Rabu, 01 April 2020

ARTI PENTING LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA


Secara harfiah, sistem peradilan pidana dapat diterjemahkan dari dua kata yakni sistem dan peradilan pidana. Sistem memiliki pengertian sebagai sebuah rangkaian yang terdiri dari beberapa sub-sistem yang bekerja satu sama lain (terkait) untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan peradilan pidana memiliki pengertian sebagai sebuah proses penyelesaian perkara pidana. Jika disatukan secara utuh, maka pengertian sistem peradilan adalah sebuah rangkaian sistem untuk memproses penyelesaian perkara pidana.
Secara historis. Sistem peradilan pidana pertama kali lahir dan diperkenalkan oleh para pakar hukum pidana di Amerika Serikat sekitar tahun 1960. Lahirnya sistem peradilan pidana sendiri dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur dan institusi penegak hukum karena tidak mampu menekan angka kriminalitas di Amerika Serikat. Sejalan dengan hal tersebut, maka sistem peradilan pidana secara esensial memiliki makna sebagai sebuah sistem untuk menanggulangi kriminalitas.
Tujuan Sistem Peradilan Pidana
Menurut Prof. Muladi, tujuan dari sistem peradilan pidana dapat dikategorikan dalam 3 tataran yakni jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek dari sistem peradilan pidana adalah resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana. Sedangkan tujuan jangka menengah yang hendak dicapai adalah pengendalian dan pencegahan kriminalitas. Dan terakhir jangka panjang, tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Mardjono Reksodipoetro menerjemahkan sistem peradilan pidana sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga Kepolisisan, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakata yang memiliki tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan demi tegaknya hukum dan keadilan, serta mengusahakan para pelaku kejahatan agar menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Arti Penting Lembaga Pemasyarakatan
Secagai sebuah sistem, maka keberhasilan dari tujuan sistem peradilan pidana akan sangat tergantung dari optimalisasi fungsi dari masing-masing sub-sistem yakni fungsi Kepolisian (penyelidikan dan penyidikan), fungsi Kejaksaan (penuntunan), fungsi Pengadilan (vonis), dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan (pemasyarakatan). Dapat disimplifikasikan bahwa masing-masing sub-sistem pada prinsipnya memiliki peran penting dalam menunjang keberhasilan sistem peradilan pidana.
Dalam sistem peradilan pidana terdapat tiga tataran yang bekerja yakni input, proses, dan output. Input adalah masuknya sebuah perkara tindak pidana baik melalui laporan dan pengaduan. Proses adalah bekerjanya fungsi-fungsi sub-sistem peradilan pidana. Output adalah hasil yang diperoleh dari bekerjanya fungsi-fungsi dari masing-masing sub-sistem peradilan pidana.
Pada tataran output inilah fungsi sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan akan menjadi penentu hasil (output) dari bekerjanya sistem peradilan pidana. Lembaga Pemasyarakatan adalah sub-sistem terakhir dari sistem peradilan pidana yang menjadi tempat melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Fungsi dari lembaga pemasyarakatan adalah melakukan pembinaan kepada warga binaan pemasyarakatan agar mereka bisa menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, tidak mengulangi melakukan tindak pidana, dan dapat diterima kembali oleh masyarakat untuk berkontribusi positif dalam pembangunan.
Sayangnya, secara empirik optimalisasi fungsi Lembaga Pemasyarakatan seringkali terkendala oleh hambatan. Pertama, mengenai overweight kapasitas sel di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, penghuni Lapas pada Mei 2019 berjumlah 265.574 orang dari kapasitas 126.963 orang. Fenomena ini membuat banyak lapas di Indonesia penuh sesak. Overweight ini menyebabkan lapas tidak bisa berfungsi secara optimal sebagai tempat pemasyarakatan yang ideal dan berkemanusiaan. Realitas ini yang menyebabkan lapas justru mendapat julukan sekolah bagi penjahat.
Kedua, soal integritas dari petugas/pejabat lapas di mana narapidana kerah putih seringkali mendapat previlege-previlege sehingga fungsi pembinaan tidak dapat optimal. Gayus Tambunan dan Freddy Budiman adalah salah dua contoh narapidana yang pernah mendapatkan previlege di Lapas. Logikanya, bagaimana bisa mendapatkan efek jera dan menyadari kesalahannya kalau di penjara saja, mereka bisa hidup nyaman seperti hotel bintang 5.
Solusi optimalisasi fungsi Lapas menurut saya. Pertama, mengurangi overweight kapasitas Lapas, bisa melalui penambahan jumlah Lapas, namun tentu hal ini akan berimbas pada membengkaknya anggaran ekonomi atau melakukan perubahan arah penyelesaian perkara pidana ke arah restorative justice melalui sarana legislasi (perubahan substansi hukum ,ex: KUHP) ataupun optimalisasi substansi hukum yang telah ada (Perkap Nomor 6 Tahun 2019) guna menekan jumlah narapidana. Kedua, meningkatkan intensitas dan kualitas pengawasan terhadap Lapas agar dapat berfungsi secara optimal.
Pada prinsipnya, hanya dengan memiliki Lembaga Pemasyarakatan yang fungsional dan optimal dalam ‘merestorasi’ para narapidana, kita akan memiliki optimisne melihat masa depan penegakan hukum pidana kita. 

Menurut hemat saya, keberhasilan penegakan hukum pidana sendiri tidak diukur dari seberapa banyak orang bersalah yang masuk ke Lapas, tetapi dilihat dari semakin sedikitnya tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. 

           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar