Rabu, 01 April 2020

KORUPSI DALAM PERSPEKTIF TEORI COST-BENEFIT




Korupsi masih menjadi penyakit akut bangsa ini untuk maju sebagai bangsa yang mudun dan sejahtera. Korupsi baik dalam arti yang formal maupun non-formal (perilaku koruptif) masih begitu lekat dalam interaksi kehidupan masyarakat Indonesia. Memang, korupsi sendiri sejujurnya bukan hanya menjadi problematika dan fenomena di Indonesia saja, melainkan juga menjadi problematika dan fenomena endemik yang hidup di semua negara di dunia. Hanya saja yang membedakan antara satu negara dengan negara lain adalah soal skala dan intensitas.

Perlu diingat sebagai memori kolektif bangsa, bahwa salah satu semangat dan agenda reformasi adalah melakukan pemberantasan terhadap korupsi. Untuk mendukung semangat dan agenda tersebut pembangunan struktur hukum dan substansi hukum pun dilakukan sebagai pondasi formal guna memberantas korupsi. 

Pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga membentuk pengadilan khusus tipikor merupakan wujud respon yuridis dari negara guna mendukung semangat dan agenda pemberantasan korupsi yang mana merupakan salah satu agenda sakral reformasi. Namun faktanya, pondasi formal guna memberantas korupsi tersebut nyatanya belum mampu secara signifikan memberantas praktik korupsi.

Labirin Praktik Korupsi

Menurut Prof Saldi Isra dalam artikelnya Labirin Praktik Korupsi yang termuat dalam koran Kompas (5 Januari 2017) mengatakan bahwa praktik koruptif telah menjadi praktik keseharian sehingga menjadi sulit membedakan antara perilaku koruptif dan perilaku yang semestinya. Perilaku koruptif telah mengakar begitu kuat dalam ceruk interaksi sosial masyarakat bahkan telah termanifestasi menjadi sebuah kebiasaan.

Budaya koruptif tersebut pada tahap lebih lanjut kemudian mengejawantah sebagai basis ekosistem nan potensial bagi tumbuh suburnya praktik korupsi. Sejalan dengan fenomena tersebut, sejujurnya negara telah membuat kebijakan hukum baik kebijakan hukum administrasi maupun kebijakan hukum pidana guna merestorasi budaya koruptif masyarakat.  Dalam konteks kebijakan hukum administrasi, misalnya kebijakan mengenai pengadaan barang dan jasa, kebijakan transaksi non tunai, hingga kebijakan perekrutan ASN yang mengedepankan transparansi dan sistem meritokrasi.

Sedangkan dalam konteks kebijakan hukum pidana (criminal policy) misalnya dengan mengkriminalisasi perbuatan gratifikasi (dalam arti melawan hukum) sebagai tindak pidana kemudian kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan justice collaborator dan whistle blower untuk mempermudah pengungkapan perkara tindak pidana korupsi. Meskipun kebijakan hukum baik secara administrasi maupun pidana telah dibangun sedemikian rupa untuk meminimalisir praktik korupsi, namun dalam realitasnya, praktik korupsi justru semakin masif baik secara dimensi horizontal maupun dimensi vertikal.

Secara horizontal, korupsi telah terjadi pada semua cabang kekuasaan negara baik cabang eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Singkatnya, tidak ada lembaga negara pada cabang utama kekuasaan negara yang bersih dari korupsi.

Sedangkan secara vertikal, korupsi juga masih subur baik dari tingkat pemerintah pusat, pemerintah daerah, bahkan hingga desa. Menurut data ICW, sejak adanya dana desa, korupsi di desa dari tahun ke tahun relatif mengalami peningkatan. Sepanjang tahun 2015 hingga tahun 2018 ICW mencatat ada 252 kasus korupsi di desa. Rinciannya, tahun 2015 22 kasus, tahun 2016 48 kasus, tahun 2017 98 kasus, tahun 2018 96 kasus dengan total kerugian negara mencapai 107,7 miliar rupiah. 

Fakta tersebut seakan menjadi penegas pendapat Syed Husein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption (1968) bahwa perkembangan korupsi awalnya dimulai secara sporadis kemudian merebak dan meluas dan akhirnya akan membunuh masyarakatnya sendiri. Faktanya, di Indonesia awalnya korupsi juga bersifat sporadis dan sentralistik kemudian merebak dan meluas ke daerah-daerah hingga desa. Hanya saja, korupsi di Indonesia belum sampai membunuh masyarakatnya dan itulah yang harus kita cegah bersama.

Teori Cost-Benefit

Secara teoritik, sejujurnya telah banyak teori yang membahas mengenai penyebab terjadinya korupsi pada sebuah negara. Namun pada kesempatan kali ini penulis ingin membahas secara spesifik tentang teori penyebab korupsi yang bernama teori cost-benefit. Teori cosf-benefit pada korupsi mengandung makna bahwa korupsi akan selalu terjadi dan tumbuh subur manakala resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi lebih kecil dari pada manfaat yang diperoleh dari melakukan korupsi.

Resiko yang lebih kecil ini mengandung empat unsur. Vonis yang relatif rendah, previlege di lembaga pemasyarakatan, masih memiliki hak dan akses politik, dan rendahnya sanksi sosial dari masyarakat. Sederhananya, tidak ada efek jera atas pemidanaan dan pemasyarakatan seorang narapidana korupsi. Dia melakukan korupsi toh masih kaya, masih bisa hidup enak di penjara, masih bisa berpolitik selepas bebas, dan masih diterima secara hangat oleh masyarakat. 

Resiko yang kecil atas perbuatan korupsi dapat kita lihat dari segi vonis hukuman yang relatif rendah. Menurut data ICW pada tahun 2018, vonis pengadilan terhadap pelaku korupsi rata-rata adalah 2,5 tahun penjara, ini masih dipotong remisi dan bebas bersyarat. Di sisi lain, ICW juga menyayangkan maraknya pengurangan hukuman terhadap narapidana korupsi khususnya ditingkat peninjauan kembali sepanjang tahun 2019 lalu. Sepanjang 2019, total ada 6 putusan yang meringakan pada tingkat peninjauan kembali. Salah satu yang mendapat keringanan hukuman tersebut adalah Patrialis Akbar, mantan hakim Mahkamah Konstitusi.

Kemudian, dalam konteks pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan para narapidana korupsi seringkali juga mendapat previlege-previlege yang membuat mereka dapat hidup nyaman selayaknya di hotel bintang 5. Kemampuan material narapidana korupsi dan rendahnya integritas dari pejabat/petugas lapas membuat hal tersebut lazim terjadi. Beberapa satu contohnya adalah Gayus Tambunan, Artalyta Suryani, Freddy Budiman, hingga Agusrin Najamuddin. Keempatnya bisa tinggal di lapas dengan fasilitas mewah bak hotel bintang 5 (sebelum terbongkar). Dan fenomena ini bisa jadi merupakan fenomena gunung es, hanya nampak beberapa di permukaan namun sejatinya banyak terjadi hanya saja tidak terbongkar ke publik.

Selanjutnya dalam konteks sosial-politik, para narapidana korupsi juga masih mendapat status sosial yang tinggi dan akses politik memadai untuk menjadi pemimpin masyarakat. Masyarakat masih menerima secara hangat dan hak politik juga masih mereka miliki. Hal ini semakin mempertegas realita bahwa resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi sangat kecil bahkan dapat dikatakan tak terasa. Tak terasa efek jeranya.

Solusi

Menurut teori cost-benefit korupsi akan tumbuh subur manakala resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi lebih kecil dari pada manfaat yang diperoleh dari melakukan korupsi. Sejalan dengan premis tersebut maka salah satu jalan menekan praktik korupsi adalah dengan memperbesar resiko yang harus ditanggung. Konkretnya, resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi harus lebih besar dari pada manfaat yang diterima dari melakukan korupsi. Ada empat upaya yang dapat dilakukan.

Pertama, hakim harus lebih peka bahwa tinggi rendahnya vonis yang mereka jatuhkan terhadap pelaku korupsi memiliki implikasi respirokal terhadap naik turunnya praktik korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang memiliki dampak buruk bagi semua bidang kehidupan ketatanegaraan. Aspek inilah yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Kedua, lembaga pemasyarakatan harus benar-benar optimal dalam menjalankan fungsi pemasyarakatan terhadap narapidana korupsi, sehingga diharapkan para narapidana korupsi dapat menyadari kesalahannya sekaligus mendapatkan efek jera.  

Ketiga, partai politik harus memiliki prinsip dan idealisme untuk tidak memberikan tiket politik kepada para mantan narapidana korupsi. Restriksi mantan narapidana korupsi untuk kembali bergelut di bidang politik merupakan bagian penting sebagai strategi untuk menekan praktik korupsi. Inilah langkah yang lebih efektif dari pada sekadar pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dalam jangka waktu tertentu.

Keempat, masyarakat hendaknya juga memberikan sanksi sosial misalnya social distancing dalam jangka waktu tertentu kepada mantan narapidana korupsi. Hal ini akan dapat menjadi semacam shock therapy yang mengandung efek jera (malu) kepada mantan narapidana korupsi dan efek pencegahan (prevensi general) kepada masyarakat lainnya agar tidak melakukan korupsi.

Jika dilihat secara seksama, keempat upaya diatas pada prinsipnya mengandung 3 tataran dimensi. Pertama, dimensi yuridis yakni terkait vonis hakim dan optimalisasi fungsi lapas. Kedua, dimensi politis yakni terkait dengan restriksi hak dan askses politik. Ketiga, dimensi sosiologis yakni terkait dengan sanksi sosial dari masyarakat. 

Ketiga dimensi di atas secara praksis harus dapat bekerja secara optimal dan fungsional untuk memperkecil terjadinya praktik korupsi. Korupsi adalah musuh kita bersama, penyakit yang menghambat kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini. Mari bersinergi bersama melawan korupsi. Jangan berikan ruang sekecil pun terhadap perbuatan laknat tersebut.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar