Artikel ini saya tulis pada 29 Maret 2020
Persebaran
virus Covid 19 yang begitu masif di Indonesia membuat sebagian masyarakat mulai
dis-trust dengan metode
penanggulangan virus corona yang dipilih oleh pemerintah yakni pendekatan social distancing atau yang kini
diperbaharui dengan istilah phisic
distancing. Sebagian masyarakat menilai pendekatan phisic distancing kurang memiliki efek mangkus dalam rangka menekan
persebaran virus corona. Hal ini setidaknya terbukti dari jumlah kasus positif
corona yang terus meningkat saban hari.
Sejalan
dengan realitas tersebut, sebagian masyarakat pun mulai mendorong pemerintah
untuk menggunakan pendekatan lain dalam rangka menekan persebaran virus corona
secara lebih efektif yakni pendekatan lock
down. Lock down memiliki
pengertian sebagai pembatasan secara ketat aktivitas warga untuk menekan wabah
atau pandemi penyakit tertentu.
Lock down sendiri
pada dasarnya bukanlah merupakan istilah hukum yang dikenal dalam tata
peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan perundang-undangan istilah lock down lazim dikenal dengan istilah karantina
wilayah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan.
Menurut
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, kekarantinaan kesehatan
adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau
faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan
kesehatan masyarakat. Selanjutnya, menurut Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2018, terdapat empat jenis karantina yakni karantian rumah,
karantina wilayah, karantian rumah sakit, dan pembatasan sosial berskala besar
oleh Pejabat Karantian Kesehatan.
Karantina
wilayah sendiri merupakan pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk
wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau
terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit
atau kontaminasi.
Kekosongan Hukum
Jika
pemerintah pada akhirnya memilih pendekatan lock
down atau karantina wilayah, dalam penanggulangan virus corona, maka tentu
ada mekanisme dan implikasi hukum yang akan berlaku sebagai konsekuensi logis
dari ditetapkannya karantina wilayah.
Menurut
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, kewenangan menetapkan kedaruratan
kesehatan masyarakat yang didalamnya termasuk penetapan karantina wilayah berada
di tangan pemerintah pusat, di mana ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penetapan dan pencabutan kedaruratan kesehatan masyarakat diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Sayangnya, Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana
dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 belum ada, hal ini tentunya menyebabkan
kondisi kekosongan hukum yang membuat bekerjanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2018 tidak dapat berjalan secara efektif.
Singkatnya,
tidak adanya aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah sebagai instrumen
yuridis untuk mengatur ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang 6 Tahun 2018
secara lebih konkret membuat beberapa implikasi hukum dalam Undang-Undang
Kekarantinaan kesehatan tidak dapat dilaksanakan. Logikanya begini, bagaimana
bisa menetapkan kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat termasuk didalamnya
penetapan karantina wilayah lha wong tata
cara penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat saja belum ada atau belum
diatur. Tidak adanya aturan pelaksana juga membuat sanksi-sanksi yang tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tidak dapat difungsikan.
Solusi
Jika
pemerintah ingin menetapkan lock down atau
karantina wilayah sebagaimana harapan dan aspirasi dari sebagaian masyarakat,
maka ada beberapa yang langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi
problematika quo vadis Undang-Undang
Kekarantinaan Kesehatan. Perlu dipahami, Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan
secara entitas memang ada dan berlaku namun tidak dapat dilaksanakan mengingat
tidak adanya aturan pelaksana (Peraturan Pemerintah). Berikut solusi yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kekosongan hukum.
Pertama,
menempuh prosedur biasa dengan segera membuat Peraturan Pemerintah sebagaimana
amanat Undang-Undang Kekarantiaan Wilayah. Kedua,
menggunakan instrumen diskresi dengan memperhatikan kondisi dan syarat
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintaha.
Ketiga,
pengeluaran Perppu oleh presiden sebagai instrumen hukum untuk mengatasi situasi
kegentingan yang memaksa. Perppu sendiri adalah hak subyektif presiden yang
nanti akan diuji obyektivitasnya oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar