Sabtu, 22 Februari 2020

KLUB SEPAK BOLA DAN PEMERINTAH DAERAH


Pada malam yang dingin selepas gerimis di sebuah warung kopi, saya terlibat diskusi nan hangat mengenai sepak bola bersama kawan saya yang notabene adalah penggemar berat dunia si kulit bundar khususnya seputar wajah dan dinamika "bal-balan" lokal.

Diskusi kami berjalan begitu cair. Hingga pada satu titik saya harus menyahut perkataaanya. Saat itu dia berkata: "Saat ini banyak klub profesional yang kembang-kempis (kesulitan ekonomi) karena minimnya kepedulian dan peran dari pemerintah daerah".

Saya langsung menanggapi "Secara formal memang tidak ada kewajiban dan tanggung jawab pemerintah daerah terhadap klub profesional yang berada di daerahnya, secara aturan bahkan itu dilarang. Di sisi lain, secara filosofis, sebuah entitas olah raga (klub) bisa disebut sebagai profesional salah satunya jika bisa lepas dari bayang-bayang imperatif politis baik secara formal maupun non-formal, olah raga profesional harus bisa menjadi sistem autopoetic (menghidupi diri sendiri)". Mendengar penjelasan saya, teman saya pun langsung menampakkan raut muka keheranan.

Beda Era 

Perlu dipahami, klub sepak bola profesional sekarang adalah entitas swasta berbadan hukum PT bahkan ada yang PT Tbk. Bukan Yayasan lagi sebagaimana dahulu yang lekat dengan afiliasi pemerintah daerah.

Jika dahulu orientasi sebuah klub hanya sebatas prestasi dan prestasi itu tergantung dari politik anggaran (kucuran APBD) pemerintah daerah. Beda dengan sekarang. Sekarang era profesional (industri), selain prestasi, orientasinya juga nilai bisnis-ekonomis.

Prestasi sebuah klub di sini sangat tergantung dan ditentukan dari kemampuan klub me-manage diri sendiri, dari kemampuan klub membranding dirinya "seseksi dan semenarik" mungkin untuk mendapatkan impact materil. Dimana impact materil inilah yang menjadi "nyawa" klub dan memiliki efek respirokal dengan capaian prestasi dan kejayaan.

Secara historis dan sosiologis (identitas dan ikatan emosi) sebuah klub adalah milik masyarakat kota di mana klub tersebut berada. Tetapi secara hukum, klub adalah milik pemegang saham (karena berbentuk PT). Jadi kalau ada pihak yang menyalahkan terpuruknya sebuah klub profesional karena ketidakpedulian pemerintah daerah. Jelas salah kaprah.

Tanggung jawab klub murni menjadi tanggung jawab PT. Pemerintah daerah tidak memiliki tanggung jawab formal maupun struktural langsung terhadap klub profesional yang ada di daerahnya.

Menurut Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional, tanggung jawab pemerintah daerah (untuk olah raga profesional) hanya sebatas menyediakan infrastruktur olah raga yang memadai misalnya stadion. Pemerintah daerah tidak memiliki tanggung jawab teknis internal.

Jadi, kalau ada pihak yang menyalahkan pemerintah daerah terhadap keterpurukan sebuah klub sepak bola profesional adalah ibarat Anda sakit mata tapi berkeluh dan periksa ke dokter gigi.

Akhir sekali, perlu saya garis bawahi bahwa klub profesional itu klub-klub yang berkompetisi di liga 1 dan liga 2 bukan liga 3 ya hehehe.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar