Rabu, 01 April 2020

"LOCK DOWN": QUO VADIS UNDANG-UNDANG KEKARANTINAAN KESEHATAN



Artikel ini saya tulis pada 29 Maret 2020

Persebaran virus Covid 19 yang begitu masif di Indonesia membuat sebagian masyarakat mulai dis-trust dengan metode penanggulangan virus corona yang dipilih oleh pemerintah yakni pendekatan social distancing atau yang kini diperbaharui dengan istilah phisic distancing. Sebagian masyarakat menilai pendekatan phisic distancing kurang memiliki efek mangkus dalam rangka menekan persebaran virus corona. Hal ini setidaknya terbukti dari jumlah kasus positif corona yang terus meningkat saban hari.
Sejalan dengan realitas tersebut, sebagian masyarakat pun mulai mendorong pemerintah untuk menggunakan pendekatan lain dalam rangka menekan persebaran virus corona secara lebih efektif yakni pendekatan lock down. Lock down memiliki pengertian sebagai pembatasan secara ketat aktivitas warga untuk menekan wabah atau pandemi penyakit tertentu.
Lock down sendiri pada dasarnya bukanlah merupakan istilah hukum yang dikenal dalam tata peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan perundang-undangan istilah lock down lazim dikenal dengan istilah karantina wilayah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Selanjutnya, menurut Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, terdapat empat jenis karantina yakni karantian rumah, karantina wilayah, karantian rumah sakit, dan pembatasan sosial berskala besar oleh Pejabat Karantian Kesehatan.
Karantina wilayah sendiri merupakan pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Kekosongan Hukum
Jika pemerintah pada akhirnya memilih pendekatan lock down atau karantina wilayah, dalam penanggulangan virus corona, maka tentu ada mekanisme dan implikasi hukum yang akan berlaku sebagai konsekuensi logis dari ditetapkannya karantina wilayah.
Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, kewenangan menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang didalamnya termasuk penetapan karantina wilayah berada di tangan pemerintah pusat, di mana ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan dan pencabutan kedaruratan kesehatan masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sayangnya, Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 belum ada, hal ini tentunya menyebabkan kondisi kekosongan hukum yang membuat bekerjanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tidak dapat berjalan secara efektif.
Singkatnya, tidak adanya aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah sebagai instrumen yuridis untuk mengatur ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang 6 Tahun 2018 secara lebih konkret membuat beberapa implikasi hukum dalam Undang-Undang Kekarantinaan kesehatan tidak dapat dilaksanakan. Logikanya begini, bagaimana bisa menetapkan kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat termasuk didalamnya penetapan karantina wilayah lha wong tata cara penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat saja belum ada atau belum diatur. Tidak adanya aturan pelaksana juga membuat sanksi-sanksi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tidak dapat difungsikan.
Solusi
Jika pemerintah ingin menetapkan lock down atau karantina wilayah sebagaimana harapan dan aspirasi dari sebagaian masyarakat, maka ada beberapa yang langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi problematika quo vadis Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Perlu dipahami, Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan secara entitas memang ada dan berlaku namun tidak dapat dilaksanakan mengingat tidak adanya aturan pelaksana (Peraturan Pemerintah). Berikut solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi kekosongan hukum.
Pertama, menempuh prosedur biasa dengan segera membuat Peraturan Pemerintah sebagaimana amanat Undang-Undang Kekarantiaan Wilayah. Kedua, menggunakan instrumen diskresi dengan memperhatikan kondisi dan syarat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintaha.
Ketiga, pengeluaran Perppu oleh presiden sebagai instrumen hukum untuk mengatasi situasi kegentingan yang memaksa. Perppu sendiri adalah hak subyektif presiden yang nanti akan diuji obyektivitasnya oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang.

           
           
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar