elite politik dan para patron tak henti-hentinya menebar narasi-narasi demagogis dan provokatif yang kemudian menyulut emosi rakyat akar rumput. Narasi "pemilu curang" terus dibangun bahkan hingga terjadi provokasi untuk melakukan pertumpahan darah dengan dalih demi melawan ketidakadilan dan "kecurangan" pemilu.

Di indonesia, kita ketahui bersama bahwa budaya paternalistik (tunduk pada patron) masih mengakar kuat. Dan sayangnya orang-orang yang memiliki kualifikasi sebagai patron seperti elite politik, tokoh sosial, akademisi hingga pemuka agama banyak yang terseret dalam arus persaingan politik praktis (pilpres) sehingga tidak mampu memainkan peran sebagai agen stabilitator sosial. Sebaliknya, sebagian dari mereka malah tampil sebagai agitator yang handal memainkan emosi kebathinan akar rumput. Memobilisasi emosi dan militansi rakyat untuk bertindak sesuai keinginan mereka.

Para patron seharusnya kembali pada khitahnya guna berperan sebagai stabilitator sosial dengan membangun narasi-narasi menyejukkan yang bisa merekatkan ikatan kohesi sosial dan konsolidasi kewargaan masyarakat. Patron harus menjauhi narasi-narasi provokasi negatif yang berimplikasi buruk pada stabilitas sosial dan konsolidasi kerukunan kewargaan. Dalam setiap tindakan, perkataan, dan sikap publik yang ditunjukkan, patron hendaknya harus selalu berlandaskan pada keilmuan, tanggungjawab moral, nalar, kebenaran, dan obyektifitas dalam bingkai semangat harmonisasi bangsa.

REALITAS SOSIAL DAN BANALITAS NALAR

Dalam realitas sosial, konstruksi sosial yang terbangun saat ini adalah masyarakat cenderung tidak lagi mencari kebenaran, fakta, dan realitas. Namun lebih kepada mencari afirmasi pembenaran atas sesuatu yang mereka sukai dan mereka yakini. Fanatisme sempit politik terhadap tokoh politik yang mereka dukung baik atas inisiatif pribadi maupun melalui "sabda" patron telah membutakan akal sehat dan obyektifitas nalar sehingga tercipta banalitas nalar.

Banalitas nalar membuat perspektif dan landasan dalam menilai kebenaran bukan lagi terletak pada fakta, realitas dan obyek. Namun terletak pada keyakinan, rasa cinta (fanatisme), dan subyek (siapa yang melakukan). Hal inilah yang membuat titik sengkarut pikir dan tensi panas masih membayangi meskipun penyelenggaraan pemilu telah usai. Masing-masing pihak mencoba mencari pembenaran atas apa yang mereka yakini sehingga friksi pun tidak terhindarkan.

Maka, ditengah panasnya tensi politik yang masih menyala hingga sekarang ini, para elite politik dan para patron dari kedua kubu (kubu Jokowi dan kubu Prabowo) harus segera menjalin komunikasi dan membangun narasi yang menyejukkan bagi rakyat. Kalaupun ada ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pemilu maupun hasil pemilu lawanlah melalui mekanisme hukum yang tersedia. Jangan membenturkan rakyat dengan rakyat demi sekadar syahwat kekuasaan. Jangan menghancurkan modal sosial-politik negeri ini yakni persatuan dan kesatuan demi ego dan oportunitas individu maupun kelompok. Mari berikan contoh dan suri tauladan kepada rakyat tentang bagaimana tertib dan kedewasaan dalam berdemokrasi.

Tertib dan kedewasaan berdemokrasi mengandung makna bahwa dalam kompleksitas berdemokrasi harus selalu berlandaskan dan berpijak pada rambu-rambu nomokrasi. Jika terjadi ketidakpuasan dalam proses demokrasi lawan melalui mekanisme hukum yang tersedia tanpa harus membangun provokasi-provokasi yang berbahaya bagi persatuan dan kesatuan kita sebagai sebuah bangsa.

Di sisi lain, tertib dan kedewasaan berdemokrasi juga mengandung makna bahwa dalam kontestasi demokrasi setiap pihak yang menjadi kontestan beserta pendukungnya harus siap menang maupun siap kalah. Jika menang jadilah pemenang yang baik dengan merangkul yang pihak kalah tanpa arogansi dan jika kalah jadilah good loser dimana dapat menerima kekalahan secara lapang dada dan tetap memiliki semangat untuk turut mengawal pembangunan negeri ini meski dari luar kekuasaan yakni melalui kritik maupun masukan yang konstruktif.

Marilah kita bersama tempatkan nilai-nilai fundamental bernegara jangka panjang diatas kepentingan-kepentingan praktis jangka pendek. Toh tanpa menjadi penguasa sekalipun masih banyak lahan yang dapat kita garap untuk memberikan kontribusi bagi rakyat, bangsa, dan negara ini.

Perlu diketahui bawa tertib dan kedewasaan dalam berdemokrasi adalah modal dasar dan modal pokok sebagai pondasi untuk membangun peradaban bangsa ini kedepan. Tanpa tertib dan kedewasaan dalam berdemokrasi percayalah negeri hanya akan jalan ditempat. Tidak mampu bertransformasi menjadi sebuah bangsa yang besar dan madani.

Selesai ....









Tidak ada komentar:

Posting Komentar