Salah
satu tujuan berdirinya negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan
umum. Kesejahteraan umum memiliki makna ratio
legis sebagai sebuah kondisi terpenuhinya kesejahteraan inklusif yang
ditandai dengan terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Adil berarti semua
lapisan masyarakat terpenuhi hak-haknya yang dijamin oleh konstitusi. Makmur
berarti masyarakat mampu menjalani hidup secara layak khususnya dalam pemenuhan
kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Untuk
mampu mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat tentunya negara
memerlukan sebuah instrumen yang dapat menjadi sarana untuk mencapai tujuan
negara tersebut. Dan salah satu instrumen negara untuk mewujudkan kesejahteraan
umum adalah pajak. Secara umum, pajak memiliki tiga fungsi strategis. Pertama,
sarana memberantas kemiskinan. Kedua, sarana mengurangi kesenjangan sosial dan
ekonomi. Ketiga, sarana meningkatkan produktivitas dan daya saing. Lalu
bagaimana kondisi dan optimalisasi pajak kita ?.
Perlu
kita ketahui bahwa kebutuhan belanja negara kita tahun ini adalah sebesar Rp.
2.540,4. Sementara pendapatan negara yang bersumber dari pajak, bea dan cukai,
penerimaan negara bukan pajak, dan hibah hanya sebesar Rp. 2.233,2 Triliun.
Pendapatan negara sebesar Rp. 2.2233,2 Triliun sendiri 83.5% nya atau sebesar
Rp. 1865,7 Triliun berasal dari pajak.
Melihat
perbandingan antara pendapatan negara dengan belanja negara diatas dapat kita
lihat negara mengalami defisit keuangan sebesar Rp. 307,2 Triliun. Di sisi
lain, melihat realitas tersebut, juga dapat kita simpulkan bahwa kelangsungan
dan stabilitas ekonomi kita sangat tergantung dari penerimaan pajak. Mengingat
83.5% pendapatan negara berasal dari pajak. Oleh karena itu, urgensi pajak bagi
keberlangsungan negara ini sangatlah tinggi. Hal ini secara a contrario mengandung pesan bahwa
penerimaan pajak harus dioptimalkan guna mengikis defisit pembiyaan negara
sekaligus menstabilkan neraca keungan negara.
Di
tahun 2020 sendiri target penerimaan pajak adalah sebesar Rp. 1.642 Triliun.
Target yang tentunya harus direalisaskan secara optimal. Berkaca pada tahun
2019 lalu realisasi penerimaan pajak hanya sebesar 84,4% dari target penerimaan
pajak. Pada 2019, penerimaan pajak hanya sebesar Rp. 1.332 Triliun dari target
penerimaan pajak Rp. 1.577 Triliun. Lebih jauh, selama 10 tahun terakhir,
realisasi penerimaan pajak selalu meleset dari target penerimaan pajak yang
dicanangkan. Oleh karena itu, diperlukan strategi-strategi progresif dan
integratif guna mendorong optimalisasi penerimaan pajak pada 2020 ini. Terlebih
di tengah resiko perlemahan ekonomi akibat pandemi wabah corona yang terjadi
sebagaimana saat ini.
Strategi Optimalisasi Penerimaan
Pajak di Tengah Pandemi Corona
Efek
pandemi virus corona yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia tidak hanya
mengancam keselamatan manusia tetapi juga memiliki ekses atau imbas yang
negatif terhadap berbagai dimensi kehidupan manusia tak terkecuali dimensi
ekonomi atau berbicara lebih spesifik mengenai penerimaan pajak.
Menteri
Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa penerimaan negara tahun ini akan
kontraksi sebesar 10% year on year. Penurunan
penerimaan negara ini tentunya diakibatkan oleh tersendatnya aktivitas ekonomi
akibat merebaknya pandemi virus corona.
Di
tengah lesunya perekonomian akibat pandemi virus corona yang berimbas terhadap
penerimaan negara khususnya dalam hal penerimaan pajak dibutuhkan
strategi-strategi progresif dan integratif agar target penerimaan pajak tahun
ini tidak mengalami shortfall yang
besar. Berikut penulis sampaikan beberapa strategi-strategi progresif dan
integratif guna mendorong optimalisasi penerimaan pajak di tengah lesunya
perekonomian akibat dampak pandemi virus corona.
Pertama,
memberikan stimulus berupa insentif fiskal terhadap sektor industri manufaktur
yang paling terdampak virus corona. Pemberian insentif ini akan berdampak pada
stabilitas dan produksi industri. Sehingga sektor industri manufaktur
diharapkan akan tetap memberikan kontribusi penerimaan pajak yang optimal baik
melalui pajak badan (PPh) maupun pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk yang
dijual.
Kedua, memperkuat
basis pajak untuk 5 tahun kedepan melalui penyisiran data dan pemutakiran data
basis wajib pajak dengan melakukan optimalisasi peran seksi ekstensifikasi dan
penyuluhan pada KKP Pratama. Optimalisasi di sini baik dalam arti integritas
maupun kualitas.
Ketiga,
menjaga penerimaan pajak dari PPh 21, PPh 22, dan PPh 25 dengan memberikan
insentif berupa keringanan pajak serta melakukan percepatan restitusi pajak
pertambahan nilai (PPN) dalam rangka cashflow.
Keempat,
menerapkan pajak digital atau pajak perdagangan melalui sistem elektorinik
(PMSE) yang tertuang dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Di
beberapa negara pajak digital sudah diberlakukan umumnya menggunakan pendekatan
digital service tax di mana pajak
dikenakan atas penghasilan penyedia jasa periklanan dan jasa intermediasi
daring yang pendapatannya diperoleh dari negara asalnya. Selain itu, juga perlu
dilakukan pengenaan pajak kepada subyek pajak luar negeri (SPLN) yang memiliki significant economic presense di
Indonesia yang melakukan perdagangan melalui sistem elektronik guna menjaga fairness perusahaan digital dalam
negeri.
Kelima,
memperpanjang batas waktu pembayaran pajak dan penyampaian SPT. DJP sebenarnya
sudah memperpanjang batas waktu pembayaran pajak dan pelaporan SPT tahunan
wajib pajak orang pribadi dari 31 Maret menjadi 30 April 2020. Apabila nanti
penerimaan pajak belum jua maksimal, menurut saya perlu dilakukan perpanjangan
batas waktu pembayaran pajak kembali dengan jangka waktu yang rasional.