Secara
harfiah, sistem peradilan pidana dapat diterjemahkan dari dua kata yakni sistem
dan peradilan pidana. Sistem memiliki pengertian sebagai sebuah rangkaian yang
terdiri dari beberapa sub-sistem yang bekerja satu sama lain (terkait) untuk
mencapai tujuan tertentu. Sedangkan peradilan pidana memiliki pengertian
sebagai sebuah proses penyelesaian perkara pidana. Jika disatukan secara utuh,
maka pengertian sistem peradilan adalah sebuah rangkaian sistem untuk memproses
penyelesaian perkara pidana.
Secara
historis. Sistem peradilan pidana pertama kali lahir dan diperkenalkan oleh
para pakar hukum pidana di Amerika Serikat sekitar tahun 1960. Lahirnya sistem
peradilan pidana sendiri dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap mekanisme
kerja aparatur dan institusi penegak hukum karena tidak mampu menekan angka
kriminalitas di Amerika Serikat. Sejalan dengan hal tersebut, maka sistem
peradilan pidana secara esensial memiliki makna sebagai sebuah sistem untuk
menanggulangi kriminalitas.
Tujuan Sistem Peradilan Pidana
Menurut
Prof. Muladi, tujuan dari sistem peradilan pidana dapat dikategorikan dalam 3
tataran yakni jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Tujuan jangka
pendek dari sistem peradilan pidana adalah resosialisasi dan rehabilitasi
pelaku tindak pidana. Sedangkan tujuan jangka menengah yang hendak dicapai
adalah pengendalian dan pencegahan kriminalitas. Dan terakhir jangka panjang,
tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat.
Mardjono
Reksodipoetro menerjemahkan sistem peradilan pidana sebagai sistem pengendalian
kejahatan yang terdiri dari lembaga Kepolisisan, Kejaksaan, Pengadilan, dan
Lembaga Pemasyarakata yang memiliki tujuan mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan demi tegaknya hukum dan keadilan,
serta mengusahakan para pelaku kejahatan agar menyadari kesalahannya dan tidak
mengulangi lagi perbuatannya.
Arti Penting Lembaga Pemasyarakatan
Secagai
sebuah sistem, maka keberhasilan dari tujuan sistem peradilan pidana akan
sangat tergantung dari optimalisasi fungsi dari masing-masing sub-sistem yakni
fungsi Kepolisian (penyelidikan dan penyidikan), fungsi Kejaksaan (penuntunan),
fungsi Pengadilan (vonis), dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan (pemasyarakatan). Dapat
disimplifikasikan bahwa masing-masing sub-sistem pada prinsipnya memiliki peran
penting dalam menunjang keberhasilan sistem peradilan pidana.
Dalam
sistem peradilan pidana terdapat tiga tataran yang bekerja yakni input, proses,
dan output. Input adalah masuknya sebuah perkara tindak pidana baik melalui
laporan dan pengaduan. Proses adalah bekerjanya fungsi-fungsi sub-sistem
peradilan pidana. Output adalah hasil yang diperoleh dari bekerjanya
fungsi-fungsi dari masing-masing sub-sistem peradilan pidana.
Pada
tataran output inilah fungsi sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan akan menjadi
penentu hasil (output) dari bekerjanya sistem peradilan pidana. Lembaga
Pemasyarakatan adalah sub-sistem terakhir dari sistem peradilan pidana yang
menjadi tempat melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik
pemasyarakatan. Fungsi dari lembaga pemasyarakatan adalah melakukan pembinaan
kepada warga binaan pemasyarakatan agar mereka bisa menyadari kesalahannya,
memperbaiki diri, tidak mengulangi melakukan tindak pidana, dan dapat diterima
kembali oleh masyarakat untuk berkontribusi positif dalam pembangunan.
Sayangnya,
secara empirik optimalisasi fungsi Lembaga Pemasyarakatan seringkali terkendala
oleh hambatan. Pertama, mengenai overweight
kapasitas sel di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut data Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kemenkumham, penghuni Lapas pada Mei 2019 berjumlah 265.574
orang dari kapasitas 126.963 orang. Fenomena ini membuat banyak lapas di
Indonesia penuh sesak. Overweight ini
menyebabkan lapas tidak bisa berfungsi secara optimal sebagai tempat
pemasyarakatan yang ideal dan berkemanusiaan. Realitas ini yang menyebabkan
lapas justru mendapat julukan sekolah
bagi penjahat.
Kedua,
soal integritas dari petugas/pejabat lapas di mana narapidana kerah putih seringkali mendapat previlege-previlege sehingga fungsi
pembinaan tidak dapat optimal. Gayus Tambunan dan Freddy Budiman adalah salah
dua contoh narapidana yang pernah mendapatkan previlege di Lapas. Logikanya, bagaimana bisa mendapatkan efek jera
dan menyadari kesalahannya kalau di penjara saja, mereka bisa hidup nyaman
seperti hotel bintang 5.
Solusi
optimalisasi fungsi Lapas menurut saya. Pertama, mengurangi overweight kapasitas Lapas, bisa melalui
penambahan jumlah Lapas, namun tentu hal ini akan berimbas pada membengkaknya
anggaran ekonomi atau melakukan perubahan arah penyelesaian perkara pidana ke
arah restorative justice melalui
sarana legislasi (perubahan substansi hukum ,ex: KUHP) ataupun optimalisasi substansi hukum yang telah ada (Perkap Nomor 6 Tahun 2019) guna menekan jumlah
narapidana. Kedua, meningkatkan intensitas dan kualitas pengawasan terhadap
Lapas agar dapat berfungsi secara optimal.
Pada prinsipnya, hanya
dengan memiliki Lembaga Pemasyarakatan yang fungsional dan optimal dalam
‘merestorasi’ para narapidana, kita akan memiliki optimisne melihat masa depan penegakan hukum pidana kita.
Menurut hemat saya, keberhasilan penegakan hukum pidana sendiri tidak diukur dari seberapa banyak orang bersalah yang masuk ke Lapas, tetapi dilihat dari semakin sedikitnya tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Menurut hemat saya, keberhasilan penegakan hukum pidana sendiri tidak diukur dari seberapa banyak orang bersalah yang masuk ke Lapas, tetapi dilihat dari semakin sedikitnya tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar