Korupsi masih menjadi
penyakit akut bangsa ini untuk maju sebagai bangsa yang mudun dan sejahtera.
Korupsi baik dalam arti yang formal maupun non-formal (perilaku koruptif) masih
begitu lekat dalam interaksi kehidupan masyarakat Indonesia. Memang, korupsi
sendiri sejujurnya bukan hanya menjadi problematika dan fenomena di Indonesia
saja, melainkan juga menjadi problematika dan fenomena endemik yang hidup di
semua negara di dunia. Hanya saja yang membedakan antara satu negara dengan
negara lain adalah soal skala dan intensitas.
Perlu diingat sebagai
memori kolektif bangsa, bahwa salah satu semangat dan agenda reformasi adalah
melakukan pemberantasan terhadap korupsi. Untuk mendukung semangat dan agenda
tersebut pembangunan struktur hukum dan substansi hukum pun dilakukan sebagai
pondasi formal guna memberantas korupsi.
Pembentukan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi,
hingga membentuk pengadilan khusus tipikor merupakan wujud respon yuridis dari
negara guna mendukung semangat dan agenda pemberantasan korupsi yang mana
merupakan salah satu agenda sakral reformasi. Namun faktanya, pondasi formal
guna memberantas korupsi tersebut nyatanya belum mampu secara signifikan
memberantas praktik korupsi.
Labirin
Praktik Korupsi
Menurut Prof Saldi Isra
dalam artikelnya Labirin Praktik Korupsi yang
termuat dalam koran Kompas (5 Januari 2017) mengatakan bahwa praktik koruptif
telah menjadi praktik keseharian sehingga menjadi sulit membedakan antara
perilaku koruptif dan perilaku yang semestinya. Perilaku koruptif telah
mengakar begitu kuat dalam ceruk interaksi sosial masyarakat bahkan telah
termanifestasi menjadi sebuah kebiasaan.
Budaya koruptif tersebut
pada tahap lebih lanjut kemudian mengejawantah sebagai basis ekosistem nan
potensial bagi tumbuh suburnya praktik korupsi. Sejalan dengan fenomena
tersebut, sejujurnya negara telah membuat kebijakan hukum baik kebijakan hukum
administrasi maupun kebijakan hukum pidana guna merestorasi budaya koruptif
masyarakat. Dalam konteks kebijakan
hukum administrasi, misalnya kebijakan mengenai pengadaan barang dan jasa,
kebijakan transaksi non tunai, hingga kebijakan perekrutan ASN yang
mengedepankan transparansi dan sistem meritokrasi.
Sedangkan dalam konteks
kebijakan hukum pidana (criminal policy)
misalnya dengan mengkriminalisasi perbuatan gratifikasi (dalam arti melawan
hukum) sebagai tindak pidana kemudian kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan
justice collaborator dan whistle blower untuk mempermudah
pengungkapan perkara tindak pidana korupsi. Meskipun kebijakan hukum baik
secara administrasi maupun pidana telah dibangun sedemikian rupa untuk
meminimalisir praktik korupsi, namun dalam realitasnya, praktik korupsi justru
semakin masif baik secara dimensi horizontal maupun dimensi vertikal.
Secara horizontal,
korupsi telah terjadi pada semua cabang kekuasaan negara baik cabang eksekutif,
legislatif, hingga yudikatif. Singkatnya, tidak ada lembaga negara pada cabang
utama kekuasaan negara yang bersih dari korupsi.
Sedangkan secara
vertikal, korupsi juga masih subur baik dari tingkat pemerintah pusat,
pemerintah daerah, bahkan hingga desa. Menurut data ICW, sejak adanya dana
desa, korupsi di desa dari tahun ke tahun relatif mengalami peningkatan.
Sepanjang tahun 2015 hingga tahun 2018 ICW mencatat ada 252 kasus korupsi di
desa. Rinciannya, tahun 2015 22 kasus, tahun 2016 48 kasus, tahun 2017 98 kasus, tahun 2018 96 kasus
dengan total kerugian negara mencapai 107,7 miliar rupiah.
Fakta tersebut seakan
menjadi penegas pendapat Syed Husein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption (1968) bahwa perkembangan korupsi
awalnya dimulai secara sporadis kemudian merebak dan meluas dan akhirnya akan
membunuh masyarakatnya sendiri. Faktanya, di Indonesia awalnya korupsi juga
bersifat sporadis dan sentralistik kemudian merebak dan meluas ke daerah-daerah
hingga desa. Hanya saja, korupsi di Indonesia belum sampai membunuh
masyarakatnya dan itulah yang harus kita cegah bersama.
Teori
Cost-Benefit
Secara teoritik,
sejujurnya telah banyak teori yang membahas mengenai penyebab terjadinya
korupsi pada sebuah negara. Namun pada kesempatan kali ini penulis ingin
membahas secara spesifik tentang teori penyebab korupsi yang bernama teori cost-benefit. Teori cosf-benefit pada korupsi mengandung makna bahwa korupsi akan
selalu terjadi dan tumbuh subur manakala resiko yang ditanggung dari melakukan
korupsi lebih kecil dari pada manfaat yang diperoleh dari melakukan korupsi.
Resiko yang lebih kecil
ini mengandung empat unsur. Vonis yang relatif rendah, previlege di lembaga pemasyarakatan, masih memiliki hak dan akses politik,
dan rendahnya sanksi sosial dari masyarakat. Sederhananya, tidak ada efek jera atas
pemidanaan dan pemasyarakatan seorang narapidana korupsi. Dia melakukan korupsi
toh masih kaya, masih bisa hidup enak di penjara, masih bisa berpolitik selepas
bebas, dan masih diterima secara hangat oleh masyarakat.
Resiko yang kecil atas
perbuatan korupsi dapat kita lihat dari segi vonis hukuman yang relatif rendah.
Menurut data ICW pada tahun 2018, vonis pengadilan terhadap pelaku korupsi
rata-rata adalah 2,5 tahun penjara, ini masih dipotong remisi dan bebas
bersyarat. Di sisi lain, ICW juga menyayangkan maraknya pengurangan hukuman
terhadap narapidana korupsi khususnya ditingkat peninjauan kembali sepanjang
tahun 2019 lalu. Sepanjang 2019, total ada 6 putusan yang meringakan pada
tingkat peninjauan kembali. Salah satu yang mendapat keringanan hukuman
tersebut adalah Patrialis Akbar, mantan hakim Mahkamah Konstitusi.
Kemudian, dalam konteks
pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan para narapidana korupsi seringkali
juga mendapat previlege-previlege yang
membuat mereka dapat hidup nyaman selayaknya di hotel bintang 5. Kemampuan
material narapidana korupsi dan rendahnya integritas dari pejabat/petugas lapas
membuat hal tersebut lazim terjadi. Beberapa satu contohnya adalah Gayus
Tambunan, Artalyta Suryani, Freddy Budiman, hingga Agusrin Najamuddin.
Keempatnya bisa tinggal di lapas dengan fasilitas mewah bak hotel bintang
5 (sebelum terbongkar). Dan fenomena ini bisa jadi merupakan fenomena gunung es,
hanya nampak beberapa di permukaan namun sejatinya banyak terjadi hanya saja
tidak terbongkar ke publik.
Selanjutnya dalam
konteks sosial-politik, para narapidana korupsi juga masih mendapat status
sosial yang tinggi dan akses politik memadai untuk menjadi pemimpin masyarakat.
Masyarakat masih menerima secara hangat dan hak politik juga masih mereka
miliki. Hal ini semakin mempertegas realita bahwa resiko yang ditanggung dari
melakukan korupsi sangat kecil bahkan dapat dikatakan tak terasa. Tak terasa
efek jeranya.
Solusi
Menurut teori cost-benefit korupsi akan tumbuh subur
manakala resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi lebih kecil dari pada
manfaat yang diperoleh dari melakukan korupsi. Sejalan dengan premis tersebut
maka salah satu jalan menekan praktik korupsi adalah dengan memperbesar resiko yang
harus ditanggung. Konkretnya, resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi
harus lebih besar dari pada manfaat yang diterima dari melakukan korupsi. Ada
empat upaya yang dapat dilakukan.
Pertama, hakim harus
lebih peka bahwa tinggi rendahnya vonis yang mereka jatuhkan terhadap pelaku
korupsi memiliki implikasi respirokal terhadap naik turunnya praktik korupsi.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang memiliki dampak buruk bagi semua
bidang kehidupan ketatanegaraan. Aspek inilah yang seharusnya menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
Kedua, lembaga
pemasyarakatan harus benar-benar optimal dalam menjalankan fungsi
pemasyarakatan terhadap narapidana korupsi, sehingga diharapkan para narapidana
korupsi dapat menyadari kesalahannya sekaligus mendapatkan efek jera.
Ketiga, partai politik
harus memiliki prinsip dan idealisme untuk tidak memberikan tiket politik
kepada para mantan narapidana korupsi. Restriksi mantan narapidana korupsi
untuk kembali bergelut di bidang politik merupakan bagian penting sebagai
strategi untuk menekan praktik korupsi. Inilah langkah yang lebih efektif dari
pada sekadar pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dalam jangka waktu
tertentu.
Keempat, masyarakat
hendaknya juga memberikan sanksi sosial misalnya social distancing dalam jangka waktu tertentu kepada mantan
narapidana korupsi. Hal ini akan dapat menjadi semacam shock therapy yang mengandung efek jera (malu) kepada mantan
narapidana korupsi dan efek pencegahan (prevensi general) kepada masyarakat
lainnya agar tidak melakukan korupsi.
Jika dilihat secara
seksama, keempat upaya diatas pada prinsipnya mengandung 3 tataran dimensi.
Pertama, dimensi yuridis yakni terkait vonis hakim dan optimalisasi fungsi
lapas. Kedua, dimensi politis yakni terkait dengan restriksi hak dan askses
politik. Ketiga, dimensi sosiologis yakni terkait dengan sanksi sosial dari
masyarakat.
Ketiga dimensi di atas
secara praksis harus dapat bekerja secara optimal dan fungsional untuk
memperkecil terjadinya praktik korupsi. Korupsi adalah musuh kita bersama,
penyakit yang menghambat kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini. Mari bersinergi
bersama melawan korupsi. Jangan berikan ruang sekecil pun terhadap perbuatan
laknat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar