Senin, 09 September 2019

REFLEKSI INDONESIA: MENGUATNYA POLITIK OLIGARKIS DAN MELEMAHNYA DEMOKRASI SUBSTANSIAL


Secara historis, Indonesia tergolong negara demokrasi berpengalaman. Berbagai corak demokrasi sudah pernah dirasakan. Dari demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi semu, hingga demokrasi substansial, semua pernah dirasakan dalam perjalanan historis bangsa ini. Selepas reformasi, pembangunan demokrasi yang substansial mulai di bangun sebagai blue print sistem demokrasi kita.

Lalu apa itu demokrasi substansial, demokrasi substansial adalah entitas demokrasi yang di landasi oleh prinsip-prinsip fundamental demokrasi yang mengejawantah dalam tertib kehidupan bernegara yang meliputi empat aspek kunci yakni: adanya pemilu berkala yang demokratis dan imparsial, adanya jaminan HAM, adanya kebebasan pers, dan adanya partisipasi politik strategis dari rakyat.

Oleh karenanya, selepas era reformasi sistem politik Indonesia mulai di bangun guna dapat menjadi ekosistem nan memadai bagi tumbuhnya demokrasi substansial. Amandemen Konstitusi dilakukan untuk meletakkan prinsip-prinsip fundamental sebagai pondasi dalam membangun entitas demokrasi yang substansial. Perbaikan sistem pemilu, lahirnya Undang-Undang pers, lahirnya Undang-Undang HAM, jaminan kebebasan berpolitik, dan penguatan partisipasi politik rakyat adalah langkah-langkah yang di bangun sebagai sarana demokratisasi guna mewujudkan demokrasi substansial.

Tujuan dari demokrasi substansial sendiri adalah guna menciptakan masyarakat madani (civil society) sebagai motor penggerak bagi terwujudnya cita-cita dan tujuan negara.

Namun, selepas era reformasi yang diukur melalui 4 penyelenggaraan pemilu (2004, 2009, 2014, 2019) wajah demokrasi kita justru semakin kontraproduktif dengan platform sistem demokrasi yang hendak di bangun. Hal ini di tandai dengan semakin jauhnya entitas demokrasi kita dari ghiroh demokrasi substansial.

Apa indikatornya ?. Pertama, sistem pemilu tidak dapat mengejawantah menjadi sarana filter untuk memilih pemimpin terbaik. Sebaliknya, sistem pemilu justru mengejawantah menjadi ruang yang penuh dengan nuansa transaksional, tarik menarik kekuatan kapital, dan kesepakatan kompromis-pragmatis. Selanjutnya, pemilu juga masih kental dengan intrik kecurangan khususnya terkait politik uang.

Kedua, minimnya peran partai politik dalam rangka mewujudkan demokrasi substansial. Partai politik tidak mampu melaksanakan fungsinya sebagai agen demokratisasi khususnya terkait fungsi kaderisasi dan pendidikan politik. Sebaliknya, partai politik justru mawujud sebagai lembaga pencetak para koruptor dan ladang tumbuhnya kultur oligarkis. Pola interaksi internal parpol sendiri cenderung bersifat layaknya perusahaan yang jauh dari prinsip demokrasi. Ketiga, minimnya peran strategis rakyat dalam sistem politik karena suaranya telah “terbeli” oleh para elite politik. Menurut Burhanudin Muhtadi, fenomena semacam ini disebutnya sebagai vote buying yang dilatarbelakangi adanya permintaan dan kebutuhan bercorak ekonomis. Keempat, minimnya peran konstruktif dari pers. Mayoritas pers kini di kuasai oleh para elite politis dan di gunakan sebagai sarana promosi politik. Dengan kondisi demikian, indepedensi dan peran konstruktif pers akan sulit mawujud dalam ruang demokrasi kita.

Melemahnya demokrasi substansial sendiri menurut hemat saya di sebabkan oleh menguatnya politik oligarkis. Konkretnya, politik oligarkis adalah penyakit yang menghambat terwujudnya entitas demokrasi substansial. Politik oligarkis mencengkram sendi-sendi fundamental demokrasi sehingga substansi demokasi tidak dapat mengejawantah dalam proses dan entitas demokrasi.

Politik oligarkis sendiri bermakna pola kekuasaan yang di kendalikan oleh sekelompok kaum elitis yang memiliki kekuatan kapital. Kekuatan kapital inilah yang kemudian mengesampingkan prinsip meritokrasi, sehingga orang-orang yang duduk pada posisi-posisi strategis politik bukanlah orang-orang yang memiliki kapasitas mumpuni melainkan orang-orang yang memiliki kekuatan kapital.

Menurut Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarchy, oligarki di bagi dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki di bangun atas dasar kekuatan modal ekonomi yang masif, sehingga mampu menguasai dan mendominasi sekup-sekup kekuasaan. Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan politik yang menggurita secara sistemik. Tujuan para kaum oligarki terjun dalam ekosistem politik sendiri tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengamankan sumber daya materil yang dimilikinya.

Jika kita cermati seksama, fenomena sebagaimana di jelaskan oleh Jeffrey A. Winters adalah fenomena empirik bagi wajah perpolitikan kita khususnya ketika berbicara spektrum partai partai politik. Menurut Vedi Hadiz, pengelolaan parpol di Indonesia masih kental dengan nuansa oligarkis-pragmatis dan jauh dari prinsip demokratis-egaliter. Keputusan internal parpol cenderung bersifat paternalistik bukan mufakat-demokratis. Hal ini membuat sikap dan kebijakan parpol hanya mencerminkan keinginan pragmatis dari patron parpol.

Gurita oligarki dalam partai politik sendiri menyebabkan partai politik mengalami disfungsi sebagai agregator demokratisasi. Fungsi kaderisasi politik macet. Pendidikan politik nihil. Mahar politik sebagai causa dari korupsi semakin masif lantaran partai politik lebih tertarik memberikan “tiket” politik kepada pemburu kekuasaan berkekuatan modal kapital dari pada yang memiliki kapasitas dan integritas. Oportunitas partai politik meningkat, sehingga partai politik cenderung hanya menjadikan masyarakat sebagai obyek untuk meraih legitimasi kekuasan bukan subyek untuk di sejahterakan.

Menguatnya politik oligarkis inilah yang menyebabkan demokrasi substansial menjadi melemah dan sulit mengejawantah dalam proses dan entitas demokrasi. Akibatnya, demokrasi tidak mampu menjadi motor penggerak bagi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial. Justru sebaliknya, demokrasi malah menjadi sarang penyamun bagi tumbuhnya budaya korupsi yang menyengsarakan kehidupan rakyat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar