Selasa, 14 April 2020

URGENSI PAJAK DAN STRATEGI OPTIMALISASI PENERIMAAN PAJAK DI TENGAH PANDEMI CORONA



Salah satu tujuan berdirinya negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum memiliki makna ratio legis sebagai sebuah kondisi terpenuhinya kesejahteraan inklusif yang ditandai dengan terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Adil berarti semua lapisan masyarakat terpenuhi hak-haknya yang dijamin oleh konstitusi. Makmur berarti masyarakat mampu menjalani hidup secara layak khususnya dalam pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Untuk mampu mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat tentunya negara memerlukan sebuah instrumen yang dapat menjadi sarana untuk mencapai tujuan negara tersebut. Dan salah satu instrumen negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum adalah pajak. Secara umum, pajak memiliki tiga fungsi strategis. Pertama, sarana memberantas kemiskinan. Kedua, sarana mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi. Ketiga, sarana meningkatkan produktivitas dan daya saing. Lalu bagaimana kondisi dan optimalisasi pajak kita ?.
Perlu kita ketahui bahwa kebutuhan belanja negara kita tahun ini adalah sebesar Rp. 2.540,4. Sementara pendapatan negara yang bersumber dari pajak, bea dan cukai, penerimaan negara bukan pajak, dan hibah hanya sebesar Rp. 2.233,2 Triliun. Pendapatan negara sebesar Rp. 2.2233,2 Triliun sendiri 83.5% nya atau sebesar Rp. 1865,7 Triliun berasal dari pajak.
Melihat perbandingan antara pendapatan negara dengan belanja negara diatas dapat kita lihat negara mengalami defisit keuangan sebesar Rp. 307,2 Triliun. Di sisi lain, melihat realitas tersebut, juga dapat kita simpulkan bahwa kelangsungan dan stabilitas ekonomi kita sangat tergantung dari penerimaan pajak. Mengingat 83.5% pendapatan negara berasal dari pajak. Oleh karena itu, urgensi pajak bagi keberlangsungan negara ini sangatlah tinggi. Hal ini secara a contrario mengandung pesan bahwa penerimaan pajak harus dioptimalkan guna mengikis defisit pembiyaan negara sekaligus menstabilkan neraca keungan negara.
Di tahun 2020 sendiri target penerimaan pajak adalah sebesar Rp. 1.642 Triliun. Target yang tentunya harus direalisaskan secara optimal. Berkaca pada tahun 2019 lalu realisasi penerimaan pajak hanya sebesar 84,4% dari target penerimaan pajak. Pada 2019, penerimaan pajak hanya sebesar Rp. 1.332 Triliun dari target penerimaan pajak Rp. 1.577 Triliun. Lebih jauh, selama 10 tahun terakhir, realisasi penerimaan pajak selalu meleset dari target penerimaan pajak yang dicanangkan. Oleh karena itu, diperlukan strategi-strategi progresif dan integratif guna mendorong optimalisasi penerimaan pajak pada 2020 ini. Terlebih di tengah resiko perlemahan ekonomi akibat pandemi wabah corona yang terjadi sebagaimana saat ini.
Strategi Optimalisasi Penerimaan Pajak di Tengah Pandemi Corona
Efek pandemi virus corona yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia tidak hanya mengancam keselamatan manusia tetapi juga memiliki ekses atau imbas yang negatif terhadap berbagai dimensi kehidupan manusia tak terkecuali dimensi ekonomi atau berbicara lebih spesifik mengenai penerimaan pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa penerimaan negara tahun ini akan kontraksi sebesar 10% year on year. Penurunan penerimaan negara ini tentunya diakibatkan oleh tersendatnya aktivitas ekonomi akibat merebaknya pandemi virus corona.
Di tengah lesunya perekonomian akibat pandemi virus corona yang berimbas terhadap penerimaan negara khususnya dalam hal penerimaan pajak dibutuhkan strategi-strategi progresif dan integratif agar target penerimaan pajak tahun ini tidak mengalami shortfall yang besar. Berikut penulis sampaikan beberapa strategi-strategi progresif dan integratif guna mendorong optimalisasi penerimaan pajak di tengah lesunya perekonomian akibat dampak pandemi virus corona.
Pertama, memberikan stimulus berupa insentif fiskal terhadap sektor industri manufaktur yang paling terdampak virus corona. Pemberian insentif ini akan berdampak pada stabilitas dan produksi industri. Sehingga sektor industri manufaktur diharapkan akan tetap memberikan kontribusi penerimaan pajak yang optimal baik melalui pajak badan (PPh) maupun pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk yang dijual.
Kedua, memperkuat basis pajak untuk 5 tahun kedepan melalui penyisiran data dan pemutakiran data basis wajib pajak dengan melakukan optimalisasi peran seksi ekstensifikasi dan penyuluhan pada KKP Pratama. Optimalisasi di sini baik dalam arti integritas maupun kualitas.
Ketiga, menjaga penerimaan pajak dari PPh 21, PPh 22, dan PPh 25 dengan memberikan insentif berupa keringanan pajak serta melakukan percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dalam rangka cashflow.
Keempat, menerapkan pajak digital atau pajak perdagangan melalui sistem elektorinik (PMSE) yang tertuang dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Di beberapa negara pajak digital sudah diberlakukan umumnya menggunakan pendekatan digital service tax di mana pajak dikenakan atas penghasilan penyedia jasa periklanan dan jasa intermediasi daring yang pendapatannya diperoleh dari negara asalnya. Selain itu, juga perlu dilakukan pengenaan pajak kepada subyek pajak luar negeri (SPLN) yang memiliki significant economic presense di Indonesia yang melakukan perdagangan melalui sistem elektronik guna menjaga fairness perusahaan digital dalam negeri.
Kelima, memperpanjang batas waktu pembayaran pajak dan penyampaian SPT. DJP sebenarnya sudah memperpanjang batas waktu pembayaran pajak dan pelaporan SPT tahunan wajib pajak orang pribadi dari 31 Maret menjadi 30 April 2020. Apabila nanti penerimaan pajak belum jua maksimal, menurut saya perlu dilakukan perpanjangan batas waktu pembayaran pajak kembali dengan jangka waktu yang rasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar