Senin, 30 September 2019

WAWANCARA VIA EMAIL: TEORI HUKUM MURNI


Berikut adalah hasil wawancara via e-mail antara saya (sebagai narasumber) dan Riskiyah Tsalas Dewi (penanya), mahasiswi ilmu komunikasi USM. Wawancara ini sendiri merupakan bagian pemenuhan tugas kuliah jurnalistik cetak saudari Riskiyah Tsalas Dewi dan kelompoknya. Tema yang dibahas sendiri terkait dengan teori hukum atau secara lebih spesifik berbicara mengenai teori hukum murni.

Wawancara

1.Riskiyah: Bagaimana pendapat Anda tentang hukum murni yang ada di Indonesia, apakah masih berlaku atau tidak ?

Saya: Teori hukum murni yang digagas oleh Hans Kelsen sejujurnya telah kadaluwarsa. Dalam arti sudah tidak kompatibel dan nir-relevansi dengan dinamika dan kondisi zaman. Esensi dari Hukum murni adalah hukum harus dipisahkan antara bentuk (formal) dan isi (material). Hukum berurusan dengan bentuk bukan isi. Hukum murni juga sering disebut dengan mazhab neo-kantian (memisahkan antara bentuk dan isi/substansi). Hukum adalah tentang apa yang ada bukan apa yang seharusnya. Konkretnya, hukum murni adalah hukum yang harus murni dan bersih dari unsur-unsur non-yuridis diluar hukum.

Teori ini tentu tidak sejalan dengan konteks dan dinamika zaman modern dimana hukum di konstruksikan sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai dan keyakinan hidup masyarakat yang kemudian ditransformasikan menjadi hukum positif guna mewujudkan ketertiban dan kemaslahtan bersama.

Bagi saya, di Indonesia teori hukum murni sudah tidak ada. Mengapa saya mengatakan demikian ? karena segala peraturan perundang-undangan (hukum dalam arti peraturan) yang ada baik dari Undang-Undang hingga level peraturan dengan hierarki terendah selalu erat dengan nilai-nilai sosiologis, historis, dan filosofis yang tercantum dalam konsideran sebuah peraturan perundang-undangan, substansi (muatan pasal), hingga dalam penjelasan yang biasanya memuat politik hukum (tujuan) suatu peraturan.

Singkatnya, teori hukum murni sudah tidak ada di indonesia. Karena tidak ada satu pun hukum di indonesia yang lepas dari unsur-unsur non-yuridis sebagaimana prinsip hukum murni.

2.Riskiyah: Apa maksud dari hukum murni merupakan pemberontak terhadap ilmu hukum yang ideologis ?

Saya: Maksudnya adalah bahwa hukum murni merupakan antitesis dari pada ilmu hukum ideologis yang menyandarkan hukum sebagai cerminan dari naluri, intuisi cita keadilan, dan nilai ideologi yang didasarkan atas kesadaran manusia. Hukum murni mencoba mendobrak hal tersebut dengan mengkonsepsikan hukum sebagai ilmu pengehetahuan yang bebas dari naluri, intuisi cita keadilan, dan nilai ideologi. Konklusinya, hukum harus bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai nilai.

3.Riskiyah: Apa yang dimaksud dengan semua hukum bersumber pada satu induk, dalam teori hukum murni dari konsep Hans Kelsen ?

Saya: Maksud dari semua hukum bersumber pada satu induk yang sama dalam teori hukum murni Hans Kelsen adalah berkaitan dengan konsep teori stufenbau. Dalam konsep teori stufenbau, hukum membentuk suatu hierarki norma dimana norma yang paling tinggi adalah norma dasar (grundnorm) yang masih bersifat abstrak. Norma dasar inilah yang menjadi dasar validitas bagi berlakunya suatu peraturan hukum dibawahnya. Norma dasar inilah yang menjadi induk bagi terbentuknya peraturan-peraturan dibawahnya. Atau secara a contrario dapat diartikan bahwa semua peraturan hukum pada prinsipnya merupakan penjabaran dan pengejawantahan secara lebih konkret dari pada norma dasar (norma induk). Oleh karenanya, disebut semua hukum bersumber dari satu induk yang sama yakni grundnorm (norma dasar yang bersifat abstrak).

Jika diibaratkan di Indonesia, maka semua peraturan hukum yang ada pada prinsipnya menjabarkan dan menginduk pada Pancasila yang merupakan norma dasar negara.

4.Riskiyah: Bagaimana hukum murni jika diterapkan di kehidupan sehari-hari apa dampaknya ?

Saya: Jika hukum murni diterapkan pada kehidupan sehari-hari (saat ini) tentu akan menimbulkan kesenjangan (legal gaps) antara hukum dan rasa kesadaran hukum masyarakat. Hukum murni yang bebas dari unsur-unsur non-yuridis termasuk bebas dari nilai dan cita-cita masyarakat akan mendapat penolakan secara common sense dari masyarakat, karena hukum yang ada tidak mengakomodasi cita-cita dan rasa kesadaran hukum mereka. Hal demikian itu membuat hukum yang berlaku (hukum murni) tidak akan efektif bahkan justru menjadi penyebab timbulnya instabilitas sosial.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar